Chapter 2 - Jagas's Nightmare

1221 Words
“Malam mungkin saja kelam, sama seperti kehidupanku bahkan setelah bertahun-tahun berlalu.” ~Jagaswara Syailendra. *** Jakarta, 2020. Jagas mengerang. “Tidak!” lirihnya. Maniknya masih tertutup sempurna, namun potongan ingatan yang kini kembali hadir itu terasa begitu nyata. Lelaki itu menggeram, berusaha mencari kesadaran yang belum sepenuhnya hadir. ‘Kau mau memberi kami restu kan, Gas?’ Suara perempuan itu terdengar lembut sekali, yang dia ucapkan lewat bibir merah mudanya. Kali ini Megan memoles lipstik berwarna sedikit merah menyala, yang semakin membangkitkan gairah lelaki itu. Jagas ingin menarik perempuan itu ke dalam pelukannya, dia ingin merengkuh Megan ke dalam dekapannya. Tetapi yang terjadi kemudian ialah, seorang lelaki muncul dari arah belakang Megan dan dengan mudahnya melingkarkan lengan kokohnya di pinggang perempuan itu. Membuat Jagas hampir saja kehabisan napas, sebab dadanya yang tiba-tiba saja sesak. Saat ia tidak pernah bisa menyentuh Megan, mengapa lelaki itu begitu mudah memeluk Megan? Terlebih kejadian itu tepat terjadi di depan matanya. “Tidak, Megan!” lirihnya lagi. Rasa sakit itu kembali menjalar, merasuki tubuh kokoh Jagaswara. Dia adalah lelaki dengan tubuh kuat dan atletis, tetapi siapa sangka hatinya begitu rapuh di dalam sana. Senyuman Megan tampak melebar, merekah memenuhi wajahnya saat perempuan itu kini tampak memberikan satu senyuman ke arah Jagas. Senyuman yang mengandung arti berbeda, sebab perempuan itu seperti sedang memberikan ejekan telak pada Jagas. Masih memandangi Megan dengan tatapan memuja, Jagas hampir jatuh saat Megan berbalik badan. Jelas-jelas perempuan itu menangkupkan kedua tangannya di wajah pria yang kini memeluk pinggangnya, saat sedetik kemudian Megan sudah memajukan wajah untuk mengecap bibir sang pria. Telak, lagi-lagi Jagas kalah telak. Merasakan petir menyambar tepat di dalam dadanya, pria itu menggeram kesal kini. Megan mencium prianya dengan gerakan lambat, seolah ingin mengatakan bahwa pria itulah yang ia inginkan di hidupnya, bukan seorang pria seperti Jagas yang tidak pernah ia lihat selama ini. Jagaswara kembali menggeliat. Peluh bercucuran di keningnya, saat sekujur tubuhnya menegang menahan rasa sakit yang kini terus menjalar. Menggeleng tanpa sadar, pria itu berusaha untuk meraih kembali rohnya yang sedang tidak berada di tubuhnya. “Jagas!” Suara yang sama. “Jagas, bangun!” Suara yang familiar, yang sepertinya sudah Jagas hapal dengan baik selama ini. Lelaki itu masih belum membuka mata, tetapi dia bisa mendengar suara lembut perempuan itu dengan baik. Indera pendengarannya mulai berfungsi kini. Mengerjapkan mata, Jagas kembali mendengar suara yang sama untuk kesekian kalinya. “Jagas?” Kali ini terdengar lebih pelan, lebih lembut. Tepat saat Jagas membuka kelopak matanya, satu wajah cantik telah terlihat tepat di depan matanya. Perlu beberapa saat untuk Jagas berpikir, sebelum ia menggeram pelan kemudian. “Claudya?” Perempuan itu berdehem pelan. “Kau bermimpi lagi. Bangunlah, tunggu sebentar kuambilkan minuman untukmu.” Tepat setelah kalimatnya selesai, perempuan itu berbalik badan dan beranjak dari samping Jagas. Manik pria itu memutar, meletakkan lengannya di atas kening. Denyutan mulai terasa jelas yang berasal dari kepalanya, saat ia menolehkan kepala tepat ke arah Claudya yang sedang berusaha menuruni ranjang. Perempuan itu belum mengenakan sehelai benang pun, masih begitu polos. Tubuhnya melenggok dengan indah, saat Jagas bisa merasakan ada gairah lain yang muncul tiba-tiba. Sesuatu sudah terasa mengeras di bawah sana, saat ia cepat-cepat menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang juga tidak tertutupi dengan baik. Claudya datang tidak lama kemudian. Membawa satu botol air minum yang ia ambil dari kulkas mini, perempuan itu kembali naik ke atas ranjang. “Nih, minumlah,” ujarnya seraya menyodorkan botol air tadi, setelah lebih dulu ia membuka tutupnya untuk Jagas. Lelaki itu mengangguk kecil. Beringsut untuk kini bersandar pada headboard ranjang, ia meraih sodoran Claudya dan menenggak isinya hingga habis hanya dalam beberapa kali tegukan. Manik Claudya memperhatikan pria itu dengan lekat. “Sudah mendingan?” tanyanya pelan. Dia masih duduk bertumpu dengan kedua kakinya di atas ranjang. Jagas mengangguk lagi. “Terima kasih, Clau,” katanya. Tangannya bergerak untuk meletakkan botol kosong itu ke atas nakas. Menyandarkan kepalanya, Jagas mendongak ke atas untuk memperhatikan langit-langit kamar. Tidak ingin menatap ke arah Claudya yang terlihat sungguh menggoda, saat perempuan itu masih hening. “Kau terlalu sering bermimpi buruk belakangan ini, Gas,” ucap Claudya kemudian. Setelah hening beberapa saat tadi, perempuan itu berniat untuk mengakhiri malam ini. Jagas tidak bersuara. Menurunkan pandangannya ke arah Claudya, memperhatikan beberapa bekas kemerahan yang tersebar di sekitar d**a atas perempuan itu. Pastilah itu adalah hasil dari perbuatannya belum lama ini. Jagas menelan ludah dengan susah payah. “Aku tahu,” sahut Jagas. “Aku hanya sedang banyak pikiran,” katanya lagi. Claudya mendesah. “Baiklah. Jaga dirimu,” pesan perempuan itu lagi. Kini bergerak dari posisinya, Claudya turun perlahan dari atas ranjang super deluxe itu. Memungut pakaiannya yang tersebar acak di lantai, perempuan itu berniat untuk kembali berbusana dengan benar. Setelah saling menyatunya mereka tadi, kini ia hanya perlu pergi dan keluar dari sana. Seperti yang biasa mereka lakukan, selama hampir lebih setahun terakhir. Jagas masih bersandar pada headboard ketika Claudya duduk di tepi ranjang dan mulai mengenakan pakaiannya satu per satu. Melepas ikatan rambutnya yang sedikit berantakan, perempuan itu mengangkat kedua tangannya ke arah kepala. Meraup rambutnya untuk mengelungnya lebih rapi kali ini, Claudya tersentak kaget saat mendapati tubuh Jagas sudah menempel kembali pada punggung polosnya. Lelaki itu bersandar pada bahu Claudya, mengembuskan napasnya ke arah kulit perempuan itu. Entah kapan Jagas bergerak dari posisinya tadi, tetapi Claudya harus tahu bahwa gerakan lelaki itu selalu seperti ini. Tegas, dan cepat. “Gas.” Jagas mendesah. Beringsut lebih dekat dan menjulurkan kakinya ke bawah, lelaki itu persis memeluk Claudya dari belakang. Membiarkan gesekan kulit tidak lagi terhindarkan, saat d**a bidangnya telah menempel erat pada punggung Claudya. Membenamkan kepalanya ke ceruk leher perempuan itu, jemari Jagas telah bergerak untuk menggelitik bagian depan tubuh Claudya. “Gas.” Claudya menggeliat kecil. Merasakan sensasi menjalar akibat sentuhan Jagas di tubuhnya, namun perempuan itu tidak menepis tangan lelaki itu. Maniknya melirik sekilas ke arah dinding, mendapati jam yang hampir menunjukkan pukul empat pagi. Seharusnya mereka terlelap hingga pagi—seperti biasanya. Tetapi karena Jagas mengigau dalam tidurnya tadi, membuat keduanya harus tersadar sebelum waktunya. Jagas tidak bergerak. Masih memeluk Claudya dengan erat, lelaki itu mendaratkan satu kecupan kecil di leher perempuan itu. “Kau akan pergi, Clau?” tanyanya setengah berbisik. “Aku ada meeting pagi ini,” balas Claudya juga dengan suara serak. Kamar itu masih temaram karena hanya lampu meja di atas nakas yang dibiarkan menyala, saat yang lainnya dibiarkan padam. Jagas menarik napas. “Terlalu pagi untuk meeting sekarang kan, Clau?” Claudya menyeringai tipis, menyunggingkan senyuman. Menahan tangan Jagas yang menjalar kini ke bagian dadanya, membuat perempuan itu tanpa sadar menggelinjing. “Jagaswara—“ “Aku mau kau, Clau,” potong Jagas cepat. Membalik tubuh perempuan itu dengan cepat, Jagas sudah memutar posisi. Sengaja menjatuhkan dirinya ke atas ranjang, menahan Claudya di atasnya. Mendapati desahan dari bibir perempuan itu, saat Jagas mengedipkan matanya dengan tatapan mendamba. “Sekali lagi, oke?” tanyanya sedikit memohon. Claudya masih menahan tubuhnya agar tidak jatuh menimpa tubuh pria itu, meski dia tahu Jagas akan sangat mudah menahan tubuh mungilnya di atas sana. “Hmm? Kau tahu kau selalu bisa membuatku ‘naik’, Clau. Ayo lakukan sekali lagi, oke?” bujuk Jagas kemudian. Sudut bibirnya naik satu sisi, saat ia memiringkan kepala dengan wajah memohon. Claudya tidak bisa menolak. Tidak pernah bisa, setelah dia memutuskan untuk terlibat dalam kehidupan lelaki ini, Jagaswara Syailendra. Tidak menjawab dengan kata-kata, perempuan itu kemudian menunduk untuk mengeliminasi jarak antara mereka kini. Menautkan bibirnya pada bibir Jagas yang sudah siap memagutnya, Claudya sudah siap dengan segala resikonya kini. Saat orang-orang semakin terlelap dalam buaian mimpi, saat itu pulalah Jagas dan Claudya saling kembali menyatu. Mengabaikan norma yang berlaku, saat mereka merasa saling memenuhi satu sama lain. Tidak perlu ada perasaan atau hubungan yang mengikat, saat sebenarnya hanya hal inilah yang keduanya butuhkan sekarang. Sama seperti orang-orang yang masih bermimpi, keduanya juga masih diliputi mimpi masing-masing. Jagas yang memimpikan agar perempuan itu akan melihatnya meski sekali saja, dan Claudya yang bermimpi agar perempuan yang dimimpikan Jagas adalah dirinya. ~Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD