Bab 7

1033 Words
Malika berdiri di depan pintu kamar 819 kemudian memberanikan diri menekan bel yang ada di sisi kanan pintu. Malika melirik ke arah lorong menuju ruang pengangkat, berharap Nazmi kembali menghampirinya untuk menemani dia bertemu pria yang berstatus sebagai abangnya, tapi harapannya pupus. Sampai ketika pintu kamar itu terbuka, Nazmi tak kunjung kembali. Kepalanya pun spontan menoleh kembali lurus ke depan. Malika menelan ludah melihat seorang pria yang tengah berdiri menggunakan kemeja abu muda, celana ketat berwarna hijau lumut menatapnya tanpa kedipan dan ekspresi dingin. Mereka berpandangan kaku, bahkan nafas Malika pun tak selepas biasanya. Hanya ada satu kata. Woah! Begitu Malika mau bicara, pria itu menyuruhnya masuk dengan isyarat jempol tangannya yang mengarah ke dalam. Malika mengangguk, jantungnya berdebar sangat kencang saat menapaki kamar hotel kelas atas, ukurannya besar, ada dua tempat tidur di sana berukuran tiga kaki dan enam kaki. Pria itu menatap tubuh Malika dari belakang, kemudian menutup pintu. Malika menoleh, lalu mendapati dia berjalan melewatinya kemudian duduk di kursi empuk. "Duduklah," pintanya. Suara berat yang seksi itu baru terdengar oleh Malika. Serasi dengan wajah dan tubuhnya yang jauh lebih tegap dari adiknya. "Ba-baik." Malika duduk segan di kursi tunggal dekat dengannya. "Apa kau tersesat ke sini?" tanya pria itu. "Hmm, tidak. Saya tadi diantar oleh Nazmi ke sini." Pria itu spontan mengerutkan kening. "Nazmi?" "Ya, adik anda." Pria itu pun tertawa miring dengan suara lemah. "Anak itu senang sekali menggunakan identitasku untuk mendekati wanita," gerutunya pelan, tapi Malika mendengarnya. "A-apa maksud anda?" "Huff, Aku Nazmi, dia hanya menggunakan namaku selama di sini. Aku tidak tahu apa yang telah dilakukannya pada nama itu selama aku pergi." Malika melotot padanya, berusaha memahami maksud pembicaraannya. "Jadi, anda adalah Nazmi, lalu dia-" sahutnya sambil mengatur-ngatur kelopak mata. "Dia adikku, Farrel." "Far-farrel? Mengapa bisa seperti itu?" Pria itu pun tersenyum tipis, menatap Malika dan menyusup ke sela kemejanya yang renggang. "Jadi, kau yang bersedia menjadi istri sementara?" tanyanya. "Huh?" "Hmm, apa Farrel tidak mengatakan padamu?" tanya Nazmi. "Tidak." "Anak itu, menambah pekerjaanku saja." Pria itu berdiri, berjalan ke arah meja berisi tas berbentuk persegi warna biru gelap, mengeluarkan sesuatu dari sana kemudian kembali lagi. Pria itu memberikan map merah dari tangannya pada Malika. "Bacalah, kau akan paham." Malika membuka berkas itu dan melihat ada beberapa lembar kertas berisi perjanjian. Kata demi kata dibacanya dengan saksama, wajahnya bergerak-gerak seiring alisnya yang bergelombang. Nazmi memperhatikan raut wajahnya yang terlihat tegang. Tersenyum singkat seolah tahu isi pikiran wanita itu. "Apa semua ini harus saya lakukan?" tanya Malika. "Malika Thara, wanita yang membutuhkan uang demi pengobatan neneknya. Besok jadwal operasi jantungnya harus dilaksanakan, jika tidak, nyawanya bisa melayang," jelasnya membuka profil Malika. Wanita itu hanya bisa menelan salivanya. "Kalau kau tidak mau, aku minta uangku dikembalikan sekarang juga dan aku akan mencari wanita lain." "Eh, jangan! A-aku bersedia." Pria bernama asli Nazmi itu pun tersenyum. "Kenapa? Uangnya sudah habis?" Malika mengangguk. "Benar, aku sudah memberikannya pada sahabatku yang akan mengurus biayanya besok." "Kalau begitu tanpa terkecuali, kau harus menurutinya." Malika memperlihatkan poin ke-9 pada Nazmi. "Apa ini juga harus? Bukannya di sini tertera kalau anda tidak mau punya anak dari saya?" tanyanya. "Aku menikahimu dengan biaya tidak murah, masa aku tidak boleh menikmati dirimu?" tanyanya. "Aah, itu maksud saya-" Malika menelan ludahnya lagi dan lagi. "Tenang saja, kau tidak akan hamil. Aku pastikan itu." Malika memandang wajahnya yang sangat tampan, raut wajahnya bahkan lebih menggoda dari Nazmi palsu alias Farrel. Namun, mereka sama-sama tidak punya perasaan. "Ada lagi yang mau kau tanyakan?" "Tidak. Saya sudah paham." "Baiklah, selama setahun kau akan menjadi istriku yang tidak akan pernah aku cintai, tapi melayani aku sebagai suami seperti istri lain pada umumnya. Kalau kau mau bekerja, silakan, tidak perlu minta izin padaku dan lakukan segala kegiatanmu di atas jam 7 pagi dan kembali paling lama pukul 6 sore." Malika mengedip berulang-ulang. "Apa aku bisa pergi ke rumah oma dan opa di saat penting atau mendadak?" tanyanya. "Tergantung situasi. Aku tidak akan menghambatnya." "Baiklah, aku mengerti." "Kau juga jangan pakai hati dalam menjalani hubungan ini, sebab kau yang akan tersiksa." "Iya, Pak." Nazmi tersenyum. "Kau panggil aku dengan sebutan bapak? sangat menggairahkan," tegurnya. "Ja-jadi, saya harus panggil apa?" "Di rumah, kau panggil aku dengan sebutan lain, saat di luar kau bisa memanggilku se-formal itu sebab saat kau di luar, kita tidak punya hubungan alias bebas." Nazmi mengatakan itu tepat di depan wajahnya, dalam jarak sekitar setengah meter. "Baik, Pak. Eh, maksudku Bang." "Bagus! Itu jauh lebih enak didengar." "Iya, Bang." "Mahar yang kau minta?" tanya Nazmi. "Mmh, aku tidak mau memberatkan. Boleh aku minta maharnya 350.000?" tanya Malika. "Kenapa dengan jumlah itu?" "Waktu yang dilalui oma dalam sakitnya. Di hari itu pula, aku akan meninggalkan status lajangku. 350 hari Oma sakit dan seribu masalah yang telah kuhadapi dan mungkin akan lebih lagi setelah ini," jawab Malika. "Oke." Nazmi pun memintanya membuatkan minuman sebagai bentuk latihan melayani suami yang akan berlangsung resmi besok hari. Malika menurut, membuatkan kopi untuk calon suami yang dianggapnya aneh. Pria se-tampan itu tidak bisa cari wanita. Kenapa harus bayar orang demi nikah kontrak? gerutunya dalam hati. Malika mengantarkan secangkir kopi untuk Nazmi dan secangkir teh untuk dirinya sendiri. Pria itu segera menarik piring kecil berisi cangkir itu kemudian menyesapnya pelan. Ssluurppp! Bunyi air yang dipaksa masuk melalui celah bibir itu pun terdengar, Malika juga menyesap tehnya yang masih panas. "Pertahankan rasa seperti ini, aku suka." "Iya, Bang." "Malam ini kau bisa pilih, ada dua tempat tidur. Yang besar milikku, yang kecil milikmu," tunjuknya ke kiri. Dari ucapannya, tidak ada unsur pemilihan, melainkan penegasan. Malika jadi bingung. "Kalau kau mau tidur di tempat yang besar, kau akan tidur bersamaku, tapi bila kau tidur di tempat yang kecil maka kau tidur sendiri," lanjutnya dengan pilihan aneh. Malika pun tersenyum lebar, kaku dan geli. Sudah pasti dia memilih yang kecil. Mereka duduk tanpa berbicara sekitar dua jam setelahnya, mata Malika sudah tinggal 2,5 watt. "Bang, apa boleh aku tidur lebih dulu?" tanya Malika. "Tidak, kau tidak boleh menyentuh tempat tidur sebelum aku duluan yang ke sana, atau aku yang membawamu." "Hmm." Malika pun menyandarkan tubuhnya di sofa tunggal, melipat kakinya dan lama kelamaan mata 2,5 watt itu pun padam. Nazmi mengernyit menatap wanita itu telah tertidur dengan posisi menekuk di kursi empuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD