Sewaktu melewati IGD, langkah Dave terhenti saat seorang perawat memanggil dan terlihat buru-buru datang menghampirinya.
“Maaf, Dok. Saat ini ada lonjakan pasien di IGD. Apa Dokter bisa bantu kami sebentar?” Pinta perawat laki-laki bernama Bayu kepada Dave.
Dave menatap tajam ke arah Bayu. Membuat sang perawat merasa menyesal sudah menghentikan langkah Dokter yang terkenal killer dan dingin itu.
Lalu tanpa mengatakan apa-apa. Dave segera melangkah cepat masuk ke ruang IGD. Membuat beberapa koas yang ada di sana langsung bergerak minggir memberi ruang untuk pria itu lewati.
Dave mendelik tajam menatap mereka. Lalu kembali melihat ke arah perawat bernama Bayu.
“Pasien yang ada di Bed 5, Dok.” Tunjuk Bayu cepat.
Dave menatap pasien yang ada di hadapannya. Seorang laki-laki muda dengan mata terpejam yang berair. Tampak banyak ruam-ruam dipermukaan kulitnya. Ditambah bibirnya bengkak dan terlihat seperti menyatu.
“Pak, nama bapak siapa?” Tanya Dave berdiri di sisi bed sang pasien.
Sang pasien tak menjawab. Sehingga Dave harus menepuk tangan pria itu perlahan.
“Apa yang dirasakan, pak?” Tegur Dave kembali.
Mata pria itu spontan terbuka. Dia bersuara tapi tidak terdengar jelas apa yang ia ucapkan. Tangannya mengepal ke sisi tubuh. Ketika Dave menepuk kakinya. Sang pasien mengangkatnya.
“GCS 4-6, Stupor.” Kata Dave datar. Menatap tajam para koas yang sibuk mencatat tak jauh darinya.
“Bayu.” Panggil Dave.
“Iyah, Dok.” Sahut Bayu cepat.
“NRBM!” Seru Dave.
“Baik, Dok!” Bayu segera bergerak cepat mengambil masker yang memiliki kantong. Menyambungkannya pada tabung oksigen. Dan memasangkan pada pasien yang baru saja datang itu.
“Infus RL, terapi dexamethasone.” Kata Dave pada staf IGD yang lain. Para perawat segera menjalankan apa yang diperintahkan oleh Dokter Killer itu.
Dave lalu melangkah menghampiri keluarga pasien.
“Bagaimana kronologi kejadiannya, Bu? Kenapa Pak Taufik bisa begini, Bu?” Tanya Dave pada wanita muda yang membawa pasien ke IGD. Orang itu mengaku sebagai istri dari sang pasien tadi.
“Saya tidak tau, Dok. Tadi suami saya demam. Jadi saya belikan obat parasetamol untuk dia minum sama seperti biasa. Eh, nggak lama. Tau-tau dia sudah begitu.” Jelas istri Pak Taufik mengusap air matanya.
Wajah Dave tampak menegang. Aura dingin dan killer nya semakin terasa. Membuat para koas yang berada tak jauh darinya menatap takut walau hanya sekadar untuk bertanya.
“SJS.” Desis pria itu dengan sorot tajam.
“Penyakit jenis apa itu, Dok?” Tanya istri pasien gelisah dengan wajah memucat.
“SJS.. Steven Johnson Syndrom. Adalah kegawatdaruratan yang menyerang kulit, Selaput lendir, dan juga mata. Penyebabnya adalah, akibat reaksi hipersensitif atau alergi yang dipicu oleh obat-obatan dan bakteri. Ini adalah penyakit akut yang berbahaya bahkan bisa mengakibatkan kematian.” Terang Dave.
“Astagfirullah.. Ya Allah suamiku.” Tangis istri sang pasien tak terbendung lagi. Merasa sangat bersalah telah memberikan obat demam itu kepada sang suami.
“Tenang, Bu.. Kami akan memberikan perawatan terbaik. Ibu, bisa duduk dulu saja.” Dave tersenyum menenangkan. Mempersilakan wanita muda itu duduk di salah satu kursi tunggu pasien.
Hal itu tak luput dari pandangan para koas yang melihatnya. Inilah yang membuat mereka sangat kagum dan respek pada Dokter Dave. Walau terkenal killer dengan sorot tajam dan tak segan-segan dalam memberikan hukuman. Namun, pria itu sangat profesional dalam kinerjanya.
Dave segera menelfon Dokter Spesialis mata, THT, Kulit dan Saraf. Karena penyakit SJS memang penyakit berbahaya yang perlu konsultasi dengan banyak Dokter Spesialis lainnya. Untuk memberikan terapi yang tepat.
Sejam kemudian, Dave melangkah keluar dari ruang IGD. Para koas menyapa dan menunduk hormat padanya. Dan dijawab dengan anggukan kepala saja dan langsung pergi melewati mereka.
Dave segera menuju parkiran. Mengemudikan kendaraanya dengan kecepatan sedang menuju jalan pulang. Sesampainya di apartemen. Melirik sebentar ke arah kamar Ayla yang selalu tertutup rapat.
Segera masuk ke kamarnya, membersihkan tubuhnya dan memakai pakaian yang nyaman. Sejam kemudian, baru saja ia memutar gagang pintu keluar. Sudah di sambut aroma harum yang berasal dari dapur kecil apartemennya.
Menghidu aroma harum masakan seketika membuat perutnya berbunyi keroncongan minta diisi. Dengan cepat ia melangkah menuju dapur. Di mana tampak punggung Ayla yang membelakanginya. Sibuk memasak dan sesekali terlihat mencicipi masakkan yang ia buat.
“Seharusnya kamu tak perlu repot-repot memasak. Kita bisa memesan makanan saja.” Tegur Dave membuat Ayla terjengkit kaget dan segera berbalik melihat pria itu.
“Bosan makan makanan luar terus. Lebih enak masakkan yang dibuat sendiri.” Sahut Ayla perlahan tersenyum.
Kembali gadis itu berbalik dan sibuk dengan masakannya. Tak memperdulikan Dave yang terus memperhatikannya dari belakang.
“Lebih baik Mas Dave nunggu di meja makan saja. Masakannya bentar lagi matang.” Beritahu Ayla.
Tak lama Ayla kemudian menghidangkan masakan yang ia buat. Capcay dan udang goreng tepung. Harum masakan itu semakin membangkitkan rasa lapar Dave yang sedari tadi ia tahan.
“Masakannya sederhana. Soalnya hanya itu yang saya lihat ada di kulkas.” Ucap Ayla. Lalu ia kembali berdiri mengambil nasi di dapur dan menghidangkan ke depan Dave.
Dave tak berkomentar apa-apa. Pria dingin itu hanya diam dan mulai sendok nasi ke piringnya. Lalu sayur dan juga lauknya. Suapan pertama saat dia merasakan masakan gadis itu membuat ia terhenti sebentar dan langsung menoleh melihat Ayla.
“Kenapa, Mas? Asin yah?” Tanya Ayla.
Dave menggeleng dan kembali menyuapkan nasi berserta sayur dan lauk ke dalam mulutnya.
‘Enak.’ Batin pria itu.
Tak menyangka gadis berusia 18 tahun itu pintar memasak walau dengan bahan seadanya yang ada di lemari es.
“Kalau masakannya asin. Nggak usah dimakan, Mas. Ki..”
“Makan dan jangan berbicara.” Tukas Dave membuat Ayla seketika terdiam dan langsung menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Selama makan, suasana terasa sangat hening. Hanya dentingan sendok yang terdengar. Sesekali Ayla melirik pria yang ada di hadapannya itu.
“Makan, Ay.. Kalau kamu terus melihat saya. Kapan nasi di piring mu habis.” Tegur Dave membuat Ayla seketika menunduk melihat ke piringnya. Merasa malu karena kedapatan menatap wajah pria itu.
Setelah kenyang.. Dave membantu Ayla membersihkan meja makan. Sementara gadis itu mencuci piring dan gelas yang mereka gunakan.
Dave melangkah ke ruang tamu lalu duduk di salah satu sofa. Menyalakan TV, menonton berita. Lalu saat melihat Ayla berjalan ingin masuk ke kamar. Pria itu menegurnya.
“Ayla.”
“Iyah, Mas Dave.” Sahut gadis itu.
Seolah mengerti apa yang dimaksud oleh Dave. Gadis itu melangkah ke ruang tamu dan duduk di atas salah satu sofa yang ada di sana.
“Apa keputusan mu?” Tanya Dave to the point.
“Saya.. Saya menerimanya, Mas.” Jawab Ayla gugup bercampur malu.
“Alhamdulillah. Besok sore, kamu siap-siap. Kita keluar.” Beritahu Dave.
“Mau kemana, Mas?” Ayla mengerutkan dahinya bingung.
“Beli baju dan perlengkapan kamu.” Sahut pria itu datar.
Ayla menunduk malu saat mendengar ucapan Dave. Lalu tanpa ia duga. Tiba-tiba pria penyelamatnya itu meletakkan kotak persegi ke atas meja.
“Ini ponsel buat kamu. Ambil dan pakai.” Titah Dave.
“Nggak usah, Mas. Telfon di apartemen ini kan ada.” Tolak Ayla.
“Tapi tidak bisa berkirim pesan. Ambil dan pakai ponsel ini. Saya tidak menerima penolakan!” Tegas Dave lalu bangkit dan berjalan menuju kamarnya.
Meninggalkan Ayla yang duduk sendirian di ruang tamu dengan kotak ponsel baru ditangannya.
"Padahal dia tak perlu membelikan aku benda ini." Gumam Ayla sendirian.