Chapter 3 - Morning Talk

1414 Words
“Aku tahu ini tidak benar. Hanya saja aku terlalu lemah untuk beranjak dari sisinya.” ~Claudya Leffan. *** Jagas menyudahi permainan panas dini hari itu setelah waktu berlalu cukup lama. Berakhihr dengan mendapatkan pelepasan dengan cara yang dipikirnya cukup benar, lelaki itu bergeser dari atas tubuh Claudya untuk berbalik menuju bantalnya tadi. Meletakkan kepala di atas sana, membiarkan lengan mereka masih saling bersentuhan satu sama lain. Claudya masih tersadar. Terlalu pagi untuk terlelap kembali, terlebih dia memang memiliki meeting penting pagi ini. setidaknya dia harus bersiap, mengenakan kembali pakaian yang masih teronggok di lantai, mungkin harus membasuh wajah lebih dulu sebelum pergi seperti biasanya. Dia juga harus mampir ke apartemennya lebih dulu, untuk mandi dan bersiap menempuh hari seperti biasanya. Setelah menuruti permintaan Jagas untuk mengulang sekali lagi permainan mereka, kini Claudya benar-benar beranjak dari ranjang. “Kau bilang kau ada meeting pagi, Claudya?” Suara Jagas terdengar memenuhi kamar itu, mengiringi Claudya yang sedang melangkah menuju arah kamar mandi. Sengaja tidak menutup pintunya seperti yang ia lakukan biasa, perempuan itu mematut diri di depan cermin. “Iya,” sahutnya. “Mungkin akan bikin sakit kepala,” lanjutnya lagi. Mendengar samar-samar tawa dari Jagas yang masih berbaring di ranjang, lelaki itu memang belum berniat beranjak dari sana. Tenaganya terkuras habis, benar-benar habis. Teringat ia bahwa ia baru saja selesai meninjau satu proyek sebelum petang tadi melajukan mobilnya untuk bertemu Claudya. Perempuan yang masih berada di dalam kamar mandi itu membilas wajahnya dan mengikat rambutnya ulang. Tadinya sudah ia ikat, tetapi Jagas melepasnya sepanjang permainan mereka. Lelaki itu selalu berkata bahwa ia menyukai geraian rambut Claudya yang sepanjang punggung. Memperhatikan wajahnya di kaca, kini Claudya mendapati lebih banyak bekas kemerahan yang tercetak di d**a bagian atasnya. Tersenyum tipis sekaligus menghela napas, perempuan itu kembali bersuara. “Kau sedang senang membuat kissmark, Gas?” Jemarinya bergerak untuk menelusuri garis-garis itu. “Apa itu kurang untukmu, Clau? Aku bisa membuatnya lagi sebelum kau pergi,” sahut Jagas. Mengundang satu decakan dan seringai tipis di sudut bibir Claudya, tetapi perempuan itu memilih untuk tidak menyambung perkataan Jagas tadi. Kini mengusap wajahnya dengan handuk kecil, Claudya sudah mengenakan baju dalamnya. Keluar dari sana untuk kembali bertatap muka dengan Jagas, saat lelaki itu masih senang berbaring di atas ranjang tadi. Kali ini Jagas bertumpu dengan satu lengannya. “Aku akan ke luar kota besok,” info Jagas tiba-tiba. Menghentikan gerakan Claudya yang sedang mengancingkan blousenya, perempuan itu melempar pandangan pada Jagas. “Lama?” “Sekitar dua hari.” Manik Claudya memutar, melanjutkan kembali kegiatan berpakaiannya. “Oke kalau begitu,” balasnya. Bergerak untuk mengambil tasnya yang terletak di atas sofa, perempuan itu tampaknya telah benar-benar siap untuk pergi dari sana. Memasukkan ponsel dan beberapa barangnya, perempuan itu berbalik badan. “Aku pergi,” katanya. Mendapati Jagas belum bergerak, tetapi lelaki itu menganggukkan kepala. Claudya melempar satu senyuman sebelum kemudian ia melangkah menuju pintu dan meraih handle. Keluar dari sana, perempuan itu menelusuri lorong salah satu apartemen terbaik di kota mereka, meninggalkan Jagas yang masih berada di dalam kamar. Senyuman samar Jagas menjadi hal terakhir yang dilihat Claudya pagi itu, senyuman yang selalu dia suka. Senyuman yang juga mampu membuat harinya lebih berwarna, meski dia tahu lelaki itu tidak pernah benar-benar menatap ke arahnya. Seiring dengan langkah Claudya yang berlalu, Jagas meletakkan kembali kepalanya di atas bantal. Menarik napas panjang-panjang, saat ia melirik ke arah luar jendela yang masih menggelap. Hari belum sepenuhnya bangkit. Jika Claudya kini memasuki mobilnya dengan langkah cepat, Jagas memilih untuk kembali memejamkan mata. Rasa kantuknya masih mengiringnya untuk kembali terlelap, saat sosok perempuan kembali hadir di pelupuk matanya. Perempuan yang sama, Megan Hemmington. *** Waktu di arloji yang dikenakan Claudya menunjukkan hampir pukul tujuh pagi. Langkah kaki perempuan itu didominasi dengan suara ketukan heels 5 cm-nya, yang ia padu dengan set blazer keluaran terbaru dari Ombre Lane. Lambaian tangan Kalista membuatnya memelankan laju langkah, saat perempuan dengan rambut bergelombang itu sudah memanggilnya dengan suara sedang. “Clau, sini!” Menggerakkan tangannya di udara, Kalista meminta Claudya untuk menghampirinya yang sedang menyantap sarapan di salah satu coffee shop kantor mereka. Beralih langkah, Claudya melebarkan senyuman saat ia menarik satu kursi tepat di hadapan Kalista. “Ngopi?” tawar Kalista. Disambut dengan anggukan Claudya, saat perempuan itu menolehkan kepala ke arah stand untuk memilih menu. “Bentar,” ujarnya. Bangkit dan merogoh dompet yang berada di dalam tasnya, Claudya beranjak untuk memesan satu gelas espresso double shot pada bartender yang menerima orderannya. Tidak berapa lama kemudian perempuan itu sudah kembali dengan minumannya di tangan, kembali duduk di hadapan Kalista. Menyesap minuman itu perlahan, Claudya sempat meregangkan lehernya yang terasa pegal. Badannya sendiri remuk redam. “Ga cukup tidur?” tebak Kalista kali ini. Menyuap salad buah yang menjadi menu sarapannya pagi itu, manik perempuan itu mengawasi. Claudya tersenyum hambar. “Gitulah.” Kalista hening sejenak. Memperhatikan Claudya yang kini meletakkan gelasnya, gantian merogoh ponsel dari saku tas yang ditentengnya tadi. Jemari perempuan itu kini mengusap layar dan maniknya sudah terpatri ke arah yang sama. Claudya sedang berusaha mempelajari kembali materi presentasi dalam meetingnya pagi ini. “Masih ketemu sama dia juga, Clau?” tanya Kalista tiba-tiba. Mendapati Claudya menaikkan kepala, menghentikan sejenak usapan jarinya. Perempuan itu tersenyum getir. Memilih untuk tidak menjawab. “Ayolah, Clau.” Suara Kalista kembali terdengar. “Apa lagi yang membuatmu bertahan sama dia, sih?” sungutnya. Meletakkan sendok saladnya, tampaknya Kalista tidak lagi berselera dengan makanannya. Entah mengapa membahas tentang ini bersama Claudya selalu membuatnya naik pitam. Meski tidak seperti itu respon yang diberikan Claudya sendiri. Terdengar menarik napas, Claudya berusaha untuk tidak menanggapi perkataan sahabatnya itu. “Habiskan makananmu, Ta,” tegurnya. Kalista selalu seperti itu jika mereka sudah terlibat akan bahasan yang sama. “Kau tidak merasa itu semua sia-sia, Clau?” tanya Kalista lagi. Tidak peduli meski Claudya terganggu dengan perkataannya itu, dia juga punya alasan untuk terus mendebat keputusan sahabatnya yang tidak juga mengambil keputusan. “Ayolah, Ta. Kita udah berulang kali bahas ini—“ “Justru itu!” potong Kalista cepat. Maniknya melebar, saat ia memajukan tubuh untuk mendempet meja. Berbisik pelan ke arah Claudya yang meski kini menatapi layar, tetapi Kalista tahu perempuan itu mendengarkan dengan seksama. “Setelah begitu banyak pembahasan ini, aku gak tahu kenapa kau tidak mengambil langkah untuk meninggalkan dia,” sungut Kalista. “Apa hebatnya dia sih? Selain bisa main berulang kali seperti katamu?!” “Hush, Ta!” sela Claudya cepat. Maniknya membulat sempurna saat Kalista tiba-tiba menahan perkataannya, mengingat bahwa tidak hanya mereka yang sedang berada di sana. “Ups, sorry, Clau,” kata Kalista. “Tapi aku beneran jengah banget!” sungutnya. “Kau tidak sayang dengan dirimu sendiri?” Pertanyaan Kalista tadi sukses membuat Claudya berhenti, tersentak kecil saat hatinya kini mulai berdenyut nyeri. “Dia tidak memberi apa pun, dan hubungan kalian ini tidak ada ujungnya, Clau. Dia tidak mau berkomitmen, dan yang lebih parahnya dia masih terbelenggu perempuan yang sama, kan? Kalau hanya sekedar menghabiskan malam panas, tidak perlu denganmu, kan?” cerca Kalista lagi. Dia tidak ingin Claudya tetap menutup mata, saat dia sendiri saja jengah melihat Claudya terseret lebih jauh dengan seorang pria bernama Jagaswara Syailendra. Claudya menarik napas. Tidak ada kemarahan yang hadir di antara mereka, tidak juga di hatinya. Sebab semua yang dikatakan Kalista memang benar. Sebab memang dia yang terlalu lemah untuk berlalu dan meninggalkan lelaki itu. “Ada yang ga bisa dijelaskan dengan kata-kata, Ta,” bela Claudya. Dia dan Jagas memulai ini semua dengan sadar, dan telah tercetus dari bibir lelaki itu bahwa dia tidak akan pernah menganggap Claudya lebih dari teman ranjangnya. Sedang Claudya sendiri, sudah terlalu takluk akan pesona lelaki itu saat dia menyadari dia jatuh cinta pada Jagaswara sejak pandangan pertama. Kalista berdecak. Benar-benar menyingkirkan piring saladnya kali ini, menandakan dia sudah selesai dengan itu. “Please, Clau. Pikirin kehidupanmu sendiri, jangan cuma ngikutin hubungan gak jelas kayak gini,” pinta Kalista. Perempuan itu menyugar rambut bergelombangnya, melepaskan rasa frustrasi yang mengambil alih paginya. Mendapati satu desahan napas mencelos dari bibir Claudya, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir perempuan itu. “Tinggalkan dia, dan mulai hidupmu yang baru dengan seseorang yang bisa mencintai dan berani berkomitmen,” ujar Kalista lagi. Kali ini dia menyeruput minumannya, sungguh tidak peduli meski percakapan ini sudah ratusan kali terulang. Sebab faktanya dia masih melihat bekas kemerahan di leher bawah Claudya, yang dia tebak pastilah buatan dari lelaki itu. Lelaki b******k yang tidak punya hati sama sekali. Claudya meraih gelasnya sebelum menyesap espreso-nya untuk yang terakhir kali.  “Yuk, Ta. Bisa telat,” ajaknya. Sengaja tidak membalas ocehan Kalista yang bukan pertama kali didengarnya, saat perempuan itu sudah melingkarkan tangannya di lengan Kalista yang masih menampilkan raut wajah kesal. Kalista mendengus. Menarik napas untuk menghilangkan kesalnya, saat ia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain merundung Claudya dengan ocehannya. Beranjak menuju lift, kedua perempuan itu sudah membaur dengan karyawan lainnya yang juga sedang menanti giliran untuk masuk. Kalista sudah terlibat percakapan dengan salah satu karyawan lain, saat Claudya memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Mengulang memori yang ia punya bersama Jagaswara, mengingat bagaimana bodohnya dia yang tetap bertahan di hubungan toxic seperti ini.  Berusaha mengabaikan rasa sakit yang menjalar, saat kini Claudya sudah benar-benar terbiasa. Terbiasa mendengar lelaki itu memanggil nama perempuan lain, di setiap permainan mereka. ~Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD