Kafe mungil itu dipenuhi cahaya hangat dari lampu gantung, sementara di luar sana, langit menggantungkan tirai abu-abu tebal. Hujan berderai, memantulkan riak di jalan basah. Namun, bagi Ben dan Anne, waktu seolah berhenti. Di atas meja mereka secarik kertas USG menjadi pusat semesta. Anne menatapnya tanpa berkedip, masih tak percaya jika foto hitam-putih itu adalah bukti nyata kehidupan di rahimnya. Ben pun sama seriusnya; lengan kanannya menopang dagu, sementara tangan kirinya sesekali mengetuk permukaan gambar, layaknya tengah menghitung irama detak jantung kecil yang baru saja mereka dengar. Mereka tak peduli gelas minuman kian berembun, tak peduli es lolinya mencair, tak peduli musik kafe berganti lagu tiga kali, bahkan tak peduli udara sekitar perlahan lebih dingin. Begitu tenggela

