Chapter 2 : Pilihan

2939 Words
Jam dinding menunjukkan pukul 5 pagi itu. Yuka terbangun dengan rasa sakit kepala yang hebat. Juga rasa nyeri yang amat sangat di perut bagian bawah. Ingin rasanya dia bergerak dari tempat tidurnya. Tetapi dia tak sanggup. Yang bisa dilakukannya hanyalah meraih ponselnya yang tergeletak di tepi tempat tidurnya. Dicarinya nama sahabatnya di sana. Meera. “Me, aku sakit banget. Kalo kamu punya waktu, jemput aku, ya.” Dikirimkannya pesan itu kepada Meera. Mungkin seharusnya dia menghubungi Arga di saat-saat seperti ini. Agar lelaki itu juga mengerti apa yang tengah mereka hadapi kini. Kesulitan apa yang akan Yuka alami. Tapi tidak. Yuka tidak sanggup menghadapi Arga saat ini. Dia hanya ingin menghindar dari lelaki itu. Juga dari rasa kecewa yang besar dan penyesalan yang menghantuinya. “Aku OTW.” Balasan dari Meera segera tiba. Yuka tersenyum kecil sambil menahan rasa sakitnya. Dia amat sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Meera. Yang selalu peduli padanya. Sahabat yang selalu siap membantunya kapan saja dia butuh. Sepertinya, dia tak akan bisa menyimpan rahasia ini dari Meera lebih lama lagi. Tak butuh waktu lama, Meera pun tiba di kosan Yuka. Dengan sekuat tenaga Yuka berusaha turun dari tempat tidur untuk membuka pintu kamarnya agar Meera bisa segera masuk. Meera tak banyak bertanya, melainkan segera memapah Yuka dan membawanya masuk ke dalam mobilnya. “Kita ke rumah sakit, ya,” ucap Meera pada Yuka. Yuka menggeleng seraya menahan erangan dari mulutnya. “Nggak, Me… Kita ke apotik aja beli obat penahan sakit. Terus aku istirahat aja di tempat kamu,” jawab Yuka. Meera bingung. “Kamu sesakit ini tapi nggak mau ke rumah sakit?” tanya Meera setelah melihat airmata yang tampak mulai mengalir dari kedua mata Yuka yang bahkan sudah terlihat sembab. Diabaikannya sahabatnya yang terus membujuknya untuk tidak ke rumah sakit, dilajukannya mobilnya menuju rumah sakit terdekat. “Please, Me…” pinta Yuka. “Ka! Kalo kamu kenapa-napa gimana?” tanya Meera lagi. “Udahlah, aku anterin kamu ke IGD, ya!” Meera turun dari mobil dan membuka pintu penumpang. Yuka menggeleng lagi. “Aku udah tau aku kenapa, Me…” jawab Yuka lemah. Tangannya masih berusaha menolak tangan Meera yang berusaha menariknya keluar dari mobil. “Maksud kamu?” “Tapi aku nggak bisa ke rumah sakit. Nanti semua orang juga bisa tau aku kenapa…” tambah Yuka. “Aku nggak ngerti,” sahut Meera dengan wajah tampak bingung. Tangannya masih berusaha untuk menarik Yuka keluar dari mobil. “Aku… Aku hamil, Me…” ucap Yuka akhirnya dengan terbata. Meera terdiam mendengar ucapan sahabatnya itu. Tangannya pun tak lagi berusaha menarik tangan Yuka. “Sama Arga?” tanyanya kemudian dengan ekspresi wajah yang tampak mengeras dan suara yang hampir menggeram. Yuka mengangguk pelan. Dia tidak mungkin menyimpan rahasia dari Meera. “s**t!” maki Meera dengan kesal. Tangannya bergerak emukul badan mobil dengan cukup keras. “Udah aku bilang seharusnya kamu nggak pacaran sama dia, kan!? Kelihatannya doank baik, taunya b******n juga!” seru Meera dengan amarah, tak mempedulikan beberapa orang yang tampak berlalu larang di sekitar mereka, dan tampak menoleh karena penasaran. “Me…” Yuka memohon agar Meera mengontrol emosinya. Tentu saja dia ak ingin orang lain selain mereka ikut mengetahui apa yang tengah dialaminya.ucap Meera kemudian setelah dia berhasil meredakan emosinya. Selanjutnya dia menutup pintu penumpang dan mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana panjangnya. Dia menelepon seseorang. Setelah menutup telepon, barulah dia kembali masuk ke dalam mobilnya dan menyetir lagi. “Kita mau kemana?” tanya Yuka, karena Meera hanya diam dan menyetir mobilnya. “Ke tempat kenalan papaku,” jawab Meera. Hanya butuh 10 menit dan mereka sudah tiba di sana. Sebuah klinik.  Dua orang perawat segera menghampiri mobil mereka dan membantu membawa Yuka ke dalam. Di sana Yuka segera diberi obat dan diinfus untuk beristirahat selama beberapa jam. Saat terbangun beberapa jam kemudian, Yuka merasakan tubuhnya telah jauh lebih baik. Rasa sakit yang dirasakannya tadi telah jauh berkurang. Yuka menoleh, dan eera ada di sisinya, menemani Yuka sejak pagi tadi hingga kini. Selanjutnya Yuka dibawa menuju ruang periksa dr. SpOg. Dan Yuka tahu kenapa. Meera pasti ingin memastikan apa yang telah diceritakan Yuka kepadanya. Disana, untuk pertama kalinya Yuka melihat wujud calon bayinya, yang sudah mulai tampak berwujud seperti seorang bayi sang sangat kecil, bergerak rinagn di dalam layar. Dan untuk pertama kalinya pula, Yuka merasakan cinta kasih yang mengalir dari dirinya kepada sosok itu. Perasaan itu seolah mengalir dalam darahnya. “Usia kandungan, 12 minggu,” ucap dokter. Meera hanya diam di samping Yuka, menatap tak percaya pada layar di hadapannya. Sahabatnya benar-benar tengah hamil. Kemudian dokter meresepkan vitamin dan obat penguat kandungan untuk Yuka. Dari dokter itu, Yuka baru tahu bahwa ternyata kehamilannya sangat beresiko, karena usianya yang masih belum matang, rahimnya belum benar-benar siap untuk mengandung sesosok bayi. Karena itu dia harus sangat menjaga kandungannya, juga tidak boleh lupa meminum obat dan vitaminnya. “Me…” panggil Yuka kepada Meera ketika mereka melangkah menuju mobil Meera di parkiran klinik. “Hmm?” sahut Meera tanpa menoleh dan tanpa menghentikan langkah kakinya. “Makasih banyak, ya,” ucap Yuka. Meera mengangguk. Lalu dirangkulnya sahabat tersayangnya itu. “Nggak perlu kok, Ka.” “Aku harap kamu bisa rahasiain ini,” pinta Yuka. Meera menghentikan langkahnya tepat di depan mobilnya. “Kamu nggak usah khawatir. Aku bakal jaga rahasia, kok,” jawab Meera dengan penuh keyakinan. Kali ini, dia menahan emosninya sedemikian rupa. Karena  dia tau benar, hanya dukungan darinya yang dibutuhkan Yuka saat ini. Lalu dibimbingnya Yuka untuk masuk ke dalam mobilnya. Dari sana, mereka beranjak menuju apartemen Meera. * Arga memandangi ponselnya dengan resah. Sejak tadi Yuka tak membalas pesannya. Yuka juga tidak mengangkat ketika Arga menelepon. Seolah kekasihnya itu ingin menghindarinya. Sesuatu yang sebenarnya sudah dirasakan Arga selama beberapa minggu belakangan ini. Namun dia mencoba untuk tidak memedulikan.  Hari ini adalah hari yang bertepatan dengan janji yang telah mereka buat. Untuk prosedur yang harus mereka lakukan. Arga juga sudah buru-buru menyiapkan uang untuk prosedur itu. Karena id atu, tidak mungkin memaksa Yuka yang meminta uang dari orangtua atau malah mencari uang sendiri, sedangkan semua ini adalah benar-benar kesalahan dirinya. Dia juga yang telah memohon Yuka agar setuju dengan keputusan awalnya. Jadi dia merasa harus dialah yang menyiapkan uang. Uang yang tidak mungkin dimintanya kepada orangtuanya. Tentu saja, dengan alasan apa dia akan meminta uang yang nilainya lebh dari satu juta rupiah? “Kamu kemana, sih!?” serunya kepada pintu di hadapannya dengan penuh amarah. Digedornya sekali lagi pintu kamar kos Yuka yang tak bergeming di hadapannya. Tapi sepertinya kamar itu memang kosong. Tidak ada jawaban. Bahkan tidak ada suara sama sekali. Hanya keheningan yang menjawab setiap panggilannya kepada Yuka. Mungkin Yuka memang tidak ada di dalam. Arga terduduk di depan pintu itu. Masih berusaha untuk menghubungi Yuka lagi dan lagi. Tapi tetap tidak ada jawaban. Ada rasa amarah yang menguasainya karena keadaan dirinya yang sedang dikejar waktu. Namun juga ada kekhawatiran kalau-kalau Yuka kenapa-napa. Tapi, tidak mungkin Yuka tak mengabarinya jika terjadi sesuatu, kan? Ah! Bagaimana ini? Batinnya. Membuat janji di tempat terlarang itu sendiri juga bukanlah suatu perkara yang mudah. Mereka bahkan harus menunggu selama dua minggu. Yang artinya usia kandungan Yuka sudah semakin bertambah, dan akan semakin bertambah lagi jika tidak diakhiri sekarang. Tapi di saat waktunya sudah tiba, Yuka malah tidak bisa dijangkaunya. Teman-teman kosnya yang ditanyai pun mengaku tidak tahu-menahu kemana Yuka pergi. Bahkan dari pagi-pagi sekali Yuka sudah tidak kelihatan di sekitar kosan.  Kemana perginya dia? Arga menghela napas dengan keras. Dia sungguh bingung. Padahal kemarin Yuka sudah menyetujui walaupun tampaknya dengan terpaksa. Arga juga sudah berusaha mencari uang kesana kemari untuk bisa melakukan prosedur ini. Mulai dari menjual game konsol satu-satunya yang dimilikinya, kamera polaroid pemberian sepupunya, juga meminjam sedikit-sedikit dari teman-temannya. Hanya agar hari ini uang itu sudah di tangannya. Dan lagi, besok lusa dia sudah harus berangkat ke Rusia. Tidak ada waktu baginya untuk me-reschedule prosedur ini. Kalau dia me-reschedule, jadwal mereka pasti tidak akan terkejar olehnya yang harus sudah berada di Kota Samara tiga hari lagi. Tentu saja tidak mungkin dia membiarkan Yuka melakukan prosedur itu sendiri. Dia pun mengetahui bahwasanya prosedur itu bisa berbahaya bagi pasien. Lalu, dia juga tidak mungkin menitipkan Yuka kepada siapapun. Karena mereka sudah bertekad untuk merahasiakan ini dari siapapun. “Arrgh!”  Amarah Arga meluap. Di tengah waktu yang mengejarnya untuk segera pergi, kenapa Yuka malah berulah begini. Seolah membuatnya terjebak di tengah-tegah tanpa pilihan tepat yang bisa diambil. Di lain tempat, Yuka tengah terbaring di atas pangkuan sahabatnya, Meera. Di apartemen Meera. Ada airmata yang tampak membasahi wajah Yuka. Mereka tengah bersama di atas sofa apartemen Meera  yang berletter L dengan berwarna merah maroon. Televisi yang terletak satu setengah meter di hadapan mereka menyala tanpa suara. Karena tadinya Meera menyalakan televis untuk menghibur Yuka, tapi sepertinya sama sekali tidak berpengaruh. Tangan Meera terulur mengusap wajah Yuka yang berada di pangkuannya. Meera menghapus air mata itu, yang sejak tadi selalu membanjiri kedua mata Yuka. “Udahlah, Ka… Jangan nangis terus. Aku nggak sanggup lihat kamu begini…” ucap Meera pelan. Sungguh hatinya ikut terasa pilu melihat sahabatnya yang tenggelam dalam kesedihan dan airmatanya sendiri. “Kamu pasti nganggap aku murahan kan, Me?” tanya Yuka lirih setelah terdiam beberapa saat, berusaha menghentikan semua tangisannya yang sejak tadi enggan usai. “Nggak! Aku nggak pernah bilang gitu…” jawab Meera cepat. “Aku nggak tau apa aku akan sanggup buat gugurin kandungan ini, Me… Aku udah dua kali nggak datang bulan. Bahkan usia kandunganku udah 3 bulan. Sebentar lagi janin ini bakal punya roh, Me. Aku nggak mungkin membunuh darah daging aku sendiri….” ucap Yuka. Sekali lagi isakan lolos dari mulut Yuka. Membayangkan dirinya membunuh bayi tak berdosa itu, Yuka merasakan ikut terluka. Meera menarik tubuh Yuka untuk duduk dan segera memeluk sahabatnya itu dengan hangat. “Aku dukung kamu! Aku dukung apapun pilihan kamu… Kalau kamu yakin buat gugurin, aku akan jaga rahasia ini sampai mati. Aku janji! Tapi kalau kamu nggak ingin gugurin, aku juga akan dukung kamu, Ka. Aku siap bantu kamu. Apapun. Kamu tinggal bilang sama aku, apapun itu, pasti akan aku bantu,” ucap Meera dengan penuh keyakinan. Tangannya mengusap punggung Yuka, berusaha menenangkan sahabatnya itu. Janji itu terucap dari hati. “Makasih ya, Me... Makasih banget,” sahut Yuka. “Seandainya aja Arga punya pikiran yang sama kayak kamu. Seandainya aja…” lirih Yuka. Terbersit bayang-bayang Arga di depan matanya. Seandainya saja Arga sanggup membuat pilihan yang berbeda. Meera segera melepas pelukannya terhadap Yuka dan menatap sahabatnya itu dalam-dalam. “Arga emang nggak pantes buat kamu, Ka! Nggak usah kamu pikirin dia. Kalau kamu mau, aku bisa cari keluarga dia, dan nuntut mereka buat tanggung jawab atas perbuatan anaknya ke kamu!” sahut Meera berapi-api. “Nggak, Me! Nggak… Aku nggak mau kalau Arga ngelakuin itu karena terpaksa. Buat apa nikah kalau terpaksa? Toh aku nggak akan bahagia, kan? Gimana kalau nanti Arga benci sama anak kami? Nyalahin semuanya ke anak kami? Aku nggak mau itu… dan ujung-ujungnya, dia juga bakal benci sama aku, Me… Aku nggak mau nikah sama orang yang enggak tulus cinta sama aku…” “Ya Tuhan, Yuka! Kenapa udah berpikir jauh sampai kesitu, sih? Yang penting tuh gimana kamu sekarang? Yang jelas ketika perut kamu mulai membesar, kamu nggak mungkin balik ke sekolah lagi, kan? Kamu nggak bisa tamat sekolah regular, Ka!” Yuka mengusap wajahnya. Dia sadar. Apa kata Meera memang ada benarnya. Tapi dia hanya tak sanggup untuk menjadi seorang pembunuh. Dan juga tak ingin memaksa Arga yang terang-terangan telah menolak untuk menikahinya. Dia punya impian yang indah tentang pernikahan dan juga kehidupan pernikahan. Yang pasti pernikahan yang terpaksa dan terburu-buru tidak pernah ada dalam daftar pilihannya. Apalagi bersama lelaki yang terang-terangan menyatakan belum siap untuk menikahinya. Terlepas bagaimanpun kondisi dirinya. Mungkin dengan sendirianpun dia bisa hidup dengan tenang. Itu saja sudah cukup untuknya. * Ingin sekali rasanya Arga marah ketika melihat Yuka berjalan keluar dari gerbang sekolah hari itu. Setelah seharian tak terdengar kabarnya. Bahkan Arga harus menunggu sampai bel sekolah berdering untuk bisa melihat Yuka. Karena sampai hari inipun Yuka masih tidak merespon pesan maupun teleponnya. “Yuka!” seru Arga memanggil Yuka. Yuka menoleh. Wajah itu tampak sembab dan menyedihkan. Membuat Arga tak sanggup bahkan untuk sekedar melepaskan amarahnya. Dia tersadar, haknya untuk marah pada Yuka telah hilang, sejak dia membiarkan Yuka yang menjadi korban atas perbuatan mereka. Lebih tepatnya, atas bujukan maut yang selalu diberikannya kepada Yuka. “Kamu kemana aja?” Tanya Arga pelan setelah berjalan menghampiri Yuka. “Sorry, aku nggak enak badan,” jawab Yuka. Nada suaranya terdengar datar dan tidak ada minat sama sekali. Bahkan dia hanya menoleh sekilas lalu berpaling dan melanjutkan langkah kakinya. “Aku nunggu kamu di kosan sampai malam. Tapi kamu nggak pulang-pulang,” ucap Arga lagi, sambil mesejajarkan langkahnya dengan Yuka. “Iya, aku dijemput Meera buat pergi beli obat. Terus aku istirahat di tempat dia. Aku ketiduran sampai malam,” jawab Yuka. “Yuka, apa Meera tau?” tanya Arga. Langkahnya berhenti, dan tangannya menarik pelan tangan Yuka juga untuk ikut berhenti melangkah. Yuka hanya menggeleng pelan. Berbohong, tentu saja. Dari awal Yuka memang tidak pernah bisa menyimpan rahasia dari Meera, sahabatnya dari sekolah yang berbeda. Walau mereka tidak sering berjumpa, tetapi setiap kali bersama, hubungan emosional mereka selalu terasa dekat. “Yaudah, yuk aku antar pulang,” ajak Arga. Yuka hanya diam mengikuti Arga menaiki motornya, dan membawa mereka ke kosan Yuka lagi. “Kita udah kelewat jadwal buat prosedur kamu…” ucap Arga membuka pembicaraan setibanya mereka di kamar kos Yuka. “Iya, aku tau…” jawab Yuka pelan seraya melangkahkan kakinya menuju sudut kamar dimana meja belajarnya terletak. Yuka meletakkan tas sekolahnya di atas meja. “Sekarang gimana? Aku undur aja jadwal keberangkatan aku?” tawar Arga. Yuka berbalik menatap wajah Arga sejenak. “Emangnya bisa?” tanyanya ragu. “Kalau memang harus,” jawab Arga, meskipun lelaki itu juga tampak ragu. “Aku nggak mungkin ninggalin kamu dalam keadaan kayak gini…” lanjutnya. Yuka terdiam sejenak. Masih dirasakannya sedikit kepedulian Arga terhadapnya. Tapi sayang sekali, itu tak cukup baginya. Yuka butuh lebih dari sekedar kepedulian yang sedikit terlambat. Gelengan Yuka menjadi jawaban atas pertanyaan Arga. “Kamu berangkat aja,” ucapnya kemudian. Yuka sudah duduk di tepi ranjangnya dan membiarkan Arga beridir tak jauh darinya. “Terus kamu gimana?” tanya Arga dengan penuh kekhawatiran. “Usia kandungan kamu bakal terus bertambah…” “Aku bisa sendiri,” jawab Yuka. “Kamu berangkat aja. Aku nggak papa.” Arga berpikir sejenak. Bagaimana mungkin Yuka sanggup menghadapi ini sendiri? Bagaimana mungkin Yuka begitu yakin utnuk melepas dirinya pergi meninggalkan Indonesia di tengah keadaannya yang seperti ini? “Kamu mau aku jadwalin lagi?” tawar Arga. Setidaknya dia harus mengurus jadwal itu kalau memang dia tak akan ada di sana menemani Yuka ketika prosedur itu berlangsung. Yuka menjawab dengan anggukan. “Oke. Nanti aku kirimin kamu schedule-nya dan juga alamatnya, ya,” ucap Arga. Yuka hanya diam dan menatap kekosongan. “Kalau besok aku berangkat, berarti setelah ini aku nggak bisa ketemu kamu lagi. Besok aku harus berangkat pagi-pagi sekali. Karena harus transit dulu di Jakarta,” jelas Arga kemudian. Walaupun sebenarnya begitu berat baginya untuk meningalkan Yuka dalam keadaan seperti ini.  “Iya... Pergilah…” sahut Yuka pelan, seolah sebuah usiran yang halus. Ya, dia siap melepaskan Arga dari hidupnya selamanya. Karena mungkin ini satu-satunya cara mengusir Arga dari hidupnya. Mengusir lelaki yang telah mengecewakannya sedemikian rupa. Tepat di saat Yuka paling membutuhkannya. Kalau kini dia tak bisa mengandalkan Arga sebagaimana semestinya, maka mungkin tak akan ada masa di mana Yuka akan bisa mengandalkannya nanti. Masa depan bersama Arga tampak suram baginya. Gelap. Dan dia tak ingin ada di sana. Dalam lubuk hatinya, ingin rasanya dia memberi pilihan itu pada Arga. Menikahinya, atau hengkang dari hidupnya selamanya. Tapi Yuka sadar. Arga punya banyak cara untuk meyakinkan Yuka. Lelaki itu akan membujuknya lagi, agar bertahan sekali lagi. Berkorban sekarang untuk bahagia di masa yang akan datang dengan ribuan alasan yang dia punya. Namun Yuka telah memantapkan hatinya. Menentukan pilihannya. Arga sudah memilih untuk tidak menikahinya. Cukuplah itu sebagai penentu jalan hidup Yuka kedepannya. Tanpa ada tempat untuk Arga di sana. “Kamu kesana sama siapa? Nggak mungkin kamu sendiri,” ucap Arga lagi. “Nggak usah kamu pikirin. Selesaikan aja urusan kamu disana,” jawab Yuka dengan suara yang begitu lembut. “Ka… Beneran kamu nggak papa? Kamu yakin bisa urus semua ini sendiri? Kalau kamu mau, aku bakalan nunda keberangkatanku sampai semuanya selesai, Ka…” tawar Arga lagi. Walau sebenarnya dia pun tak yakin. Karena tiket pesawat sudah di tangannya. Kalau tiket itu sampai hangus, dimana dia bisa mendapatkan uang uang membeeli tiket pesawat yang lain? Yuka menggelengkan kepalanya perlahan, namun dengan penuh keyakinan. “Nggak usah. Aku bisa, kok,” jawab Yuka cepat, sebelum Arga kembali mengambil keputusannya sendiri. “Kamu nggak usah khawatir. Semuanya bakal baik-baik aja, kok,” tutup Yuka. Ya, dia terpaksa mengatakan itu walaupun tentu saja Arga tak pantas menerimanya. Hanya sekedar untuk meyakinkan lelaki itu untuk segera beranjak dari hidupnya. Ketika jarak itu tercipta, Yuka yakin perpisahan pasti tidaklah sulit untuk terjadi. “Kalo gitu aku pamit ya, Ka…” ucap Arga akhirnya, meski keraguan masih meliputinya. Namun nyatanya hanya inilah satu-satunya jalan baginya. “Ini uang yang kamu perlukan,” ucap Arga sambil meletakkan amplop coklat berisi uang di atas meja belajar Yuka. Uang yang didapatkannya dari hasil menjual game konsol miliknya. Barang kesayangan yang tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Yuka. “Kamu jaga diri baik-baik, ya. Aku bakal kangen banget sama kamu…” tambah Arga lagi. Ditatapnya wajah cantik Yuka yang selalu membuatnya jatuh cinta. Yuka segera berdiri mengantar Arga ke pintu. Enggan ntuk membaals tatapan mata Arga yang seolah ingin meluluhkan hatina sekali lagi. “Kamu hati-hati di sana, ya. Belajar baik-baik,” jawab Yuka, sebagai salam perpisahannya yang terakhir. Arga mengangguk, sebelah tangannya terulur mengusap wajah Yuka sejenak. Lalu ia bergerak hendak memeluk Yuka, tetapi Yuka menolak. Dan Arga mengerti. Diraihnya tangan kanan Yuka untuk dikecupnya sejenak. “Aku pulang, ya…” pamit Arga seraya melangkah keluar dari pintu kamar Yuka yang terbuka. Yuka hanya mengangguk perlahan, menatap kepergian Arga. Lalu ditutupnya pintu kamarnya segera. Dia tak ingin Arga kembali masuk karena mengira dirinya membutuhkan lelaki itu. Dilangkahkannya kakinya menuju meja belajarnya. Ditatapnya sejenak amplop uang yang diletakkan Arga di atas mejanya. Lalu dia beralih kepada tas sekolahnya, mengambil sesuatu dari sana. Foto hasil USG. “Mama udah putuskan. Kamu anak mama… Mama akan jaga kamu baik-baik,” ucapnya pada foto itu.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD