Dokter Perfeksionis, Dingin Dan Kejam

2043 Words
“Kamu terlambat dihari pertama, ya? Kesan pertama mu sungguh bagus sekali.” Ucap pria berjas putih itu dengan nada yang dalam. Mahasiswa magang itu hanya menundukkan kepala ketakutan. Bulu kuduknya meremang. “Kamu tau, berapa berharganya waktu bagi seorang tenaga kesehatan?” Tanya Sang Dokter sambil mengangkat dagu. Keempat mahasiswa lainnya diam. Tak ada satu pun berani menyela saat sang Dokter memarahi rekan mereka yang telat datang di hari pertama magang di rumah sakit. “Ketika resutasi bayi. Berapa waktu yang dibutuhkan?” Sang Dokter kembali bertanya. “Tiga puluh detik untuk langkah awal. Dua menit untuk langkah lanjutan. Dua puluh menit untuk mempersiapkan rujukan.” Jawab mahasiswa itu. “Nah, itu kamu tau!” Ucap Dokter itu dingin. “Apa yang terjadi kalau kamu tidak bisa melakukan langkah awal resusitasi dengan baik selama tiga puluh detik?” Lagi-lagi sang mahasiswa magang tak bisa menjawab. “Kamu terlambat dua puluh menit. Bayimu sudah meninggal. Kamu yang membunuhnya!” Ketus sang Dokter sembari menunjuk hidung mahasiswa itu. Tatapan sang Dokter tajam membuat nyali para mahasiswa ciut seketika tak ada yang berani bersuara. Terlebih mahasiswa yang saat ini sedang dimarahi “Bu Anggi, berikan pengurangan nilai untuk mahasiswa yang terlambat. Atau memberikan kompensasi mengganti selama satu shift penuh.” Tegas sang Dokter. “Baik, Dok. Akan saya pertimbangkan.” Ucap Bu Anggi selaku bidan senior yang sudah berumur. Tersenyum kecil. “Saya harus ke ruang operasi.” Imbuh Dokter itu berlalu pergi dari hadapan mereka. “Baik, Dok. Terima kasih.” Lirih Bu Anggi dan hanya di balas lambaian tangan oleh sang Dokter yang melangkah menjauh pergi. Sejujurnya, ia tak ingin Dokter Dave orientasi para mahasiswa magang. Karena dia tau, pada akhirnya akan seperti ini kejadiannya. Selalu saja ada yang salah di mata pria yang terkenal perfeksionis dan kejam itu. Tapi, karena Dokter Rifyal tak ditempat. Dan hanya Dokter Dave yang saat itu ada di ruangan sebelah dan kebetulan sekali membuka pintu dan melihatnya. Mau tidak mau, Bu Anggi pun mengatakan niatnya. Dan akhirnya Sang Dokter langsung mengajukan diri menggantikan rekan kerjanya. Untuk orientasi para mahasiswa magang. Bu Anggi memandangi punggung Dokter yang berjalan menjauh itu sembari menghela nafas panjang. ‘Hah.. Kapan sifat galaknya hilang?’ Batin Bu Anggi. “Jangan difikirkan, ya. Dokter Dave, tak bermaksud buruk. Tapi, apa yang dia katakan itu juga ada benarnya. Disiplin itu memang penting. Tolong jangan diulangi lagi terlambat seperti ini. Bisa merugikan teman yang shift nya sebelum kamu.” Nasihat Bu Anggi bijak. “Baik, Bu. Saya mohon maaf. Dan janji tidak akan mengulanginya lagi.” Ucap sang mahasiswa mengangguk. Bersyukur bidan senior di hadapannya ini sangat ramah. Berbanding jauh dengan Dokter Senior tadi. “Baiklah.. Mari, sekarang kita orientasi dulu. Ayo, saya beritahu apa saja tanggung jawab kalian di ruangan ini.” Bu Anggi mengajak para mahasiswa magang berkeliling. Beliau menunjukkan letak alat-alat dan juga obat-obatan. Juga tempat steek laken { Seprei melintang, biasanya diletakkan di atas perlak.} Dan alat linen lainnya. Setelah itu Bu Anggi menunjukkan Job description bidan yang tertera di ruangan. “Begitu masuk urutan kerja bidan bisa dilihat di sini. Semua harus dilakukan setiap hari. Tidak boleh ada yang terlewat. Di VK { Singkatan dari Verlos Kamer. Bahasa Belanda, yang artinya kamar bersalin} ini pasien cukup banyak. Kalian harus cepat dan tanggap.” Terang Bu Anggi. “Baik, Bu. Terima kasih bimbingannya.” Seru para kelima mahasiswa itu serentak. Bu Anggi mengeluarkan ponselnya yang bergetar di saku celananya. “Sebentar lagi Dokter Rifyal visite. Ayo, siap-siap.” Di tempat lain.. Dokter Dave Mahendra.. Begitulah namanya dipanggil rekan sejawatnya yang bekerja di rumah sakit ini. Sang adik perempuan sudah menikah. Dan dirinya, masih betah sendiri. Sangat disiplin tentang waktu. Seperti saat ini, ia harus berjalan cepat di lorong rumah sakit menuju ruang bilik operasi. “Hah.. Mau jadi apa para calon mahasiswa kebidanan itu. Ngatur waktu saja tidak becus. Apa mereka tidak diajari untuk disiplin akan pentingnya selalu tepat waktu.” Dumelnya berjalan masuk dan segera menukar baju dan masker khusus operasi. Menenangkan diri sebelum maju ke depan, di mana pasien terbaring di atas brankar. “Bagaimana saturasi oksigennya {adalah fraksi hemoglobin dalam darah}?” Tanya Dave to the point. “Saturasi oksigennya sudah kembali normal, Dok.” Jawab salah satu Dokter muda. “Oke, kita lanjut. Pisau bedah!” Ujar Dave sambil mengadahkan tangannya. Namun benda yang dia minta tak kunjung ia dapatkan. “Pisau bedah!” Tekan sang Dokter dengan volume suara meninggi. Membuat orang-orang yang ada di dalam ruang operasi itu tersentak kaget. Kini ketegangan yang melingkup di sana. Tak hanya bersumber dari situasi operasi. Melainkan kemarahan dari sang Dokter yang terkenal perfeksionis dan kejam dalam menghukum orang-orang yang menurutnya salah atau lalai. Dokter muda yang kena amuk itu pun langsung meminta maaf karena dia kurang fokus. Ia segera mengambil pisau bedah yang diminta oleh seniornya. Namun lagi-lagi membuat kesalahan. Karena menjatuhkannya ke lantai. Trangg.. Prang.. Lagi-lagi.. waktu terbuang percuma! Tiga puluh detik terbuang hanya untuk sebuah kelalaian yang tidak perlu. Dave, Dokter senior yang memimpin operasi itu pun langsung menatap nyalang juniornya. Takut, panik, itulah yang dirasakan oleh Dokter muda itu. Dengan tangan gemetar. Dia kembali mengambil pisau bedah yang baru dan memberikan kepada Dokter seniornya itu. Namun sayangnya. Alih-alih diterima. Dave malah mengambil pisau itu dan dilempar ke sembarang arah sampai terdengar bising yang khas. Semua yang ada di dalam ruang operasi itu tertegun. Tak berani bersuara. “Keluar!” Tegasnya menatap nyalang penuh tekanan dan amarah. ‘Ada apa dengan orang-orang hari ini. Sangat bodoh mengatur waktu dan juga ceroboh.’ Runtuk Dave dalam hati. “Ma.. Maafkan saya, Dok. Sa..” “KELUAR!!” Bentak Dave dengan suara menggelegar. Jantung semua orang yang ada di ruang operasi hampir copot mendengarnya. Apalagi dengan Dokter muda yang kena amukan Dave. Rasanya, ia seperti kehilangan separuh jiwanya dan hampir menitikkan air matanya. Dengan langkah gontai bercampur rasa syok akibat bentakan Dokter seniornya. Dokter muda itu pamit lalu keluar dari ruang operasi. Meninggalkan sisa tim lainnya yang ada di dalam sana. Kembali melakukan tugas mereka masing-masing dengan lebih fokus dan hati-hati. Dua jam setengah kemudian operasi pun selesai dilakukan.. “Dokter Dave ngamuk lagi?” Tanya salah satu perawat yang ada diluar. “Iyah, justru aneh kalau dia tidak mengamuk dan malah diam saja sewaktu berada di dalam. Si Danu sih, suka sembrono. Sudah tau Dokter Dave itu Killer. Malah dia nggak fokus. Yah, harus bisa terima akibatnya.” Jawab Suster bernama Aini. “Hihh.. Aku tak bisa membayangkan setegang apa suasana di ruang operasi tadi.” Katanya merinding takut. “Lebih menegangkan daripada segala jenis ujian pokoknya.” Sahut Suster Aini. Kedua suster itu tertawa bersama. Sadar dan takut ada yang menegur mereka. Keduanya segera menutup mulut dengan tangan masing-masing. Lalu beberapa menit kemudian, kembali mengobrol dengan suara yang pelan. “Dokter Dave, kapan sih dia berubah yah? Padahal kan, kalau dia sedikit saja lebih lembut dan ramah setiap berbicara pada orang lain. Aku yakin deh, pasti dia akan menjadi Dokter yang sangat diidolakan di rumah sakit ini.” “Tak perlu berubah. Sekarang pun, meski keangkuhannya level langit ketujuh, tingkat kaku dan dinginnya sangat tinggi. Dokter Dave, tetap dikagumi banyak orang.” “Iyah, yah.. Benar sekali apa yang kamu bilang. Hahh.. Dasar kaum good looking. Tidak seperti kita yang wajahnya pas-pasan ha.. ha..” Kembali mereka tertawa dan bergosip. *** Setelah menyelesaikan operasi tadi yang memakan waktu dua jam setengah. Lelah dan letih sangat ia rasakan. Saat ini ia berada di dalam ruang kerjanya yang ada di rumah sakit. Perlahan dia bangkit dan melepaskan jas putihnya. Melirik jam yang ada di pergelangan tangannya sudah menunjukkan jam 5 sore. Mengambil jas hitamnya kemudian menyampirkan di tangannya. Baru saja keluar dan menutup pintu ruang kerjanya. Ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan baru di benda pipih dan canggih itu. Restaurant Lily, meja nomor 10. “Kalau kau masih menyayangi adikmu ini. Datang dan jangan sampai terlambat. Temui wanita yang sudah aku pilihkan untukmu. Hargailah kerja keras ku dalam mencarikan jodoh untukmu kakak ku sayang.” Pesan sang Adik bernama Rosalia. Setelah membaca pesan tersebut. Menghela nafas panjang, Dave melesakkan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya. Dia melangkah berjalan penuh wibawa menelusuri koridor rumah sakit. Saat tiba di depan lift, ketika lemari besi itu terbuka. Terlihat beberapa orang yang ada di dalam sana tampak menyapa penuh hormat kepadanya. Hanya sapaan tanpa kata yang mereka berikan. Dan Dave meresponsnya dengan anggukan pelan. Harum parfum yang Dave kenakan di tubuhnya menguar di dalam lift. Membuat para wanita yang ada di sana silih senggol tangan dan menggunjing Dokter ganteng dan dingin itu dengan isyarat tertentu. Seperti lirikan dan senyum penuh arti. Pesona Dokter 30 tahun itu sungguh sangat susah ditampik. Sekalipun dingin, kaku, dan angkuh. Tapi karismanya sebagai Dokter yang hebat dan pintar dalam menangani pasien-pasiennya sangat mengagumkan dan memabukkan. Para wanita itu rela terjebak di dalam lift bersama Dokter ganteng itu. Agar bisa lebih lama menikmati harum maskulin yang menguar dari tubuh pria Dave. Lift terbuka dan Dave melangkah keluar dan langsung berjalan menuju parkiran di mana mobilnya sudah menunggu untuk ia kemudi. Sekitar 50 menit kemudian. Ia tiba di restoran yang dimaksud oleh sang adik, Rosalia. Adiknya yang terkenal dengan sifat cerewet dan suka sekali mengaturnya dalam berbagai hal termasuk wanita yang akan menjadi istrinya. Padahal, sebenarnya Dave masih bisa mencari sendiri calon pendamping hidupnya. Baru saja ia duduk di kursi di mana meja yang sudah dipesan oleh sang adik. Tak lama seorang wanita dengan pakaian ketat terbuka bagian atas memperlihatkan bahunya yang putih tampak berhenti di depan Dave. “Dave Mahendra?” Tebak sang wanita. “Yes.” Balas pria itu. “Oh, hai.. Saya Lucyana. Panggil saja Lucy. Teman, Rosalia.” Ucap wanita itu memperkenalkan diri. “Silakan duduk.” Ujar Dave to the point. Wanita itu duduk dan pria itu tanpa mengatakan apa-apa langsung memesan makanan untuk mereka nikmati. “Hmm..Ku dengar, jadwal mu minggu ini sangat padat. Tapi, kamu masih mau menyempatkan waktu untuk datang menemui ku. Terima kasih yah, Dave.” Kata Lucy tampak tersenyum malu-malu menatap wajah pria ganteng di hadapannya. “Berterima kasihlah pada, Rosa. Dia yang membuat saya di sini sekarang.” Tukas Dave dingin sambil memotong steak pesanannya. “Ah, iya. Nanti aku akan menghubungi dia. Ngomong-ngomong, apa kesibukan mu setiap akhir pekan?” Tanya Lucy. “Olahraga, baca buku dan tidur.” Jawab Dave singkat. “Hm.. Sepertinya masih cukup lenggang yah? Bagaimana jika akhir pekan nanti kita pe..” Belum selesai Lucy berbicara. Dave sudah memotong omongan wanita itu. “Tidak bisa! Saya paling tidak suka ada yang mengganggu waktu saya bersantai dan beristirahat.” Mengganggu? Satu kata yang sangat jelas terdengar dan langsung menusuk hati lawan bicara Dave. Seorang wanita cantik yang bekerja sebagai Desainer terkenal dan punya banyak butik yang tersebar di seluruh Indonesia. Wanita yang sudah lama menunggu demi makan malam dengan abang temannya yang terkenal karismatik dan penuh wibawa ini. Berharap bisa menjalin hubungan dengan pria di hadapannya itu. Namun sayang.. Apa yang ia bayangkan sangat jauh dan tak sesuai kenyataan. Memang benar ia selalu mendengar Rosa mengatakan jika abangnya adalah orang yang dingin dan irit bicara. Tapi ia tak menyangka, jika sikap dingin dan kaku Dave bisa separah itu. “Hmm.. Lalu kapan tepatnya kamu ada waktu senggang? Agar kita bisa keluar, berjalan-jalan dan menghabiskan waktu bersama?” Lucy berbicara merangkai kata penuh hati-hati. “Anda ingin pertemuan kedua?” Balas Dave yang akhirnya mengajukan pertanyaan setelah sejak tadi lawan bicaranya yang terus memulai topik percakapan. “I hope.. Lagian, Rosa juga setuju dan sangat ingin kita ber..” “Katakan padanya. Bahwa ini pertemuan pertama dan terakhir kita.” Tukas Dave meletakkan alat makannya. Padahal steak yang masuk ke mulutnya baru sepotong. “Eh? Apa?” Lucy terlihat bingung mendengar penuturan Dave barusan. “Anda jangan membuang-buang waktu meladeni kegilaan, Rosalia, Nona. Apa yang dia janjikan padamu. Tidak akan pernah terjadi. Bagaimanapun keadaannya. Jangan berharap banyak pada pertemuan kita kali ini. Jadi, saya permisi.” Jelas Dave berdiri berlalu pergi dan keluar dari restaurant itu. Lucy, wanita itu melongo kaget dengan apa yang barusan terjadi di hadapannya. Tak pernah ia duga akan mendapat perlakuan seperti itu dari abang temannya itu. Dave, laki-laki yang ia incar. Terlanjur menjauh dari jangkauan matanya. “Dia benar-benar manusia es.” Lirih Lucy bergidik kedinginan oleh sikap pria bernama Dave Mahendra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD