Bab 5

1084 Words
Malam itu, hujan turun sangat deras sekali. Malika menembus dinginnya malam dan guyuran hujan demi mendatangi Nazmi untuk menerima tawarannya. Namun, Malika tidak tahu alamat rumahnya. Wanita itu berlindung di bawah kanopi kafe yang telah tutup. Mencoba menghubungi Nazmi. Panggilan itu tidak terdengar karena dirinya sedang menikmati malam bersama wanita yang baru saja datang dan menari di depannya untuk menghibur. Namun, firasatnya membawa pandangan ke kanan. Menatap layar ponselnya yang menyala. Nazmi melihat dan membaca nama ‘Thara’ di sana. Pria itu tersenyum. Akhirnya kau menghubungiku, wanita di depan ini tidak membuat aku puas sama sekali, ucapnya dalam hati. Nazmi mengangkat telepon itu. “Halo!” sapanya. “Aku ingin bertemu denganmu,” sahutnya tanpa basa-basi. “Datang ke tempat yang akan kukirimkan alamatnya setelah ini.” “Baik.” Nazmi mematikan teleponnya, tertarik bibir ke atas karena merasa senang bisa bertemu dengan wanita itu lagi. "Berhentilah!" perintah Nazmi pada wanita yang berusaha menyenangkan hatinya. "Kenapa? Kita kan belum melakukannya?" tanya wanita berambut pendek itu. "Aku ada tamu lain, dia lebih penting darimu." Nazmi berdiri, mengambil jasnya dan mengeluarkan dompet dari saku jasnya. Sejumlah uang diberikan padanya sebagai bayaran atas hiburan yang biasa saja untuknya. Nazmi keluar dari hotel itu kemudian mengirimkan lokasi rumahnya pada Malika. Saat dia tiba di mobil dan keluar dari parkir bawah tanah, baru Nazmi tahu ternyata sedang hujan lebat. Nazmi segera menuju rumahnya sebelum badai menghadang dan membuatnya sulit untuk tiba di rumah. 15 menit kemudian. Malika sudah sampai terlebih dulu di depan pintu apartemen-nya. Nazmi melihat dia basah kuyup dan menggeletar. Pria itu bergegas membuka pintu dan memintanya masuk. "Kau sudah lama menunggu?" tanya Nazmi. "Belum, baru sekitar 10 menit yang lalu." Nazmi tersenyum. Itu lumayan lama baginya, apalagi dalam keadaan basah seperti ini. "Boleh aku pakai kamar mandimu?" tanya Malika. "Ya, ada di sini," tunjuk Nazmi membuka pintu dan menyalakan lampu. "Masuklah, aku akan memberikan handuk serta pakaian untukmu," sambung pria itu. "Oke." Malika masuk dan menutup pintu. Melihat kamar mandinya yang luas dan bersih. Dominan warna putih membuat ruangan ini semakin menenangkan. Modelnya yang terkini serta mewah namun, terkesan sederhana. Malika menyalakan pancuran air yang ada di dalam sebuah ruangan tersendiri. Airnya hangat sekali. Cocok untuk membasuh tubuhnya yang kedinginan. Malika membuka kemeja dan menggantungnya bersama celana panjang yang basah kuyup. Berdiri di bawah pancuran air kemudian membasuh semuanya. Malika menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma bunga dan kayu-kayuan milik Nazmi tanpa minta izin terlebih dahulu. Wanita itu seperti sedang mandi di rumahnya sendiri. Setelah selesai, Malika mematikan keran dan keluar dari tempat itu. "Huh?!" jeritnya karena tiba-tiba Malika melihat Nazmi berdiri di depan wastafel dan menatap ke arahnya. Malika terkejut dan cepat-cepat berbalik. Tubuhnya terlalu polos untuk diperlihatkan. Malika tidak mendengar suara orang masuk karena senangnya membasuh diri. "Maafkan aku," ucapnya menutupi tubuh dengan pembatas plastik yang ada di sana. Nazmi tersenyum. Bisa-bisanya dia mandi, tidak mengunci pintu dan tidak mendengarku masuk, gumamnya sambil berjalan. Pria itu mendekatinya dan memberikan handuk itu padanya. "Keringkan tubuhmu dan temui aku di luar." "I-iya," sahutnya, menerima pemberian tersebut dan segera mengeringkan tubuhnya. Nazmi hanya memberikan handuk dan kimono padanya. Tidak ada kemeja miliknya yang bisa dipakai. Malika harus mengeringkan pakaiannya terlebih dahulu sebelum dikenakannya lagi. Malika juga ingin mengeringkan rambutnya dengan alat yang ada di dekat wastafel. Merapikan sedikit rambutnya kemudian keluar. Kimono berwarna putih itu membalut tubuhnya yang tidak mengenakan apa pun di baliknya. Malika menghampiri Nazmi yang sedang duduk bersandar di kursi empuk, melipat kaki dengan posisi tangan merentang di atas sandaran. "Apa kau punya alat untuk mengeringkan pakaian?" tanya Malika. "Ada, di ruangan sebelah kamar mandi ada mesin pengering. "Ah, aku akan mengeringkan pakaianku dulu." "Cukup masukkan saja ke dalam dan tak perlu kau tunggu di sana. Tunggu saja di sini, duduk di sampingku," pintanya. "Oke." Malika mengambil semua pakaiannya dari kamar mandi dan segera memasukkannya ke mesin pengering. Setelah itu, Malika kembali pada Nazmi. Waktunya tidak banyak, dia harus menyampaikan tujuan kedatangannya ke sini. Nazmi menuangkan anggur untuk Malika. Memintanya minum agar tubuhnya lebih hangat. Wanita itu mengambil gelas kemudian meneguk isinya beberapa kali. Malika meletakkan gelas itu kembali dan mendapat serangan dari pria di sampingnya tanpa aba-aba. Nazmi menjatuhkannya ke sofa kemudian mengecup si merah yang terkatup dengan hangat. Rasanya bagaikan buah anggur yang siap disantap dan manis sekali. Malika tidak diberikan ruang untuk menghalangi karena kedua tangannya digenggam oleh Nazmi dan dibawa ke atas. "Nazmi," panggilnya begitu dapat kesempatan lepas dari lumatannya, tapi pria itu terus menerjang dan membuka kimononya kemudian memaksanya melayani keinginan hatinya. Lagi. Beberapa menit kemudian, Nazmi selesai menuntaskan semua, pria itu menuju kamar mandi dan kembali duduk setelah membersihkan diri di kamar mandi. Tubuh Malika tidak bisa diabaikan. Ketika mengetahui dia menghubunginya malam ini, terbesit pikiran kalau Malika pasti akan menanyakan masalah pernikahan itu. Nazmi sedikit frustrasi karena membayangkan wanita bertubuh indah ini akan menjadi kakak iparnya. Malika masih lemah tak berdaya, sudah dua kali dirinya bersama Nazmi hari ini. malika bangkit dari tidurnya, berniat mengatakan tujuan dia datang menemuinya. Nazmi memberikannya minum. Malika menerima, lalu meneguknya. Masih terasa aliran serta denyut di beberapa titik tubuhnya akibat perbuatan pria yang sedang duduk di sampingnya itu. Malika memakai kimononya dan mengaitkan tali itu di pinggang. "Aku ke sini sebenarnya ingin menerima tawaranmu tadi sore," katanya. Nazmi mengerutkan keningnya. Tertawa miring. "Bukannya kau tadi bilang kalau pernikahan bukan hal yang bisa dipermainkan?" "Nazmi, aku berjanji tidak akan mempermainkan kakakmu. Aku akan menjadi istri yang baik dan mengurusnya." Malika sudah tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu. "Kau benar-benar butuh uang?" "Ya, Nazmi." Malika memohon dengan telaga berlinang air sampai berlutut di kakinya. "Aku harus menyelamatkan nyawa oma. Meski pernikahan ini terkesan mendadak, tapi aku tidak akan bermain-main dalam menjalaninya,” lanjutnya. Nazmi menggerakkan rahang bawahnya ke kiri dan kanan, perlahan bibirnya itu dilumatnya sendiri sambil disandarkan pada tangan yang mencagak rahangnya itu. Deru nafas Nazmi menjadi tidak terkontrol. Dia yang menawarkan, dia pula yang tidak rela. Namun, dia juga tidak bisa memberikan janji manis berupa pernikahan normal seperti yang orang lain jalani. Nazmi harus menerima kenyataan bahwa Malika tidak akan bisa disentuhnya lagi setelah menjadi istri abangnya. “Baiklah, besok aku akan membawamu menemuinya,” jawab Nazmi. “Terima kasih, tapi apakah aku bisa menerima uang itu malam ini? Oma harus segera di operasi, aku tidak mau hal buruk terjadi pada oma,” tanyanya. Nazmi mengerutkan kening, “Kau pakai uangku dulu, nanti abangku akan menggantinya.” “Terima kasih, Nazmi. Aku berutang budi padamu.” Nazmi melihat wajah Malika yang sangat panik. Wanita itu menggigit-gigit jarinya dengan ekspresi menahan sedih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD