BAB 2 ; Pindah

1671 Words
    Awal musim semi membawa kegembiraan bagi sebagian orang, termasuk Yuna. Jalanan yang dipenuhi bunga bunga berwarna-warni membawa langkah Yuna ke salah satu agen perumahan. Saat baru sampai kemarin, Yuna menginap di asrama  rekannya yang masih menempuh studi. “Kamu bisa tinggal di sini lebih lama, Yuna. Asrama ini sudah banyak yang kosong.” begitu kata temannya kemarin. “Tidak apa-apa, aku akan segera mendapat pekerjaan. Jadi aku akan menyewa rumah kecil.” ujar Yuna. Dia merasa tidak enak jika harus terus menumpang pada temannya.     Tujuan Yuna adalah menemukan rumah atau apartemen kecil yang bisa digunakan selama dia menetap di Korea. Kriteria utamanya tentu saja murah dan dekat dengan tempat tujuan bekerjanya. Padahal dia belum diterima.     Sebenarnya cukup aneh meminta apartemen murah di pusat kota Seoul. Mungkin bisa saja jika rumah itu berhantu atau bekas kejadian kriminal, tapi Yuna adalah orang penakut. Dia tidak mungkin tinggal di tempat dengan rumor seperti itu.     Dulu saat berkuliah, kehidupan Yuna ditanggung oleh kampusnya. Jadi Yuna memiliki asrama dan dana yang sangat mencukupi. Tetapi kali ini dia nekat pergi dengan dana seadanya. Yuna hanya berharap nasib baik berpihak padanya kali ini. “Halo. Selamat pagi.” Yuna menyapa sopan saat membuka pintu salah satu ruangan di gedung tinggi berwarna abu-abu. “Halo, selamat pagi. Ada yang bisa kami bantu?” salah seorang pria berdiri dan menanggapi Yuna dengan ramah. Pria itu adalah pekerja berusia tak kurang dari empat puluh tahun. “Hm.. saya sudah menghubungi lewat telepon kemarin, saya perlu menemukan sebuah tempat tinggal.” jawab Yuna. Pekerja itu mengangguk-angguk sambil menyilakan Yuna untuk duduk di kursi klien.     Dengan cepat, pria itu menanyakan kriteria tempat tinggal dan dana yang disanggupi oleh Yuna. “Hmm.. cukup sulit menemukan apartemen dengan keamanan bagus di harga sekian.” pria itu masih tersenyum ramah menjelaskan keadaan pada Yuna. Gadis itu mengerti dan mengangguk kecil.     Sejujurnya, Yuna adalah gadis yang terlalu percaya diri. Dia belum tentu diterima di kantor media incarannya, tetapi dia sudah menghitung dana gaji untuk kebutuhannya. “Kami akan menghubungi anda lagi jika ada apartemen kosong.” ujar pria berpenampilan rapi itu. “Maaf, tapi apakah ada apartemen bagus jika sedikit jauh dari tempat yang saya minta tadi? Saya harus secepatnya menemukan tempat tinggal.” ucap Yuna tersenyum ragu. Wajahnya memerah, dia sadar diri dan rela berjalan lebih jauh asal mendapat apartemen yang dia inginkan. Pria di depannya diam sejenak memeriksa komputernya. “Cukup jauh, apa tidak apa-apa?” setelah beberapa menit diam, agen perumahan itu menunjukkan dua lembar data berisi apartemen yang ditawarkan. Yuna meneliti data itu dengan serius. Uangnya cukup untuk tiga bulan membayar sewa. “Anda ingin melihatnya lebih dulu?” tanya pegawai itu ramah. “Apa bisa?” “Tentu saja. Mari saya antar.” pegawai itu tersenyum dan menyiapkan perjalanan mereka. Yuna mengangguk tersenyum dan berjalan mengikutinya.     Yuna tersenyum sepanjang jalan. Alasannya adalah perjalanan mereka melewati kantor media besar dengan dinding kaca gelap yang tingginya mungkin sampai tujuh puluh lima lantai.     Yuna sudah pernah datang ke sana untuk praktek di masa kuliahnya dulu. Saat itulah dia jatuh cinta pada gedung itu. Dia bercita-cita sebagai jurnalis berita atau menjadi penulis acara, tetapi penulis acara TV terlalu berat untuk pemula. Jadi, dia akan menekuni tujuan awal menjadi seorang jurnalis. “Apartemen kosongnya ada di lantai tujuh.”     Lima belas menit pergi, akhirnya mereka sampai di properti yang disewakan. Yuna mengedarkan pandangannya di seluruh gedung. Menurutnya, tidak ada properti jelek di Seoul.     Gedung apartemen ini juga bagus. Terdiri dari sepuluh lantai, gedung ini lebih pendek dari gedung di sekitarnya. Bangunan ini luas dengan taman hijau dan zona lari kecil di halamannya. Gedung ini ramai, mungkin karena biaya sewa yang cukup terjangkau.     Apartemennya tidak terlalu luas. Pada bagian tengah, ada ruang kosong yang hanya berisi satu sofa. Tempat itu terhubung langsung dengan dapur kecil. Yuna sudah memikirkan akan membuat sekat kecil dan membuat tempat kosong itu sebagai ruang santai, ruang tamu, sekaligus tempat makan.     Ada juga sebuah pintu berwarna coklat yang isinya adalah kamar tidur dan kamar mandi. Sudah terdapat satu kasur berukuran sedang, nakas, dan meja belajar di sana. Bagian kamar mandi juga tidak terlalu luas karena ada mesin cuci sebagai sarana yang disediakan. Itu sudah lebih dari cukup bagi Yuna, dia jadi tidak perlu pergi ke penatu tiap minggu.     Yuna membuka jendela kaca besar di dalam kamar yang menghubungkannya dengan balkon kecil. Udara musim semi menyapa ramah. Yuna tersenyum, pemandangan akan terlihat indah dari atas sini. Dia akhirnya menerima gedung itu dan memutuskan segera pindah. Yuna tidak keberatan untuk berjalan cukup lama saat bekerja, toh juga ada bis.     Saat di Indonesia, Yuna memiliki dua rumah. Yaitu rumah Ibunya dan Ayahnya. Orang tuanya memiliki rumah masing-masing sejak belum menikah. Milik ibunya ada di kota, sedangkan milik ayahnya ada di pesisir pantai. Rumah ayahnya lebih seperti tempat penginapan.     Yuna lebih sering berada di rumah ayahnya ketika menenangkan diri. Menurut Ayahnya, rumah itu akan diberikan pada Yuna karena dia terlihat menyukainya. Dia sering berjalan cukup jauh untuk membeli sesuatu. Bukan perkara sulit untuk mengulanginya di sini. “Anda bisa pindah mulai hari ini jika sudah membayar uang muka dan melengkapi berkas.” ujar pegawai itu senang. Yuna mengangguk dan mengikutinya pergi untuk melanjutkan transaksinya.     Sebuah pesan masuk membuat Yuna termenung sebentar. Sejenak dia melupakan alasannya lari ke Korea, lalu pesan itu mengingatkannya lagi. Aku menelponmu berkali-kali, kenapa tidak diangkat? Kamu pergi kemana saja?     Yuna menghembuskan napas berat menutup ponselnya lagi. Dia benar-benar lelah saat ini. Rupanya benar kekasihnya sudah menelponnya berkali-kali. “Baik, Nona Yuna. Silakan tanda tangan di sini.” untungnya suara pegawai itu membuatnya kembali fokus. Yuna tersenyum kecil dan menandatangani berkas itu dengan cepat. “Kami bisa membantu pindahan anda jika anda ingin pindah hari ini juga.” terang pegawai itu setelah memberikan salinan kontrak sewa apartemen pada Yuna. “Oh benarkah? Bisa begitu?” Yuna membulatkan mata tidak percaya. Dia baru tahu ada layanan seperti itu juga. “Tentu saja, kami akan membantu jika anda bersedia.” “Emm.. tapi barang saya tidak terlalu banyak, terima kasih tawarannya.” Yuna tersenyum dan menerima sambutan tangan dari pegawai paruh baya itu.     Yuna mengirim pesan pada temannya bahwa dia berhasil menemukan tempat tinggal baru lalu segera pulang. Urusannya sudah selesai.     Yuna pulang ke asrama rekannya dalam waktu singkat. Dia tidak sempat sarapan tadi, untungnya teman baiknya itu sedang mengunyah roti saat ini. “Kamu punya lagi?” tanya Yuna cepat menatap roti berbentuk ikan itu dengan mata kelaparan. “Kau tidak berubah sama sekali, lebih baik kau cuci kakimu dulu.” temannya memicingkan mata dan melahap sisa roti hingga mulutnya penuh. Yuna cemberut dan merangkulnya. “Kau sangat cantik, jika kau rajin mencuci kakimu saat dari luar, kau akan jauh lebih cantik.” temannya meledek lagi. Mencuci kaki setelah dari luar ruangan memang suatu keharusan bagi Minji, dan itu telah menjadi kebiasaan bagi Yuna juga. “Kau harusnya bersikap padaku, Minji. Aku akan pindah sekarang juga.” ucap Yuna masih dengan mata seperti kucing kelaparan. Teman yang dipanggil Minji itu hampir tersedak mendengar ucapan Yuna. “Kenapha buru-bhuru?” tanya Minji masih dengan mulut penuh. “Aku tidak mau mengganggu mahasiswa tingkat akhir.” Yuna mengedipkan sebelah matanya dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci kakinya. “Kau seperti baru mengenalku saja.” ujar Minji mengerutkan Alis.     Minji adalah adik tingkatnya di universitas dengan jurusan yang berbeda, tetapi umur mereka sama. Mereka bertemu secara tidak sengaja di kantin kampus karena Minji tidak bisa menemukan roti cokelat kesukaannya. Yuna yang merasa kasihan memberikan satu miliknya.     Ya, mereka memang sudah cukup dewasa, tetapi sikapnya masih sama seperti anak kecil. Entah bagaimana mereka jadi berteman dan Minji menempel pada Yuna seperti anak ayam. Minji adalah keturunan Korea asli, untungnya  Yuna sudah pandai berbahasa korea. Jadilah mereka berteman baik satu tahunan ini. “Mana rotiku? Aku sudah mencuci tangan dan kaki.” Yuna mendekat dan duduk di sebelahnya. “Kau benar-benar akan pindah sekarang?” tanya temannya sedih. “Ya, mau mengantarku?” Yuna mulai memasukkan roti berbentuk ikan itu ke mulutnya. “Jauh dari sini? Kau serius?” Minji mulai khawatir. Dia tahu Yuna sudah berkelana kemana-mana, tetapi dia baru sampai di sini kemarin. Minji tidak ingin cepat berpisah dengan Yuna. “Sekitar tiga puluh menit dengan bus, cukup dekat.” Yuna mengangkat bahu. Temannya diam menatapnya sejenak.     Itu memang bukan jarak yang cukup jauh, tetapi mereka pasti akan sulit bertemu ketika menemui kesibukannya masing-masing nanti. “Tenang saja, kita bisa minum-minum nanti. Mau mengadakan pesta kepindahanku?” Yuna tersenyum bertanya. “Tentu! Aku akan membantumu membereskan tempatmu.” temannya mengangguk cepat. Mereka mulai menghabiskan roti di meja dengan lahap.     Sekitar satu jam kemudian, Yuna dan Minji sudah sampai di kamar apartemen baru Yuna. Tadi agen perumahan sudah memberikan dua kunci sebagai pegangan bagi Yuna. “Apa-apaan? Ini sudah bersih dan siap ditinggali.” ujar Minji meletakkan tas jinjing Yuna kasar ke sofa. “Tentu saja, aku tidak ingin lelah membersihkan tempat ini. Lebih baik kau membantuku merapikan barangku.” Yuna tertawa membuka kopernya. “Hih, dasar pemalas.” Minji bersungut-sungut mendekat, lalu mulai membantu Yuna mengeluarkan barang-barangnya.     Yuna mengeluarkan berkas untuk lamaran pekerjaan yang sudah dia siapkan sejak masih di Indonesia. Dia benar-benar serius ingin bekerja di kantor media itu. Minji pernah bertanya kenapa hanya ingin bekerja di kantor media BSS. Jawabannya hampir membuat Minji muntah di karpet. “Aku jatuh cinta pada pandangan pertama, dan aku ingin memperjuangkan cintaku.” itu jawaban tidak masuk akal dari Yuna waktu itu.     Minji menatap ponsel Yuna yang sejak tadi bergetar di meja. Dia jelas bisa membaca alfabet Indonesia dengan jelas meski tidak tahu artinya, Minji tahu rentetan pesan itu dari Taksa. Minji juga tahu bahwa Yuna dan Taksa telah menjalin hubungan yang cukup lama, dan ini bukan kali pertama mereka bertengkar.     Minji sering menemani Yuna minum-minum meski sebenarnya temannya itu sudah meracau atau bahkan pingsan setelah botol soju pertama. Yuna sering kali meracau tidak jelas tentang Taksa dengan bahasa yang kadang dimengerti Minji, tapi kebanyakan tidak. “Kau bertengkar lagi?” tanya Minji ragu-ragu menatap wajah temannya.     Yuna menatap Minji cukup lama, lalu tersenyum mengangguk. Yuna memang tidak pandai berbohong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD