Bab 6

1093 Words
Setelah Malika menerima uang yang dikirimkan Nazmi malam itu, segera dia mengirim balik ke Tia untuk mengurus pembayaran operasi neneknya. Tia sangat terkejut pada jumlah uang yang didapatnya. “Malika, kau dapat uang ini dari mana?” “Keong, aku harus melakukannya demi oma. Besok aku akan menikah dengan abang Nazmi. Rahasiakan dulu dari opa, aku tidak mau dia kepikiran.” “Siput! Kau jangan melakukan itu! pernikahan bukan hal yang bisa dipermainkan.” “Iya, Keong, aku tahu. Tapi, hanya dia yang bisa mengeluarkan aku dari permasalahan sekarang.” Tia benar-benar tidak menyangka kalau sahabatnya rela menikahi pria yang tidak dikenalnya demi mendapatkan yang itu. “Siput, bukannya kau menyukai Nazmi, kenapa bukan dia saja yang menikahimu? Kenapa harus menikah dengan abangnya?” “Nazmi bukan tipe pria yang mau diajak berumah tangga, dia mau bebas.” “Huh? Masih ada jenis lelaki seperti itu di bumi?” “Banyak, dia salah satunya.” “Dan kau jatuh hati pada pria yang tak mau dibawa ke pernikahan?” Malika tersenyum. “Sudah lah, jangan bahas itu lagi. Besok aku akan menjadi istri orang lain, Nazmi hanya masa lalu.” “Kau harusnya lepas dari kehidupan keluarga mereka, malah makin masuk.” Malika tersenyum. “Aku belum tahu apa-apa tentang keluarganya, semoga abangnya ini baik hati dan lebih punya hati dari adiknya,” ujar wanita tersebut kemudian mendengar suara langkah kaki seseorang mendekat. Malika menyudahi panggilan, takut didengar oleh Nazmi tentang percakapan itu. Malika berada di ruang tamu ketika pria itu sibuk dalam dapurnya. Sekembalinya Nazmi, pria itu membawakan makanan ringan untuknya. “Kau sedang menghubungi siapa?” tanya Nazmi. “Sahabatku. Aku bilang kalau besok aku akan menikah.” Nazmi tersenyum. “Kau sudah urus biaya operasi nenekmu?” “Sudah, Tia akan mengurusnya sementara aku di sini menyelesaikan tugasku.” Malika menerima sepiring kecil kue sus dan segelas minuman. “Abangku orangnya baik, dia hanya tidak terbiasa mencari wanita. Dia dipaksa menikah dalam waktu dekat oleh papaku.” Malika mengangguk, menerima informasi terkait abangnya. “Apa umurnya tidak jauh beda darimu?” tanyanya. “Ya, sekitar beda 4 tahun lah.” “Mama kalian masih ada?” tanya Malika. “Ada, dia tidak pernah mengurus kami berdua. Kami besar sendiri di tangan pembantu.” Malika bisa lihat itu dari sikap mereka yang kaku. Sentuhan ibu bisa membuat orang lebih ramah dan baik hati. “Setelah menikah kau akan tinggal di rumah-nya, mengenai pekerjaanmu, mungkin kau bisa nego padanya. Abangku juga seorang pria yang susah jatuh cinta. Menahanmu di rumah mungkin tidak baik untuknya,” jelas Nazmi. “Berarti dia tidak mencari istri, hanya mencari orang yang diperintah papa kalian. Kenapa tidak dijodohkan saja pada anak pengusaha?” Nazmi tertawa mendengarnya. “Abangku anti dengan papaku. Dia tidak mau mengurus perusahaan.” Malika terlalu polos untuk mencampuri masalah rumah tangga mereka. Namun, Malika hanya tahu kalau suaminya kelak adalah pria yang tidak beda jauh darinya. Sama-sama tidak ramah pada wanita. Mungkin. “Abangmu orangnya tidak kejam kan?” tanya Malika lagi memastikan, sekarang dia malah takut sekali menerima kenyataan tentang hidupnya nanti. “Aku tidak tahu, aku dan dia jarang bertemu. Hanya bertemu mungkin sekitar setahun sekali.” “Huh?” “Ya, begitu lah kami. Aku dengan duniaku dan dia dengan dunia dia.” “Pekerjaannya apa?” “Dia seorang fotografer. Pekerjaan bebas yang tidak mau dikekang.” Malika menutup matanya, sejak dulu dia benci pada pria yang profesinya sebagai fotografer. Malika punya pengalaman buruk akan pria yang bekerja dalam bidang itu. Mereka berhadapan dengan banyak wanita dan dirayu oleh sang model setelah itu. “Ada apa?” tanya Nazmi saat melihat perempuan di depannya memejamkan mata. Malika membuka mata, kemudian tersenyum menggeleng. “Tidak ada.” Konsekuensi berat harus diterimanya setelah mendapatkan uang untuk pengobatan neneknya. Keesokan harinya. Nazmi mengantarkan Malika ke sebuah ruangan kamar hotel untuk bertemu dengan calon suaminya. Tangan Malika sangat dingin. Gugup sekali rasanya, bukan karena rasa senang, melainkan karena rasa ragu yang membawa langkahnya menuju kamar nomor 819. Malika berhenti berjalan ketika sudah mulai mendekati kamar itu. Nazmi kehilangan bayangannya, lalu berbalik arah. “Ada apa?” Malika diam saja dan tidak bicara. Wajahnya pucat, gemetaran sedikit. Nazmi mendekati wanita itu dan menarik tangannya, tetapi betapa terkejutnya dia menggenggam tangan mungil nan lembut itu yang sangat dingin. “Kau baik-baik saja?” tanya Nazmi. “Ya, aku baik. Aku cuman-“ Nazmi tersenyum memegang wajahnya. “Semua akan baik-baik saja, aku yakin abangku akan memperlakukanmu dengan sopan.” “Iya.” Malika melanjutkan ayunan kakinya lagi. Tangan itu masih dipegang oleh Nazmi. Sesekali pria itu menjepit jarinya. Sekitar 5 meter lagi sebelum pintu kamar, Nazmi berbalik arah kemudian memeluknya. Malika terbenam dalam tubuh pria yang disukainya itu. Malika menyambut pelukan itu dengan khusyuk. “Setelah ini aku akan pergi ke Amerika. Kau dan abangku akan berada di Jakarta. Kalian bisa memadu kasih tanpa harus aku ganggu.” “Kenapa kau pergi?” “Aku akan mengurus pekerjaan, seperti yang aku katakan, antara aku dan abangku akan bertemu setahun sekali.” Nazmi melepas pelukannya. Malika menatap kedua matanya. “Apa aku bisa menghubungimu bila nanti terjadi sesuatu?” tanyanya. “Silakan, tapi jangan tahu abangku.” “Oh.” Malika mengangguk. Nazmi sebenarnya tidak ingin melepaskan Malika. Namun, demi sesuatu yang telah dijanjikan oleh abangnya, Nazmi harus merelakan Malika padanya. “Thara, aku doakan agar kau bahagia. Jika kemarin ada terselip rasa suka padaku. Sebaiknya kau hapus saja karena aku bukan tipe pria yang patut dicintai.” Malika diam saja, kali ini dia benar-benar bungkam karena dadanya sesak. Ingin menangis, tapi tidak bisa. Nazmi mendekati wajah wanita itu dan hampir menciumnya, beberapa senti lagi, tapi ditahan olehnya kemudian ditariknya lagi kepala itu, menjauh dari wanita itu. “Masuklah, aku akan menunggu di ruang akad. Di sana ada keluargaku juga. Jika abangku bertanya apa aku pernah berhubungan denganmu, katakan tidak. Katakan bahwa kau hanya kenalanku,” pinta Nazmi kemudian menyelipkan sesuatu di tangan Malika. “Apa ini?” wanita itu tidak paham. “Semprot ke bagian terpentingmu sebelum menggunakan pakaian pengantin, setelahnya juga. Itu bisa membantumu menutupi diri kalau kau sudah tidak terjaga,” jawab pria itu. Malika melihatnya, dia tidak tahu ada benda seperti ini. Lagi pula, orang yang mengambilnya adalah Nazmi. “Baiklah.” “Tetap menjadi Thara yang aku kenal, penurut dan baik hati.” “Iya, Nazmi.” Pria itu pun sontak tertawa, terasa palsu demi menutupi kegundahan hati. “Aku pergi, semoga kau bahagia.” Malika ditinggal, tanpa ditemani setidaknya sampai dia bertemu dengan abangnya yang dia sendiri tidak tahu wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD