“Hei, Dude. Ngelamun aja. Berapa kali aku panggil nggak dijawab. Ada apa?” Tanya Dokter Farel masuk ke ruang Dave dan duduk di hadapan pria itu.
Dave menghela nafas kasar.
“Dia sakit.” Jawab Dave singkat.
“Hah? Siapa?” Dokter Farel menegakkan badannya.
“Alya.” Balas Dave.
“Alya itu siapa?” Dokter Farel mengerutkan dahinya bingung.
“Gadis yang aku ceritakan kemarin.” Ucap Dave.
Dokter Farel diam dan menatap heran kepada rekannya itu. Setiap membicarakan gadis bernama Alya. Raut wajah Dave terlihat berbeda.
“Lalu, bagaimana keadaannya sekarang?”
“Tadi pagi aku lihat dia sudah lebih baik. Wajahnya tak pucat seperti semalam.”
Dave terdiam sejenak.
“Aku kasihan padanya, Rel.”
Seorang Dave merasa kasihan pada orang lain? Woww..
“Kenapa?” Dokter Farel menegakkan badannya dan meletakkan kedua tangan ke atas meja kerja Dave.
“Yah kasihan aja.” Balas Dave tampak ngelamun mengingat kembali wajah Ayla semalam.
Dokter Farel mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kau menyukainya?” Tebak pria itu menahan senyum.
“Tidak tau!” Tukas Dave cepat.
Dokter Farel seketika tergelak mendengar ucapan Dave. Perlahan berdiri dan menggelengkan kepalanya menatap teman baiknya itu.
“Dave.. Dave.. Suatu saat nanti, tak menutup kemungkinan kau jatuh hati pada gadis itu. Satu pesan ku! Sewaktu itu terjadi. Jangan pernah gengsi untuk mengungkapkan perasaanmu. Sekali-kali, jadilah pria romantis. Bukan kaku apalagi dingin dan tak peduli.” Dokter Farel menepuk pelan bahu temannya lalu pamit keluar dari sana.
Dave menarik nafas panjang dan menghelanya panjang. Dia tak pernah menyangkal tak menyukai gadis itu. Karena dari pertemuan pertama mereka saja. Ia sudah merasa simpati kepada Ayla. Makanya dia tak merasa menyesal mengeluarkan uang 200 juta untuk menebusnya.
Tok.. Tok..
Krett..
Dave segera menoleh melihat ke arah pintu. Seorang Suster masuk dan tersenyum menyapanya.
“Maaf, Dok. Hanya mengingatkan. Hari ini ada tiga operasi yang harus Dokter Dave lakukan.”
Dave mengangguk pelan.
“Baiklah. Sebentar lagi saya ke ruang operasi.” Balas Dave datar.
“Baik, Dok. Permisi.”
“Hm.”
Selepas perawat itu pergi. Perlahan Dave berdiri dan menutup pintu ruangannya. Saat di koridor rumah sakit, wanita yang sangat ingin ia hindari datang dan terlihat di ujung lorong berjalan cepat menghampirinya.
Elina, teman satu Angkatan saat mereka jadi mahasiswa kedokteran. Sekaligus anak dari pemilik rumah sakit tempat Dave bekerja saat ini.
“Hai, Dave. Apa kabar?” Sapa Elina bergelayut manja di lengan pria itu.
“Kabar baik, Elina.” Balas Dave melepaskan perlahan tangan wanita itu di lengannya dan kembali berjalan.
Merasa risih dengan apa yang wanita itu lakukan. Apalagi saat ini beberapa perawat tampak berjalan melewati mereka.
“Dave! Kok pergi? Aku belum selesai bicara sama kamu.” Teriak Elina berlari cepat agar bisa berjalan di sisi pria yang sangat disukainya itu.
“Dave! Berhenti dulu. Banyak hal yang ingin aku bicarakan sama kamu.” Sambung wanita itu.
Dave berhenti melangkah dan menatap tajam pada Elina.
“Dengar, Elina. Saat ini aku tak punya banyak waktu untuk bercerita denganmu. Ada jadwal operasi dan aku harus bergegas ke sana.” Tegas Dave kemudian pergi meninggalkan wanita itu.
Tak memperdulikan tanggapan Elina kepadanya.
“Dasar pria killer. Baru ketemu bukannya di sapa romantis. Malah kaku kayak tembok es.” Rajuk Elina dengan wajah cemberut.
***
Dave duduk terkulai lemas di atas bangku di luar ruang operasi. Pria itu baru saja selesai melakukan operasinya yang ketiga. Hari ini tak tau kenapa, ia merasa sangat lelah sekali. Padahal biasanya, staminanya cukup kuat walaupun harus menjalani banyak operasi dalam satu hari.
Duduk sambil termenung. Memikirkan banyak hal terutama tentang ia dan juga Alya. Betapa Tuhan punya cara yang unik mempertemukan mereka berdua.
“Bagaimana operasinya?” Tanya Elina yang muncul tiba-tiba membuat Dave kaget.
Sementara Dokter Farel yang baru datang dan berdiri di samping wanita itu hanya menahan tawa melihat ekspresi wajah Dave.
“Operasinya lancar?” kembali wanita itu bertanya.
Dave mengangguk kecil. Elina lalu duduk di sebelah pria yang sudah lama disukainya itu.
“Apa yang kamu fikirkan?”
Dave menggeleng sambil mengusap wajahnya kasar.
“Ada apa? Ceritalah. Iyah kan, Rel?”
“I.. Iyah.” Jawab Dokter Farel cepat. Daripada berabe di pecat dari rumah sakit ini. Fikir pria itu.
Dave melirik teman baiknya itu. Dan Dokter Farel spontan mengangkat kedua bahunya.
“Tidak ada. Hanya sedikit lelah.”
“Kalau begitu, ayo kita pulang bersama saja. Mami aku mengundang kalian berdua untuk makan malam di rumah.” Ajak Elina dengan wajah bahagianya.
“Maaf, El.. Aku benar-benar ingin segera pulang beristirahat. Lain kali saja. Farel saja yang pergi. Dan sampaikan permintaan maaf ku pada, Tante Luna.” Ujar Dave kemudian berdiri.
Elina ikut berdiri menatap kecewa pada Dave. Lalu menoleh melihat Dokter Farel, memberi kode agar pria itu bantu membujuk Dave untuk ikut bersama mereka.
“Kau yakin tak ingin ikut, Dave.” Sela Dokter Farel
Dave mengangguk cepat.
“Kau saja yang pergi.”
“Ada apa sih sebenarnya?” Elina menatap khawatir.
“Tidak ada. Aku hanya ingin pulang dan beristirahat saja.” Kata Dave menghela nafas kasar.
“Dave.”
“Aku pulang.” Dave berdiri dan segera melangkah pergi meninggalkan banyak tanda tanya di benak Elina yang menatap punggung pria itu yang semakin menjauh.
Elina melihat dengan heran. Merasa aneh dengan sikap yang ditunjukan oleh Dave. Sudah lama mereka bertiga berteman. Tak pernah sekali pun, pria itu bersikap seperti itu.
“Rel.. Selama aku nggak ada. Apa ada wanita yang disukai oleh, Dave?” Tanya Elina menoleh melihat Farel.
“Nggak ada.” Jawab Dokter Farel berbohong.
“Yang benar?.” Elina memicingkan matanya menyelidik.
“Kalau kamu sangsi dengan jawaban ku. Tanyakan saja langsung pada yang bersangkutan. Sudahlah.. Ayolah, kita pulang. Aku antar.” Ajak Dokter Farel berharap Elina tak terlalu memikirkan perubahan pada diri Dave. Karena kalau tidak, dia akan sangat bingung untuk menjawabnya.
Sesampainya di apartemennya. Dave langsung berjalan dengan gontai menuju kamarnya. Seharian di meja operasi membuatnya sangat merindukan bantal yang ada di atas ranjangnya. Sempat ia melirik ke kamar Ayla yang tertutup seperti biasanya.
Setelahnya langsung masuk dan menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang tanpa melepaskan bajunya terlebih dahulu dan jatuh terlelap.
Ayla yang berada di dalam kamar merasa heran mendengar Dave telah pulang. Pria itu pulang lebih cepat dibandingkan kemarin malam.
Tepat pukul delapan malam.
Seharian gadis itu hanya berbaring di atas kasur. Kalaupun ia harus berdiri, hanya ke kamar mandi dan mengambil makanan yang sudah dipesan oleh Dave.
Tepat pukul sepuluh malam. Dave terbangun karena bunyi perutnya yang keroncongan minta segera diisi. Berdiri lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dan bertukar baju ke pakaian yang nyaman. Setelah itu keluar kamar dan duduk di ruang tamu.
Dave segera memesan makanan. Tak lama makanannya datang dan langsung ia santap. Lalu setelahnya, menatap ke kamar Ayla. Lampunya masih menyala. Berarti gadis itu belum tidur. Perlahan ia berdiri dan melangkah ke depan kamar.
Tok.. Tok..
Memutar gagang pintu yang tak terkunci. Dan melangkah masuk ke dalam kamar.
“Belum tidur?” Tanya Dave berjalan mendekat ke ranjang Ayla.
Melirik bungkusan obat yang ia tinggalkan telah habis di minum. Sebuah senyum kecil terbit di wajahnya. Ternyata Ayla menurut apa yang ia perintahkan.
“Belum.” Jawab Ayla singkat.
Dave mengambil stetoskopnya di kamarnya dan segera memakainya untuk memeriksa Ayla dikamar sebelah.
“Apa kamu merasa pusing? Mual? Atau ada bagian tubuh yang terasa sakit?” Tanya Dave.
“Tidak ada.” Balas Ayla.
“Bagus.”
Pria itu melepaskan stetoskop nya lalu mengambil alat tensimeter dan thermometer untuk kembali di letakkan di kotak obat yang ia bawa tadi.
Tak bertanya apalagi menunggu persetujuan Ayla. Dengan tiba-tiba pria itu menggendongnya ke ruang tamu. Kemudian meletakkan tubuhnya dengan pelan ke salah satu sofa.
“Kita harus bicara.” Ujar Dave menjawab rasa bingung di diri Ayla.
Pria itu lalu duduk di sebelah Ayla.
“Bicara apa?” Tanya Ayla.
“Semuanya! Ceritakan tentang dirimu.”
Ayla menunduk dan menghela nafas panjang. Lalu mengalir lah cerita dari mulut gadis itu kepada Dave. Dari awal hingga akhirnya ia berada di klub malam itu.
“Saya sangat berterima kasih. Anda sudah menolong dan membebaskan saya. Hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikan, Mas Dave.” Kata Ayla
“Apa? Kamu bilang apa tadi?”
“Saya bilang, terima kasih.”
“Bukan, satunya lagi.”
“Hanya Tuhan yang membalas kebaikan, Mas Dave.”
“Mas Dave?”
“Kenapa? Bukankah itu jauh lebih sopan dibandingkan saya memanggil nama, anda? Atau anda ingin saya memanggil, Bapak?”
“Jangan! Panggil Mas saja.”
“Baik, Mas.”
Beberapa detik suasana hening di antara mereka.
“Berarti, kamu tak punya tempat tujuan untuk didatangi?”
Ayla mengangguk pelan. Dan Dave menatap tajam memerhatikan gadis itu. Miris dengan kisah hidup yang baru saja Ayla ceritakan kepadanya. Hingga kemudian ia mantap dengan rencana awal yang sudah jauh-jauh hari ia siapkan.
“Saya punya penawaran yang menarik buat kamu. Dan ini win win solution banget untuk kita berdua.” Dave menatap serius ke Ayla.
“Tawaran apa, Mas?” Tanya Ayla takut-takut.
Ayo, kita nikah.” Kata Dave dengan wajah datarnya.
Mata Ayla melebar menatap gamang pria yang duduk di hadapannya.
“Apa, Mas?”
“Ayo, kita menikah.” Dave balik mengawasinya. Ekspresi pria itu memang selalu datar. Ayla sampai tak bisa menebak apa yang ada di fikirannya.
Jantung Ayla berpacu dengan cepat. Dilamar tiba-tiba oleh pria yang sudah menyelamatkan hidupnya? Sama sekali tak pernah sedikitpun terfikir oleh gadis itu.
“Maaf, Mas.. Nikah itu bukan mainan. Dibandingkan menikah, saya tidak apa-apa dijadikan pembantu.” Jawab Ayla.
“Sayangnya.. Saya lagi tak mencari pembantu. Tapi, istri. Dan saat ini, saya tidak sedang main-main. Serius.. Ayo, kita menikah.”
“Tapi, Mas Dave.. S..”
“Terus terang, saya capek dijodoh-jodohkan. Dengan menikah sama kamu. Masalah selesai.”
“Tapi, Mas.. ini bukanlah solusi ya..”
“Ini solusi paling baik yang bisa saya fikirkan. Saya butuh istri, dan kamu butuh tempat tinggal. Kamu bisa melanjutkan pendidikanmu dan saya bisa membiayainya.”
Pria itu semakin memandang intens pada Ayla.
“Jadi gimana? Kamu mau nggak?”
“Saya bisa fikir-fikir dulu?”
Dave mengangguk-angguk pelan.
“Jangan kelamaan mikirnya. Saya tunggu sampai besok.”
“Besok?” Ayla membelalakkan matanya.
“Emangnya, Mas Dave mau nikahnya kapan?”
“Secepatnya! Kalau bisa dalam bulan ini.”
“Bulan ini?”
“Iyah.” Jawab Dave singkat.
Ayla menatap memerhatikan pria di hadapannya. Memikirkan tawaran yang Dave katakan kepadanya tadi. Suatu keuntungan banyak untuk dirinya. Bisa lepas dari bayang-bayang Paman Mukhlis yang jahat. Tapi bagaiman dengan Tante Yanti?
"Ba.." Belum selesai Ayla menjawabnya. Dave sudah menyela ucapan gadis itu.
“Sudah malam. Waktunya kamu tidur.” Sahut Dave cepat
Pria itu dengan cepat kembali mengangkat tubuh Ayla dan membawanya masuk ke kamar gadis itu. Meletakkan di atas ranjang dan tak lupa menarik selimut untuk dikenakan Ayla.
‘Bagaimana aku bisa menolak lamarannya. Belum apa-apa saja, perlakuan dan perhatiannya sangat baik kepada ku.’ Batin Ayla. Gadis itu terus menatap wajah Dave.
“Saya punya seorang adik yang sangat bawel. Jika nanti kamu bertemu dengannya. Mungkin kalian bisa menjadi teman dekat.” Ujar Dave.
Ayla hanya mengangguk dan tersenyum.
“Sudah malam, tidurlah.” Ucap pria itu lalu keluar dari kamar Ayla.
Ayla segera berbaring dan memandang langit-langit kamarnya. Hidup adalah misteri. Begitu juga dengan isi hati seseorang. Di dunia ini tidak ada satu pun manusia yang bisa mengetahui dengan jelas isi hati seseorang.
Dan hal itulah yang seringkali membuat kita hanya menduga-duga dan berasumsi. Bahwa, sesuatu yang benar bisa saja menjadi salah. Begitu juga sebaliknya.
“Ayah.. Ibu.. Semoga keputusan Ayla ini benar. Dia sudah banyak membantu dan giliran Ayla untuk membalasnya.” Lirih Gadis itu lalu perlahan menutup mata dan jatuh tertidur.