Berhasil Pergi

1011 Words
Sharell buru-buru memejamkan mata. Ia pasang alarm pukul 03.00 WIB. Sebuah rencana sudah ia susun. Ia akan pergi ke pelabuhan dan kabur sementara waktu ke pulau sebrang sambil mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang Verrel. Mencari berita-berita miring tentangnya yang bisa ia laporkan pada papa. “Ok, besok aku harus pergi sebelum para bibi bangun.” Malam semakin larut dan sebentar lagi fajar menyapa. Ketukan berulang kali terdengar di pintu kamar Sharell. Sharell mengucek matanya dan perlahan mulai meninggalkan dunia mimpi. “Iya,” jawabnya dengan santai. “Hah? Jam berapa ini?” ia langsung terperanjat. Tangannya meraba mencari ponsel miliknya. Rupanya alarm yang ia pasang sudah berbunyi berkali-kali beberapa jam yang lalu dan ia tidak dengar. “Aduh, gawat,” gumamnya lirih. “Sharell, bangun sayang, sudah hampir habis waktu subuh.” Suara mama Sharell. Habislah. Tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar. Dengan wajah manyun Sharell membukakan pintu. “Iya Ma,” “Tumben kamu jam segini baru bangun, ayo cepat mandi, sholat lalu siap-siap. Nanti jam tujuh mau ada tamu.” “Iya Ma,” jawabnya lagi dengan wajah suram. “Kok lesu banget? Sudah cepat mandi. Ini, nanti kamu pakai baju ini ya,” “Hah? Kok pakai baju ini sih Ma? Kayak mau pesta aja?” “Bukan mau pesta, hanya mau kedatangan tamu. Harus rapi.” “Iya deh,” terpaksa Sharell menerimanya. Ia kembali masuk ke kamar. Mulai menyalakan shower dan mandi dengan pikiran kosong. Kesal. Kenapa bisa tidak dengar saat alarm itu berbunyi. Satu jam berlalu, Sharell akhirnya selesai merias dirinya. Terpaksa. Kalau ia tidak menuruti untuk memakai pakaian pilihan ibu dan merias dirinya dengan rapi untuk ikut menyambut tamu itu, bisa-bisa papanya murka. “Sudah siap?” tanya mama Sharell saat masuk ke kamar putrinya. “Iya Ma,” jawab Sharell malas. Kali ini terpaksa strateginya harus berubah. “Kamu masih ingat Verrel? Teman SMA kamu dulu?” Sharell mengangguk lesu. “Papanya Verrel itu rekan bisnisnya papa. Mereka yang akan jadi tamu kita. Verrel baik ‘kan anaknya?” mama berbasa-basi. ‘Baik apanya? Manusia kutub. Teman aja gak punya. Saking dinginnya ngalahin es batu kulkas!’ batin Sharell. “Gak tau Ma, aku cuma kenal nama. Gak pernah akrab.” “Ya pokoknya mulai sekarang harus biasa akrab,” suara lembut mama rasanya saat ini tidak terdengar indah. Sharell hanya diam dengan bibir yang terus manyun. “Kita siap-siap turun dan menyambut mereka ya, katanya sebentar lagi sampai.” Mereka berdua menuruni tangga lalu menuju ruang tamu yang diatasnya menggantung lampu Kristal nan mewah. Lirikan meledek dari Randi menyambut Sharell saat tiba di dekat ayah. Tidak ada kalimat ledekan. Mana mungkin berani, dua anak ini tahu betul karakter ayahnya. Hanya mata yang bicara. Senyuman yang tak biasa juga tersungging di wajah Randi. Senyuman yang jelas mewakili kalimat-kalimat ledekan pada kakaknya yang tertahan. Sekitar sepuluh menit menunggu, tamu agung yang dinanti akhirnya datang. Tepat pukul 07.00 WIB seperti yang dikatakan bibi semalam. Mereka semua menyambut dengan hangat. Kecuali Sharell. Wajah yang sudah ayu dengan make up sempurna itu tetap kusut ditekuk. Semua saling bersalaman. Kedua orang tua Verrel langsung mengobrol berbasa-basi dengan mama dan papa Sharell. Sharell akhirnya bertemu lagi dengan cowok es batu kutub utara ini. ia pikir lima tahun tida berjumpa setelah lulus SMA dulu, sikapnya akan sedikit berubah, ternyata sama saja. Malah sekarang kelihatan lebih dingin. Tidak ada senyum ramah. Bibirnya hanya melengkung sedikit sambil mengangguk tanda menyapa. Mungkin itu senyum terbaik yang ia punya. ‘Dasar es batu!’ batin Sharell sambil mengekor mamanya untuk duduk di sofa ruang tamu. Sepanjang obrolan Sharell hanya diam dan memasang telinga. Yang terdengar obrolan basa-basi seputar bisnis papa dan basa-basi lainnya. Tak lama kemudian mama Sharell mengajak mereka menuju meja makan utama. Berbagai hidangan sudah tersaji di sana. Ternyata benar kata bibi, para bibi sudah menyiapkan semuanya sebelu subuh. Benar-benar seperti menyambut tau kerajaan. Aneka hidangan menu khas nusantara dan sebagian menu western berjajar rapi di meja makan. Sarapan pagi yang tak biasa ini pun dimulai. Diam-diam Sharell melirik ke arah Verrel. Penasaran ingin melihat bagaimana cowok kutub ini makan. Selama sekolah dulu rasanya tidak pernah sekalipun dia kelihatan jajan di kantin. “Sharell cantik sekali, anggun ya seperti mamanya,” Puji mama Verrel. Sharell mengangguk sebagai penghormatan. “Terima kasih tante,” “Verrel juga tampan sekali, gimana, kuliahnya di Columbia University sudah selesai?” Mama Sharell balas bertanya. “Sudah sejak tahun lalu, lulus cumlaude dan lulus lebih cepat.” Mama Verrel yang menjawab. Sementara si pria es batu itu hanya mengangguk dan sedikit tersenyum. Senyumnya terlihat sedikit lebih baik dari sebelumnya. Menit-menit berikutnya terus terisi dengan obrolan basa-basi hingga sarapan pagi mereka selesai dan pindah mengobrol di ruang tamu lagi. Sharell masih tetap setia mengekor mamanya tanpa banyak bicara. “Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, saya tidak bisa lama-lama. Ada perjalanan bisnis. Kami harus segera ke bandara dan langsung terbang ke Brunei.” Papa Verrel sepertinya hendak menyudahi pertemuan ini. “Iya, yang penting ‘kan anak-anak sudah saling bertemu.” Mama Verrel menimpali. “Selanjutnya bisa kita bicarakan lagi.” “Oh, iya, terima kasih banyak sudah mau mampir ke sini. Verrel juga ikut?” tanya mama Sharell. “Oh gak, Verrel langsung pulang. Pulang sendiri. Kami sengaja berangkat tidak satu mobil biar tidak repot.” Jawab mama Verrel “Oh begitu, hati-hati ya,” sahut mama Sharell. “Sekali lagi terima kasih banyak Pak Reinhard, sepertinya kita harus segera menentukan tanggal lamaran.” Ujar papa Verrel “Pasti Pak, pasti.” Sambut papa Sharell. Para orang tua kembali bersalaman sebagai tanda pertemuan ini telah usai. Sharell menangkap baik apa yang ia dengar. Ia tidak mau melewatkan kesempatan ini. Verrel pulang seorang diri. Ia harus membuntutinya agar tahu dimana ia tinggal sekarang dan cari tahu kehidupannya. ‘Hmm, aku harus cari tahu kartunya Verrel dan cari kejelekan dia!’ Sharell mundur diam-diam saat semua sibuk mengantar kepulangan keluarga Verrel. Ia berlari ke kamarnya. Tidak ada bibi yang melihat. Semua sibuk membawakan bungkusan yang akan diberikan pada keluarga Verrel sebagai oleh-oleh. Lewat pintu belakang ia diam-diam memesan taxi dan siap membuntuti Verrel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD