“Kau hanya begitu saja ada di sana. Membuatku melanggar semuanya, hingga aku tidak menyadari bahwa aku telah mencintaimu sejak awal waktu.” ~Claudya Leffan.
***
Claudya meregangkan kedua tangannya ke udara. Melepaskan rasa lelah yang hari ini entah mengapa begitu terasa berbeda, saat harinya tadi memang kebanyakan diisi oleh meeting dan presentasi. Pintu ruangan mereka terbuka beberapa detik lalu, memunculkan Kalista yang datang dengan wajah yang tak kalah kusutnya.
“Kenapa, Ta?” Claudya melirik melalui maniknya saat Kalista tampak mengempaskan berkas yang ia bawa ke atas meja, sepertinya sedang menyalurkan perasaan kesal yang begitu jelas terlihat.
Kalista menggeleng samar. Claudya memperbaiki posisi tubuhnya, kini duduk tegak di kursi dan masih memperhatikan Kalista dari dalam kubikelnya.
“Sebel banget, Clau! Pokoknya sebel, ahh!” gerutu Kalista tidak sabar, saat kini perempuan berambut ikal itu mengepalkan kedua tangannya di depan d**a. Seperti menahan perasaan kesal yang tidak bisa dibendung, saat wajahnya juga menampilkan raut yang sama.
Claudya menghela napas. Mereka memang berada di meeting berbeda kali ini, dan sepertinya meeting yang dihadiri Kalista mungkin saja tidak berjalan dengan baik. Bekerja di perusahaan besar dan menempati posisi seperti mereka, memang kerapkali membuat hati panas. Menjadi project consultant yang di salah satu perusahaan ternama, membuat baik Claudya dan Kalista harus berhadapan dengan klien yang tidak semuanya berprilaku baik.
Terlebih jika proyek itu diminta dan dikerjakan oleh perusahaan besar, yang mana terkenal juga dengan ke-plinplanan dan permintaan yang kadang tidak masuk akal.
“Mind to share with me?” ujar Claudya dengan nada rendah. Dia tidak mau Kalista semakin kesal, tetapi jika menilik kebiasaan sahabatnya itu, maka Kalista pasti akan merasa lebih baik setelah perempuan itu mengeluarkan unek-uneknya. Setidaknya dengan sedikit makian, mungkin saja akan membuat kesal yang sedari tadi mengkungkung bisa menguap meski tidak sepenuhnya menghilang.
“Gila! Jangan mentang-mentang dia pikir dia tampan dan udah punya posisi, bisa seenaknya ngerubah draft yang udah ada. Aku harus ngulang semua dari awal dan dia enggak senyum sama sekali, Clau! Bisa kau bayangkan itu?!”
Nah, sudah dimulai.
Claudya tersenyum samar. Sepertinya dia sudah menebak ke arah mana pembicaraan Kalista kali ini, yang pasti menyangkut salah satu klien VIP mereka. Seorang project lead yang banyak gaya—jika disimpulkan Claudya, tetapi memang yang dikatakan Kalista itu benar adanya. Lelaki itu memang tampan, meski terkesan terlalu angkuh dan menyebalkan. Claudya pernah menangani satu proyek bersama pria yang hampir berusia di pertengahan tiga puluhan itu, dan memang tidak mudah juga untuknya.
Terdengar tarikan napas Claudya yang memenuhi ruangan.
“Aku tau gimana perasaanmu, Ta. Tetapi yang mau aku bilang adalah, kau hanya harus bertahan. Percayalah, bonus dari proyek yang dipimpin Braga tidak pernah mengecewakan.”
Perkataan Claudya kali ini sukses mengalihkan perhatian Kalista, saat kini raut wajah kesal tadi perlahan menghilang dari wajah cantik perempuan itu. Melirik Claudya dari sudut matanya, Kalista tampak ‘sedikit’ tertarik dengan apa yang baru saja dikatakan Claudya.
“Kau serius?” Nada suara Kalista menaik, meski masih dalam satu lirihan.
Melebarkan satu senyum, Claudya mengangguk yakin.
“Beneran. Percaya sama aku deh,” ujarnya lagi.
Semakin membuat Kalista penasaran. Dia memang tahu Claudya pernah menjadi project consultant untuk Braga sebelum ini, dan sepertinya perkataan sahabatnya itu bukan omong kosong belaka.
“Yakin ya? Ah, syukurlah kalau begitu,” balas Kalista sedikit lega. Kini raut wajah perempuan itu tampak sedikit cerah, saat senyum mulai hadir di sudut bibirnya.
Biarlah dia harus mengulang draft sejak awal, jika memang apa yang dikatakan Claudya benar maka tidak apa-apa. Dia akan dengan senang hati membuat semuanya dari awal, jika memang bonus yang menggiurkan tengah menunggunya di depan sana.
“Semangat, Ta!” seru Claudya menyemangati, dengan dua tangan terkepal di udara yang membentuk dukungan bagi Kalista. Bekerja dengan ruang lingkup seperti mereka memang terkadang tidak mudah, dan Claudya tahu itu dengan baik sekali.
“Thanks ya, Clau. Kau selalu bisa membuatku merasa lebih baik,” sahut Kalista tulus. Senyum lebar masih bertengger di wajahnya, saat perempuan itu kini berkata melanjutkan.
“Pulang nanti ke Notre, yuk, Clau. Aku yang traktir malam ini, gimana?”
Tawaran yang sontak saja membuat Claudya melebarkan senyuman yang sama, saat sepertinya mendengar kata Notre sudah membuat Claudya merasa di sana. Klub elit tempat favoritnya bersama Kalista, yang biasanya mereka datangi saat sedang merasakan dua hal. Pertama bahagia, kedua saat kesedihan begitu menyayat hati.
Claudya sempat melirik ke arah kalender duduk yang berada di atas mejanya, memeriksa tanggal dan hari. Tiba-tiba saja ingatannya memunculkan sosok Jagas, yang beberapa hari lalu berkata lelaki itu akan berada di luar kota untuk dua hari. Pastilah Jagas belum kembali ke kota mereka, karena lelaki itu juga belum memberi kabar apa-apa pada Claudya.
Menganggukkan kepala dengan yakin, Claudya berseru senang. “Oke! Traktir sampe on ya!”
***
Notre cukup ramai malam itu. Meski hari ini adalah hari kerja, tetapi hal itu tidak berlaku bagi salah satu klub elit seperti Notre. Memasuki Notre dengan tangan yang ia selipkan ke lengan Claudya, manik Kalista sudah menyusuri suasana. Menggerakkan tubuhnya begitu saja, tepat saat suara musik terdengar. Kalista telah memesan satu kubikel private seperti biasanya sebelum jam kantor mereka berakhir tadi, hingga satu pelayan menghampiri mereka kini untuk menunjukkan kubikel yang telah terpesan atas nama Kalista Arania.
Memesan minuman kepada pelayan yang mengantarkan keduanya, Kalista begitu saja mengeluarkan ponsel dan menaruhnya ke atas meja. Claudya juga sedang menatap ke arah layar ponsel miliknya, saat tiba-tiba saja seorang pria datang dan menghampiri kubikel mereka tidak lama kemudian.
“Hai, Ta. Sorry terlambat. Udah lama?” Suara pria itu terdengar sedikit berteriak, saat ia kini melempar senyum samar ke arah Claudya yang duduk di tepi kursi bundar.
Kalista menaikkan kepala, menatap dengan manik melebar pada pria yang sudah berdiri di depan kubikel mereka. Dia memang mengajak satu temannya untuk bergabung bersama mereka malam itu, dan di sanalah lelaki itu sekarang.
“Hai, Will. Baru aja kok, masuk sini,” ajak Kalista.
Pria bernama William itu mengangguk pelan, kini melebarkan senyuman untuk membalas kalimat Kalista.
“Tadi masih ada meeting di kantor, aku pikir udah telat banget, syukurlah kalian belum lama,” sahut pria itu. Mengenakan kemeja berwarna gelap yang dipadu dengan celana chinos sebatas mata kaki, William tampak terang-terangan mencuri pandang pada Claudya yang sepertinya tidak begitu menaruh perhatian padanya.
Perempuan itu hanya melempar satu senyum tipis, saat ia bergeser kemudian agar William bisa duduk di kursi yang berbentuk letter U itu.
“Santai aja kali ah. Kayak kita mau cepet-cepet pulang aja sih!” sahut Kalista. Mengambil ponselnya dan mengarahkan kamera ke arah mereka, perempuan itu sudah mengambil satu gambar untuk ia unggah di i********: story. Menandai akun Claudya dan William di sana, perempuan itu tampak senang berbagi ke akun sosial medianya.
“Clau, ini Willam,” ujar Kalista memperkenalkan Willam pada Claudya, tepat saat mendapati senyum samar William pada Claudya sejak tadi. “Temen yang aku bilang bakal gabung sama kita malam ini.”
Claudya melengkungkan satu senyum tipis, dengan satu anggukan pula. Memutar tubuhnya untuk menatap pada William yang kini duduk di sampingnya, perempuan itu kemudian mengulurkan tangan lebih dulu.
“Senang bertemu denganmu, William. Aku Claudya, Claudya Leffan.”
~Bersambung~