Sepekan terakhir rumah kecil mereka seperti arena uji kesabaran Anne. Bukan karena gempa besar, melainkan karena hal-hal kecil yang berulang. Perutnya belum membesar, tapi tubuhnya cepat sekali lelah. Jadi ia berusaha menjaga ritme pekerjaan—baik di rumah maupun di kantor, agar tak menumpuk. Baru saja ia merapikan selimut, titik pandangnya mendarat di handuk putih yang teronggok di kursi riasnya. Anne menghela napas. Lagi. “Skill amburadulnya suami hamba kenapa naik level terus sih, ya Allah,” lirih Anne, frustasi. Sungguh ia tak ingin mengeluh. Namun situasi seolah tak mengizinkannya santai sejenak. Kembali ke handuk. Kemarin handuk itu singgah di sofa. Dua hari sebelumnya, sempat nongkrong di atas pintu kamar mandi. Hari ini, mejeng di kursi rias, seolah punya agenda travelling keli

