Kencan pertama

1392 Words
Sesuai dengan yang ia rencanakan bersama calon ibu mertua, yaitu Dahlia Ardiwangsa. Putra tunggal keluarga itu sampai di depan gerbang rumahnya pukul tujuh tiga puluh. Shena sudah menunggu pemuda itu dengan senyum manis terpatri di wajahnya, jantungnya berdebar-debar padahal Erlangga belum keluar dari dalam mobilnya. Sekelebat kejadian di malam pertunangan mereka kembali terputar di ingatannya, pipi gadis itu langsung memanas seketika. Ia menyentuh bibirnya sendiri, sensasi manis yang bercampur gairah itu masih terasa nyata, mungkin malam itu gelap tak ada penerangan sama sekali. Tapi justru kegelapan membuatnya lebih peka dan sangat membekas. First kiss? Siapa yang tidak berdebar saat melakukannya untuk pertama kali. Menuruti sisi liar yang membara terbakar kabut gairah, sambil meresapi perasaan baru tak terbayangkan. Saat itu, adalah pertama kalinya bagi kedua insan anak manusia itu, masih sangat kaku dan terlalui menggebu-gebu dalam setiap pergerakannya. Yang bisa mereka lakukan hanyalah melepaskan perasaan membuncah di dalam d**a, sekalipun logika menolak dengan keras, tapi jika hati yang dikuasai gairah telah bertahta, mereka hanya bisa tunduk pada nafsu. Erlangga keluar dari mobilnya, pemuda itu tampak formal dengan celana bahan berwarna hitam dan kemeja flanel, pemuda itu tampak santai dengan sepatu nike berwarna putih. Shena menghela napas lega, untung saja ia sempat mengganti sepatu heels yang tadi ia kenakan dengan flat shoes. Jadi, gadis itu tidak tampak terlalu formal. "Hai!" sapa Shena terlebih dahulu. Erlangga hanya tersenyum tipis. "Mau berangkat sekarang? Atau mau sapa mama papa dulu?" tawar Shena. "Mereka ada?" "Ada sih, tapi lain kali ajalah sapanya." ujar gadis itu. Erlangga hanya mengangguk, "Oke!" pemuda itu membukakan pintu untuk seseorang yang saat ini berstatus sebagai tunangannya itu. Erlangga menutup pintu mobil setelah Shena duduk dengan nyaman dan memasang seatbelt miliknya sendiri. Syukurlah tidak ada drama pasang-memasang sabuk pengaman di dalam mobil nanti. Sejujurnya, di pertemuan kembali mereka sejak malam pertunangan itu, Erlangga pun merasa gugup. Ia bahkan menghindari Shena saat di sekolah, tapi sang mama justru menyuruhnya untuk berkencan dengan gadis itu. Sang putra Ardiwangsa melajukan mobilnya meninggalkan pelataran rumah mewah itu, untuk selanjutnya membelah padatnya jalanan Kota Jakarta. Gemerlap lampu kota dan lalu-lalang kendaraan yang tidak ada habisnya semakin menambah keramaian malam itu, sekalipun suasana di dalam mobil sangat berbanding terbalik. Shena dan Erlangga sama-sama mengunci mulut mereka, memilih fokus kepada jalanan atau apapun yang bisa menyibukkan mereka. Shena yang tak tahan dengan suasana itu pun hanya menghela napas dalam diam, ia melihat ke luar jendela mobil mengamati beberapa kendaraan yang juga menunggu lampu merah menyala hijau. "Emm..... Kita mau kemana?" tanya Shena dengan hati-hati. "Terserah kamu aja." "Kok aku?" "Ya terus? Mau tanya mama aja." Erlangga tampak fokus pada jalanan di depannya. Sebenarnya itu adalah sindiran untuk Shena, tapi sepertinya gadis itu tidak menangkapnya. Erlangga tahu jika kencan kali ini adalah akal-akalan Shena yang sialnya disetujui sang mama. Mobil sedan berwarna putih itu sampai di pelataran sebuah restoran mewah berbintang di pusat kota, sengaja Erlangga berbelok kemari, selain untuk menyesuaikan kelas gadis itu, juga menghindari hal yang tidak diinginkan. Awalnya tadi, Shena mengajak pemuda itu untuk menonton di mall saja. Tapi Erlangga langsung menolak, sangat merepotkan jika mereka bertemu dengan Putri atau teman-temannya nanti. Shena mengikuti langkah lebar pemuda itu dengan susah payah, ia mengenakan dress hari ini, jadi harus berjalan sedikit pelan agar dressnya tidak berterbangan. "Kakak! Tungguin!" pekik Shena kesal, gadis itu menghentikan langkahnya dan menatap Erlangga kesal. "Apa?" "Tungguin." "Ya, ayo!" Erlangga mengalah, ia terpaksa kembali mundur untuk mengimbangi Shena. Pemuda itu memberikan lengannya agar dirangkul oleh Shena, memang berjalan bersama perempuan itu butuh kesabaran ekstra. Sang putri Darsono tak dapat menyembunyikan wajah bahagianya, kali ini bukan ia yang memaksa, tapi Erlangga sendiri yang berinisiatif memberikan lengannya. Shena cukup peka, saat beberapa orang berpapasan dengan mereka, orang-orang itu seperti terkesima dengan kecocokan mereka. Malam ini seperti sudah ditakdirkan, outfit mereka pun terasa sangat pas dengan warna dasar hitam. Hitam memang warna andalan, dan favorit Erlangga khususnya. Jadi sekalipun tidak terlalu suka, Shena memaksakan diri karena Erlangga menyukainya. "Mau makan apa hari ini? Jappanesse? Chinesse?" tawar Shena. "Terserah aja." "Terserah terus jawabannya." "Gue bisa makan apapun." "Termasuk perasaan." guman Shena. "Gimana, Na?" ulang Erlangga. Shena menggeleng pelan, "Gak kok, gapapa." Shena sudah memakan sesuap nasi tadi, tapi itu sudah sore sekitar pukul empat. Perutnya sudah meronta minta diisi, semoga saja tidak ada bunyi-bunyi memalukan dari perutnya yang akan menimbulkan rasa malu. Restoran Jepang dilewati, Shena berpikir positif mungkin Erlangga mengajaknya makan di restoran Cina. Tapi, restoran Cina juga dilewati. Shena ingin protes, tapi ia masih berpikir positif mungkin sang tunangan akan mengajaknya makan di resto lain. Pikiran positif Shena lenyap begitu saja saat Erlangga membuka sebuah pintu yang pastinya bukan pintu restoran. Pemuda itu masuk, lalu menarik Shena yang terpaku di ambang pintu untuk ikut masuk. Semilir angin berhembus kencang, menerbangkan helaian rambut Shena yang digerai indah. Gadis itu mengepalkan tangannya menahan dingin setiap kali angin datang. Shena menoleh sekeliling, tidak ada restoran di rooftop gedung itu. Bahkan sekedar meja dan kursi saja tidak ada. "Kak?" "Hm." "Kita makan apa? Makannya gimana?" tanya Shena, ia merapat ke samping Erlangga karena rooftop itu gelap dan banyak disimpan perabotan seperti meja dan kursi tua yang sudah rusak. "Nanti pelayannya ngaterin kesini?" Erlangga terkekeh, "Gue kesini bukan mau makan." "Terus?" "Mau cari angin." Shena memaksakan sudut bibirnya untuk tersenyum, mencari angin, ayo ayo saja! Asalkan bersama dengan pemuda beraroma hujan itu. Mengabaikan nyeri di perutnya, Shena menunpukan kedua tangannya kepada pagar pembatas. "Apa yang menarik?" tanya gadis itu, ia melihat ke bawah dan hanya mendapati kemacetan. "Ada yang indah." "Apa?" "Kalo lihat ke bawah ga bisa, coba lihat ke atas." ujar Erlangga, pemuda itu menoleh ke arah Shena. Seperti sarannya, gadis itu segera mendongak, malam begitu terang benderang hari ini karena bulan sedang penuh, langit pun bersih tanpa awan hanya ada bintang-bintang. Tapi tanpa awan, udara di atas sini terasa lebih dingin. Shena memeluk tubuhnya sendiri yang tertutupi kemeja flanel, sayangnya tidak cukup tebal untuk menghalau dingin. "Full moon ya? Akuu ga tahu bisa secantik ini." ujar Shena sambil terus menatap angkasa. Erlangga mengangguk setuju, "Iya, cantik banget." jawab pemuda itu tanpa sadar, sedetik kemudian Erlangga merutuki dirinya yang terang-terangan mengagumi Shena. Baru saja untuk sepersekian detik, anak tunggal Ardiwangsa itu menatap lekat wajah sang kekasih dari samping. Erlangga mengumpat dalam hati saat jantungnya berdegup tak beraturan, tak sengaja ia menatap penuh gairah pada bibir ranum tunangannya itu. Setelah hampir gila mencoba melupakan kejadian malam pertunangan itu, Erlangga tetap tidak bisa lupa, bahkan rasa dan sensasinya pun masih terasa nyata. Bunyi kecupan demi kecupan malam itu pun masih menggema di telinganya. Ia tak bisa mengingat seperti apa wajah Shena malam itu karena ia sengaja mematikan lampu, tapi justru rasa yang tercipta sangat membekas. "Kak?" "Kakak!" Shena melambaikan tangannya ke depan wajah Erlangga. "Eh! Ya?" "Lihat apa? Kok ngelamun?" Erlangga menggeleng, "Kenapa? Dingin?" tanyanya malah mengalihkan pembicaraan. Sang putri Darsono pun mengangguk, "Iya, malam ini ternyata dingin banget, tahu gitu aku bawa jaket tadi." Merasa ditatap dengan lekat oleh gadis di sampingnya itu, Erlangga melirik lewat ekor matanya. "Kenapa senyum senyum?" "Peluk!" ujar Shena tanpa malu. "Awh!!" Erlangga menyentil dahi gadis itu pelan, tapi karena kuku pemuda itu yang keras. Shena cukup kesakitan hingga menimbulkan bekas berwarna merah, gadis itu mengusap-usap dahinya sambil menggerutu kesal. "Sakit tahu!" "Makin berani ya!" ujar Erlangga. "Apa? Cuma minta peluk biar hangat, kalo ga mau gapapa. Jangan KDRT dong!" keluh gadis itu. "KDRT?" "Iya." "Kita belum nikah ya." tegas Erlangga. "Sama aja!" Tak mau menanggapi lagi, Erlangga memilih kembali melihat ke bawah. Kemacetan yang tampak mengekor panjang kini telah kembali berjalan normal. Para pengemudi mulai melajukan kendaraan mereka dengan kecepatan yang normal. Erlangga menoleh ke sampingnya, Shena masih saja mengusap dahinya, "Emang sakit ya?" "Ya iyalah." balas Shena cepat. "Coba sini kakak rasain!" gadis itu mengarahkan telunjuk dan ibu jarinya ke dahi Erlangga, ia ingin Erlangga merasakan apa yang ia rasakan juga. "Eh! Ga kena." Erlangga mencekal kedua tangan Shena, satu ide jahil terlintas di otaknya. Pemuda itu mengarahkan tangan Shena untuk melingkar di lehernya, sementara tangannya bertengger manis memeluk pinggang ramping gadis itu. "Mau yang lebih bikin hangat?" Shena was-was, gadis itu hendak melangkah mundur tapi rengkuhan tangan Erlangga di pinggangnya sangat kuat. "Apa? Jangan aneh-aneh deh, mending kita makan aja kak, aku laper." "Sama gue juga laper." balas Erlangga. "Gimana kalo kita makan yang manis-manis?" "Yang manis-manis?" Shena mengerutkan keningnya. "Itu contohnya." ujar Erlangga sambil mengendikkan dagunya dan tatapannya mengarah ke bibir gadis itu. "JANGAN!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD