Chapter 4 - Our First Meet

1310 Words
“Tidak ada yang membawamu padaku. Kau berada di sana, dan begitu saja aku jatuh cinta.” ~Claudya Leffan. *** Jakarta, 2019. “Sial!” Claudya mengentakkan kakinya dengan tidak sabar, sesekali menggigit bibir bawahnya saat menahan perasaan kesal. Bisa-bisanya resume proyek yang telah dikerjakannya sejak dua minggu lalu kini lenyap begitu saja, bahkan tidak ada bekasnya sama sekali. Seingatnya, file presentasi dan resume itu ia simpan dalam sebuah flashdisk, yang diletakkannya di salah satu laci kecil di meja kerjanya. Dan pagi ini, file itu tidak berada di sana. Melihat kecemasan yang terpapar jelas dari raut wajah Claudya, Kalista menarik napas dalam-dalam. “Yakin disimpan di flashdisk ini, Clau?” tanyanya memastikan. Mana tahu Claudya lupa saat ia menyimpan file itu, dan mungkin saja file itu bisa ditelusuri dengan riwayat pengerjaan di notebook perempuan itu. Claudya mendesah putus asa, saat ia mengangukkan kepala. “Iya, Ta. Dan aku ingat aku memindahkannya secara permanen, bukan meng-copy, ah!” rutuk Claudya kesal pada dirinya sendiri. Kemarin sore dia masih memastikan file itu ada di flashdisk yang kini dia coba otak-atik di notebook-nya, mencoba mencari untuk yang kesekian kali mana tahu file itu terselip entah di mana. Tetapi sepertinya berapa kali pun Claudya mencoba, file itu tetap tidak akan muncul di sana. Kalista menepuk punggung Claudya yang kini ditegakkan perempuan itu, mengembuskan napas dalam-dalam. “Bisa gila aku!” gerutunya lagi. Mengutuk kembali dirinya yang tidak hati-hati, semakin lama semakin tidak punya clue di mana kira-kira file itu berada. Kalista melirik ke arah jam bulat yang terpasang di dinding ruangan kerja mereka, mengerjapkan mata kemudian. “Clau, hampir jam sembilan,” katanya memberikan informasi. Membuat Claudya bergerak untuk lalu melihat ke arah yang sama. Memijat pelipisnya yang kini berdenyut nyeri, Claudya tidak bisa melakukan apa-apa selain masuk ke ruang presentasi dengan berkas yang tidak matang. “Astaga! Benar-benar kacau sekali!” rutuknya entah yang ke sekian kali. Dia tidak punya waktu lagi, saat kemudian ia sudah mengobrak-abrik tumpukan berkas di atas mejanya. Menemukan beberapa bahan mentah dari presentasinya kemarin, Claudya akhirnya mengambil berkas-berkas itu dan menghadap Kalista dengan tatapan sendu. Dia tidak punya pilihan. Sebaiknya muncul dengan berkas setengah matang, dari pada tidak datang sama sekali. *** Teguran dari Pak Tirta tadi masih terngiang jelas di telinga Claudya tepat saat ia mengangkat satu gelas wine yang kini berada di tangan kanannya. Manik bulatnya menatap ke arah gelas bening yang berisi cairan merah kehitaman itu dan lantai marmer secara bergantian, saat bahkan ia pun berada di sana dengan outfit kantor yang masih sama. ‘Bagaimana kamu bisa naik level jika bekerjamu seperti ini, Clau? Bahkan pekerjaan juniormu jauh lebih baik dari pada kamu. Tidak berbobot sekali!’ Seakan tidak bisa menerima alasan yang dikemukakan Claudya setelah presentasi itu berakhir, Pak Tirta malah mendengus kesal dan benar-benar membuang muka. Baginya, kesalahan Claudya cukup fatal dan sepertinya membawa kekecewaan besar untuknya. Karena tidak biasanya Claudya bertingkah seperti ini, sungguh sangat tidak profesional. Hal itulah yang akhirnya membuat Claudya membelokkan mobil ke arah salah satu club di sudut kotanya, tempat di mana dia biasanya menghabiskan waktu saat pikirannya memilin seperti benang kusut. Berniat untuk menghabiskan beberapa gelas wine saja, tetapi kini tengkuknya sudah mulai terasa berat karena tidak terasa ia telah menenggak hampir tiga gelas wine tanpa ia sadari. Dentuman musik yang terdengar di luar sana tidak mengganggu Claudya yang masih senang berada dalam kubikelnya. Tidak menaruh perhatian pada riuhnya nada dan lautan manusia yang sedang bergoyang menikmati musik dengan satu penari di depan sana, Claudya hanya berpusat dengan dirinya sendiri. Teguran tadi ternyata cukup menyita pikirannya, saat ia kemudian menarik napas dalam-dalam. Mengutuk dirinya sendiri, saat ia tampak sangat tidak becus tadi. Mengacaukan semuanya, bahkan menenggelamkan harga dirinya ke pusara terdalam. Seringai mengejek yang didapatnya dari salah satu lawannya kali ini mengoyak harga diri, saat Felicia menatapnya dengan tatapan menjatuhkan sekaligus merendahkan. “Arggh!” desis Claudya kesal. Rasanya tidak ada lagi tenaga untuk meluapkan amarah, seiring dengan dirinya yang sudah mulai melemas. Tidak menghiraukan apa yang sedang terjadi di luar sana, Claudya berusaha untuk bangkit dari kursi dan berniat untuk pergi meski dengan kesadaran yang hampir menghilang. Meraih tas dan menggenggam benda itu di tangannya erat, Claudya menembus barisan manusia yang sedang menikmati waktu dengan cara berbeda-beda. Beberapa pasangan sudah tercipta di sudut gelap club itu, menyatu di dinding dengan ciuman panas. Beberapa lagi lebih senang untuk meliukkan tubuh di lantai dansa, tidak menaruh peduli pada tangan-tangan orang asing yang mungkin menyentuh tubuh mereka dengan leluasa. Dan beberapa lainnya, sedang memperhatikan dengan seksama pada calon mangsa potensial. Tepat saat pijakan Claudya hilang keseimbangan, perempuan itu hampir saja terjatuh. Menyadari satu lengan kokoh sedang menahan tangannya sekarang, dia buru-buru menegakkan tubuh meski dengan susah payah. Kepalanya sakit, namun pria itu malah melengkungkan satu senyuman. “Berhati-hatilah, Nona,” bisik pria itu jelas sekali. Tidak melepaskan tangannya yang masih melingkar di pinggang Claudya, perempuan itu bahkan bisa mencium aroma parfum maskulin yang menaikkan gairah. “Uh, maaf,” lirih Claudya pelan. Tangannya bergerak saat ia meraba ke arah kakinya, berencana untuk melepas heels yang ia kenakan. Mungkin sebaiknya ia melanjutkan perjalanan menuju mobil yang terparkir di basement dengan tanpa alas kaki saja. Lelaki itu melepas sanggahan tangan, tetapi sama sekali tidak beranjak dari posisinya berdiri. Manik hitamnya menatap lekat pada Claudya, memperhatikan outfit yang dikenakan perempuan ini. Mengambil kesimpulan dengan cepat bahwa pastilah perempuan itu tidak datang untuk bersenang-senang. Mungkin sebaliknya, menghilangkan rasa penat yang menggerogoti setelah berkutat dengan pekerjaan yang melelahkan. “Kau perlu bantuan, Nona?” tawar lelaki itu lagi. Claudya tampak begitu kesulitan untuk hanya berdiri tegak, saat kini satu tangannya sudah memegangi tas dan tangan satunya berusaha menenteng sepasang sepatu yang telah berhasil ia lepaskan. “Ah, tidak. Ah, iya, maksudku. Aku bisa sendiri tetapi lantainya berputar,” gumam Claudya tidak jelas. Lelaki itu menyeringai tipis, melepaskan satu embusan napas panjang. “Kemarilah, kubantu kau menuju mobilmu. Ada di mana?” tawarnya kemudian. Kali ini Claudya menaikkan kepala, memicingkan mata saat maniknya menelusuri wajah lelaki yang berada di depannya kini. Hampir tercekat napasnya, saat wajah lelaki itu telah berhasil mengalihkan dunia. Tidak tahu apa yang terjadi, Claudya tidak bisa mengalihkan pandangan dari lelaki itu. Tidak sama sekali. “Ayo, Nona.” Suara lelaki itu terdengar menenangkan, saat kemudian Claudya menganggukkan kepala tanpa sadar. Jika biasanya ia tidak membiarkan lelaki asing menyentuhnya atau sekedar menawarkan bantuan, maka kali ini Claudya sudah jatuh pada pesona sang casanova. Lelaki itu mengulurkan tangan pada Claudya, menunggu dengan sabar hingga perempuan itu menyambut tangannya. Claudya tidak tahu siapa pria itu. Tetapi genggaman tangannya terasa kuat, dan sentuhan itu mengalirkan efek hangat di hati seorang Claudya Leffan. Lelaki itu membukakan pintu mobil Claudya, mempersilakan perempuan itu untuk masuk di kursi penumpang. Membuat Claudya meringis, sekaligus mengerutkan kening tidak paham. “Kau tidak bisa menyetir, Nona. Sebaiknya aku mengantarmu pulang, dari pada terjadi hal yang tidak diinginkan nanti,” jelas pria itu kemudian. Bahkan setelah Claudya duduk baik di kursi penumpang depan, lelaki itu menunduk untuk memasangkan sabuk pengaman. Membuat perempuan itu menahan napas untuk beberapa detik, terlalu kaget atas perlakuannya yang begitu tiba-tiba. “Inikah alamatmu?” tanya pria itu begitu dia sudah duduk di kursi pengemudi, memilih rute paling sering dituju dari map navigasi. Claudya mengangguk. “Benar.” Bahkan di dalam mobilnya sendiri, ia merasa seperti orang lain. Sebab kini ada seorang pria tampan yang menyetir untuknya, dengan kemeja berwarna putih terang beraksen bintik kecil yang tampak menawan. Tiga kancing paling atas kemeja pria itu dibiarkan terbuka, dan tidak bisa dipungkiri itu menarik perhatian Claudya. Hening menyelimuti saat keduanya sama-sama terpekur dalam pikiran masing-masing. Mobil itu sudah meluncur meninggalkan pelataran parkir club mewah tadi, mengikuti arahan dari map untuk membawa sang wanita kembali ke tempatnya. Sang pria memelankan laju kendaraan, saat memperhatikan lampu di sisi kanan dan kirinya berubah menjadi merah. Berhenti tepat di belakang sebuah mobil berwarna putih terang, pria itu melirik sekilas ke arah Claudya untuk memeriksa keadaan perempuan itu. Manik mereka bertaut, saat Claudya terpergok sedang memperhatikan sang pengemudi kali ini. “Kau pasti kelelahan hingga kau mabuk,” ujar si pria tadi dengan nada lembut. Claudya meringis. Menatapi baju kerjanya yang kini tampak sedikit berantakan, dia berusaha menghilangkan rasa canggung. “Er-begitulah,” jawabnya. “Aku Claudya. Claudya Leffan. Boleh kutahu siapa namamu?” tanya perempuan itu dengan nada pelan. Mendapati satu senyuman dari sang pria, saat kemudian ia sudah menginjak kembali gas untuk mulai beranjak dari antrian. “Aku Jagas. Jagaswara Syailendra. Senang bertemu denganmu, Claudya.”  ~Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD