Chapter 5 - The Night We Spent

1068 Words
“Aku tidak pernah bisa merasakan cinta. Tidak bersama perempuan lain, tidak juga bersamamu.” ~Jagaswara Syailendra. *** Lelaki itu membuka matanya dengan susah payah. Cahaya mentari sudah menelusup masuk melalui celah gorden yang tidak ditutup dengan sempurna, saat kamar apartemen itu terasa sunyi sekali kini. Hal terakhir yang terekam di ingatan Jagas masih selalu sama—kepergian Claudya dengan punggung yang menjauh, bahkan tanpa tolehan. Jangankan kecupan selamat tinggal, bahkan lambaian tangan pun tidak pernah ada di sana. Jagas telah tersadar. Terbangun dari tidurnya beberapa menit lalu, saat ia memilih untuk kembali meletakkan lengannya di atas kedua mata. Menimpa maniknya yang ia paksakan tertutup lagi, saat pikirannya sudah merayap entah ke mana. Dia selalu terbangun seperti itu. Sendirian, dengan sepi yang menyelimuti. Tidak pernah rasanya Jagas terbangun lebih dulu dari pada Claudya, perempuan yang sudah menjadi teman seranjangnya untuk hampir setahun belakangan ini. Dia juga tidak berpikir hubungan yang mereka jalani itu akan berlangsung lama seperti ini, tetapi sepertinya baik dia dan Claudya sama-sama menikmati apa yang terjadi di antara mereka. Menikmati desahan yang terdengar, dengan dinding yang menjadi saksi bisu. Menikmati bagaimana keduanya saling menatap tubuh polos satu sama lain, tenggelam dalam permainan yang menyibukkan sepanjang malam. Bahkan bisa lebih dari sekali, saat Jagas memiliki tenaga cukup kuat untuk melakukannya berulang kali. Claudya selalu berhasil membuatnya b*******h, bahkan hanya dengan melihat punggung perempuan itu saja dia sudah kesulitan mengendalikan diri. Jagas menghela napas. Menurunkan perlahan lengannya kini, lelaki itu kembali membuka mata. Membiarkan maniknya bersatu dengan cahaya yang terasa menyilaukan sekarang, saat lengan kokohnya tadi meraba ke atas nakas. Mendapati ponselnya di sana, dan tanpa satu pun notifikasi yang masuk kecuali reminder bahwa ia harus ke luar kota siang ini. Tidak ada yang benar-benar berjalan mulus dalam kehidupan seorang Jagaswara Syailendra. Bahkan dirinya kerap kali terpuruk, akibat mencintai orang yang salah hingga bertahun-tahun. Memilih aplikasi pesan w******p-nya, lelaki itu menggerakkan jemarinya di atas layar. Berhenti saat ia memilih kontak Claudya di sana, menekan satu tempat yang menampilkan foto profil perempuan itu kemudian. Seorang wanita cantik dengan senyum merekah, sedang memegangi gelas bening yang berisi avocado matcha—minuman kesukaan Claudya. Membayangkan Claudya, mendapati last seen pada profil perempuan itu adalah lima menit yang lalu, Jagas menebak pastilah Claudya sedang disibukkan dengan rapat sekarang. Bukankah tadi  perempuan itu berkata ia memiliki rapat pagi ini? Lagi-lagi Jagaswara mendesah. Memandangi foto Claudya di layar ponselnya, seakan mengulang kembali masa-masa yang mereka lewati hingga detik ini. Keadaannya selalu sama, persis seperti keadaan pagi ini. Bermula saat keduanya akan mendatangi tempat yang sama—yaitu satu unit apartemen yang dibeli Jagaswara setelah keduanya sepakat untuk terlibat dalam satu hubungan seperti ini. Kemudian ritual mandi secara bergantian, atau salah satu dari keduanya. Setelah itu, semuanya terjadi begitu saja. Pakaian yang terlepas tidak lebih dari beberapa detik, hingga mulainya permainan mereka melalui satu ciuman panas. Berakhir setelah beberapa lama saling memenuhi hasrat, kemudian saling terlelap menghadap ke arah yang berbeda. Paginya, Claudya akan selalu bangun lebih dulu, untuk kemudian meninggalkan Jagas di sana. Lelaki itulah yang kelak akan paling terakhir pergi, setelah memandangi kesunyian dan keheningan apartemen itu hingga Claudya datang lagi di waktu berikutnya. Itu semua sudah terjadi hampir setahun belakangan ini, dan tanpa cinta di antara mereka. *** Satu tahun lalu... Perempuan itu setengah mabuk. Jagas memang berniat untuk membantunya pergi dari hiruk pikuk bar, saat maniknya menangkap bahwa Claudya sepertinya tidak datang untuk bersenang-senang malam itu. Sebab perempuan itu mengenakan baju kerja yang tidak cocok sama sekali dengan lantai dansa, dan dia terlihat kelimpungan dengan dirinya sendiri sekarang. “Claudya, masukkan sandimu,” pinta Jagas saat ia masih memapah gadis itu di sisi kanannya, berniat membangunkan Claudya yang hampir hilang kesadaran. “Oh, itu 248896,” desah Claudya. Bahkan maniknya setengah menutup, akibat rasa kantuk yang begitu menjalar. Jagas menekan kombinasi angka yang disebut perempuan itu dengan cepat. Syukurnya Claudya masih mengingat sandinya meski ia hampir tertidur, dan Jagas merasa lega sebab itu tidak membuatnya harus berlama-lama lagi di depan pintu apartemen seorang gadis asing. Terdengar bunyi klik saat pintu itu terbuka kini, yang mana Jagas langsung memapah Claudya memasuki ruangan tersebut. Lampu otomatis menyala saat mendapati sensor dari kedatangan mereka, dan kini ruang apartemen Claudya itu tampak terang benderang. “Ke sana!” tunjuk Claudya. Menunjuk ke arah kanan, saat Jagas mendapati telunjuk perempuan itu mengarah pada satu pintu yang terbuka lebar. ‘Ah, itu pasti kamar perempuan ini,’ pikir Jagas dalam hati. Membimbing Claudya untuk menuju ke kamar itu, Jagas berhasil membaringkan tubuh mungil Claudya di atas sebuah ranjang besar yang berada tepat di tengah-tengah kamar. Ranjang itu dilapisi dengan sprei lembut berwarna gading, dengan aksen bintik kecil dan garis abstrak yang teratur. Menarik napas lega saat ia berhasil meletakkan tubuh Claudya di atas sana, Jagas terduduk tepat di tepi ranjang untuk beberapa saat. Memperhatikan kemeja perempuan itu yang tiga kancingnya telah terbuka, sebab Claudya meracau kalau tubuhnya kepanasan selama perjalanan mereka tadi. Jagas baru saja hendak pergi dari sana, saat lengan Claudya tiba-tiba saja menahan lengannya. Tarikan itu terasa kuat, saat perempuan itu membuka mata kemudian. “Aku menginginkanmu,” lirihnya pelan. Maniknya berputar cepat, memandangi ke wajah Jagas dengan rahang yang mulai mengeras. “Kau mabuk,” sahut Jagas pelan. Berperang dengan dirinya sendiri, saat bagian d**a atas perempuan itu sungguh membangkitkan gairah kelelakiannya kini. Tetapi dia tidak ke sana untuk menghabiskan malam dengan perempuan itu, bukan itu tujuannya. Claudya mendesah. Menolak saat tangan Jagas berusaha untuk melepaskan cengkramannya, malah perempuan itu menarik sudut kemeja Jagas tanpa aba-aba. Membuat lelaki itu kembali terduduk, menatapi Claudya yang merintih dengan tatapan nanar sekaligus ingin menerkam. “Aku mau kau tinggal,” pinta Claudya lagi. Dia tidak ingin lelaki itu pergi, saat lelaki itu sukses mencuri perhatiannya sejak pandangan pertama mereka. Claudya tidak pernah segila ini terhadap pria, tetapi Jagas benar-benar membuatnya ingin merasakan bagaimana rasanya berada di bawah kungkungan lelaki itu. Jagas menarik napas, lagi. Perempuan ini sungguh berada dalam bahaya, jika dia terus-terusan mendesah dan menggigit bibir bawahnya seperti tadi. Karena bagaimanapun Jagas adalah seorang lelaki normal, dan dia telah terlanjur berhasrat sekarang. “Kau mau aku tinggal?” tanya Jagas pelan. Menggerakkan jemarinya untuk menelusuri rahang tegas Claudya, membuat perempuan itu semakin merintih hebat. Claudya menjawab dengan anggukan. “Tinggallah,” pintanya. Butuh beberapa detik hingga akhirnya Jagas memutuskan pilihan, saat jemarinya sudah bergerak untuk melepaskan kancing kemejanya satu per satu. Di tengah kota itu, Jagas dan Claudya menyatu dengan hasrat membara. Saling memagut, saling memasuki satu sama lain. Meloloskan rintihan dan desahan hingga mencapai garis batas, hingga Jagas menyadari ada percikan darah di sprei perempuan itu keesokan harinya. Ada dua keadaan yang terjadi saat itu, dengan dua pula perasaan berbeda di dalamnya. Jagaswara yang mengambil alih kesucian seorang perempuan yang tidak ia kenal dengan baik, dan Claudya yang jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang pria. ~Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD