bc

Way Back Into Love (Indonesia)

book_age16+
884
FOLLOW
15.9K
READ
family
escape while being pregnant
fated
pregnant
sensitive
drama
bxg
city
highschool
naive
like
intro-logo
Blurb

Cinta masa muda telah menjerumuskan Yukana ke dalam noda hitam yang kelam. Hamil di usia 17 tahun tidak pernah ada dalam rencana hidupnya. Tapi itulah yang dialaminya. Terlebih ketika Arga, sang kekasih, menolak menikahi Yuka dengan alasan masih harus mengejar pendidikannya, apalagi dengan beasiswa yang telah diraihnya. Aborsi menjadi satu-satunya jalan. Hingga akhirnya Yuka merelakan Arga pergi dari Indonesia, juga dari hidupnya. Dari sana, hubungan mereka berakhir.

Kini, sepuluh tahun telah berlalu ketika Yuka dipertemukan kembali dengan Arga dalam sebuah reuni yang tidak direncanakan.

Namun di sisi lain, ada Aksara, sahabat abang Yuka, yang telah menanti Yuka membuka hati untuknya sepuluh tahun lamanya.

Siapakah yang akan Yuka pilih?

chap-preview
Free preview
Chapter 1 : Prahara
Seorang gadis muda dengan seragam SMA melekat di tubuhnya tengah berdiri terdiam di dalam kamar kosnya hari itu. Seorang pemuda dengan seragam yang sama juga tengah berdiri di hadapannya, menatap gadis berwajah ayu dengan rambut sedikit bergelombang sepanjang punggungnya, dengan penuh tanda tanya. “Aku hamil,” suara gadis itu terdengar lirih, ketika tangannya menyodorkan sebuah testpack dengan dua garis merah ke tangan pemuda di hadapannya itu. Mata pemuda itu terbelalak saat jawaban dari pertanyaannya terlontar. Nafasnya tercekat menyadari apa yang tengah terjadi. “Mana mungkin,” sahutnya dengan nada terkejut. “Kamu lihat sendiri, kan?” tanya gadis itu, seraya menunjuk testpack yang kini sudah berpindah tangan. Pemuda itu melihat dengan jelas dua garis merah pada testpack itu. Tapi tentu saja, sulit baginya untuk mempercayainya. Karena sejauh yang dia ingat, dia selalu memakai pengaman ketika berhubungan seksual dengan kekasihnya itu. Tapi juga tak mungkin baginya menuduh kekasihnya berhubungan dengan lelaki lain. Karena dia tahu betul gadis macam apa kekasihnya itu. Bahkan dia sendiri butuh waktu lama untuk membujuk gadis itu hingga akhirnya bersedia menyerahkan kegadisannya kepadanya. Atas nama cinta. “Kamu pasti pernah denger, kalo pengaman itu nggak selamanya aman, kan, Ga?” tanya gadis itu lagi.  Ada air mata yang tampak mulai bersarang di kedua kelopak matanya yang tampak sayu. Wajah gadis itu tampak begitu muram dan dipenuhi rasa sesal. Ingin sekali rasanya Arga menyangkal apa yang dikatakan Yuka. Namun dia sendiri tau bahwa itu benar adanya. Tapi kenapa bisa? Dan Kenapa sekarang? Setelah beberapa kali mereka melakukan hal itu, dan selama ini selalu aman-aman saja, lalu kenapa sekarang bisa jadi begini? “Tapi, Yuka… Aku…” napasnya tercekat lagi. Kalimatnya terhenti. Tidak ingin rasanya dia mengatakan ini. Tapi ada masa depan yang harus dikejarnya. Masa depan yang sudah dipersiapkannya sejak begitu lama. Ia yakin benar belum waktunya bagi mereka untuk memiliki seorang anak. “Aku belum siap jadi ayah…” ucap lelaki itu setelah menghela napas berat. Akhirnya kalimat itu terlepas dari mulut Arga, walaupun dia sendiri begitu kesulitan untuik mengucapkannya. Karena dia tau, dia tau dengan pasti, bahwa Yuka akan sangat kecewa kepadanya. Dan tentu saja satu kalimat itu sudah cukup berhasil membuat airmata menetes perlahan dari kedua mata Yuka. Gadis itu menangis tanpa suara. Walaupun ingin sekali rasanya dia meraung dan memaki Arga saat itu juga. Yuka kecewa. Rasa kecewa yang teramat sangat telah menghantamnya. Sudah hampir dua tahun mereka pacaran. Selalu menghabiskan waktu bersama. Memberikan seluruh hatinya kepada Arga. Rela memberikan segalanya, bahkan hingga kehormatannya. Tapi inilah balasan Arga kepadanya. Ingin rasanya Yuka marah dan memaki pria itu. Ingin dia bertanya kemana perginya semua janji manis yang terucap, ketika pertama kali lelaki itu membujuknya ke tempat tidur? Kemana perginya segala bualan yang membuatnya mempercayai Arga sepenuhnya? Namun bibirnya hanya bergetar, terdiam menahan getaran amarahnya sendiri. Karena di sati sisi, Yuka pun menyadari, bukan hanya Arga yang salah. Tapi juga dirinya sendiri, yang telah terbujuk oleh rayuan manis Arga. Yang akhirnya tak lagi kuasa menolak  ajakan Arga ke tempat tidur. Bahkan sedikit rasa bersalah yang kemudian menghampirinya, sedikit sesal yang menghantuinya, nyatanya tak cukup membuat Yuka menolak ketika Arga mengajaknya lagi dan lagi. Dan di sinilah segalanya berakhir. “Kita gugurkan saja, ya?” pinta Arga kepada Yuka. Ada nada memohon di dalam suaranya. Arga berjalan mendekat kepada Yuka. Ditangkupnya wajah Yuka yang basah oleh air mata, disekanya air mata itu. Sungguh hatinya ikut terasa sakit melihat Yuka menangis. Tapi sungguh dia belum siap untuk menghadapi semua ini. Seandainya saja semudah itu, batin Yuka.  Tapi Yuka sadar, berzina saja sudah salah, dan merupakan dosa yang besar. Apakah harus ditambah lagi dengan pembunuhan terhadap makhluk yang tidak berdosa? Lantas dimana letak dirinya di akhirat nanti? Bahkan di jurang neraka pun ia takkan layak. “Aku akan siapin semuanya. Aku akan cari uang buat modal. Dan aku akan cari tempatnya. Kita selesaikan semuanya sebelum aku berangkat ke Rusia. Oke?” bujuk Arga lagi. Dalam kepalanya Arga emikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang yang cukup untuk prosedur itu dalam jangka waktu yang sangat singkat. Yuka masih terdiam. Hingga akhirnya sebuah anggukan menjadi jawaban. Tapi tentu saja, sedikitpun tidak ada keyakinan dalam jawaban itu. Arga mendekat dan memeluk tubuh Yuka yang membeku, terdiam memikirkan sendiri bagaimana nasib calon bayinya nanti. Haruskah bayi itu mati di tangan ibunya sendiri? Di tangan ayahnya yang begitu dinginnya tidak menginginkan kehadirannya? “Aku janji nggak akan ninggalin kamu. Aku janji, Ka… Kita akan hadapin ini sama-sama. Kita selesaikan semua ini sebelum aku berangkat,” ucapnya di telinga Yuka. Berlagak tenang semampunya. Padahal di dalam hatinya ada sebersit rasa takut yang menghantui. Hanya sebuah anggukan pelan yang kembali diberikan Yuka pada Arga, ditengah segala gemuruh pergumulan batinnya yang terluka. Terluka oleh orang yang selama ini begitu dia cintai. “Aku pulang dulu, ya? Kabarin aku kalo kamu butuh apa-apa,” pesan Ara, sebelum kemudian lelaki itu berlalu, meninggalkan Yuka di kamar kosnya sendiri. Yuka tergugu. Ia terduduk di tepi tempat tidur single yang ada di kamar kosnya yang berukuran sedang dan hanya ada sedikit furniture. Tentu saja dia tak sepenuhnya terkejut dengan pilihan yang dipilih oleh Arga. Lelaki itu telah lolos program beasiswa di Rusia. Walaupun dia bukan murid paling pintar di sekolah, tapi dia cukup cerdas untuk selalu menyabet setidaknya ranking 3 di kelasnya. Meskipun dia tidak sepenuhnya terkejut dengan keputusan yang diabil Arga, tapi nyatanya hatinya begitu sakit dan terluka mengetahui pilihan yang Arga ambil bahkan tanpa perlu waktu untuk berpikir. Yuka sadar, mana mungkin Arga rela menyerahkan segala masa depannya yang tampak kian cemerlang, hanya demi dirinya. Bahkan demi calon bayi yang merupakan darah daging lelaki itu juga. Yuka cukup mengenal Arga dengan baik. Dia punya ambisi untuk memiliki masa depan yang cerah dan pekerjaan yang bagus, untuk bisa berbakti kepada kedua orangtuanya, yang telah banyak berkorban untuk pendidikannya. Terlebih dia masih punya adik yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Arga ingin setidaknya bisa membantu membiayai sekolah adiknya ketika selesai pendidikan nanti. Dan semua itu dulunya adalah hal-hal yang Yuka kagumi dari diri Arga. Namun segala kecerdasan dan ambisi Arga nyatanya tak cukup membuat Arga mampu menahan diri ketika berhadapan dengan Yuka. Pemuda itu selalu saja tergoda untuk menyentuh Yuka. Terlebih ketika akhirnya Yuka terbujuk untuk merelakan Arga menyentuh seluruh tubuhnya untuk pertama kalinya. Nafsunya kian membara terhadap Yuka, dan tentu saja bisikan setan pun semakin meraja lela.  Seperti tertampar oleh kenyataan yang dihadapinya kini, Yuka akhirnya tersadar, ternyata apa yang dikhawatirkan semua orang adalah benar. Keputusannya untuk tinggal di kos-kosan akhirnya membuatnya terjerumus di jurang kegelapan. Dan kini, kemana lagi tempat dia akan mengadu? Ketika Arga menolak terlibat untuk bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Menangis. Hanya itu yang bisa dilakukan Yuka saat ini. “Maafin Yuka, Pi. Maafin Yuka, Mi…” lirih gadis itu seraya melihat wallpaper smartphone-nya yang memajang foto keluarganya. Dirinya, papi dan maminya, serta abangnya. “Kalau Yuka pulang, Yuka pasti bakal bikin malu mami dan papi… Tapi kalau Yuka gugurkan kandungan ini, apa mami dan papi masih mau punya anak seorang pembunuh?” bisiknya lagi di tengah airmatanya yang kian menderas. Dilema itu menghantamnya dengan keras. Tentu saja ia tak pernah ingin menjadi anak yang mempermalukan kedua orangtuanya. Tapi dia juga tak sanggup untuk menjadi seorang pembunuh. Ponsel di tangan Yuka berdering dan memajang foto Arga di sana, menutupi foto keluarga di ponselnya. Tapi Yuka enggan mengangkatnya. Tidak mungkin juga Arga sudah berubah pikiran dan memilih akan bertanggung jawab, menikahi Yuka dan membesarkan bayi mereka bersama, bukan? Rasanya keajaiban seperti itu tidakbisa terjadi dalam waktu yang singkat. Yuka menghempas smartphone nya ke atas meja belajar di sisi tempat tidurnya. Dan memilih menenggelamkan wajahnya di balik bantal. Menangis sepuasnya, hingga akhirnya tertidur karena kelelahan. * Seminggu telah berlalu sejak hari itu. Yuka tetap melakukan aktivitas sekolahnya seperti biasa. Namun wajahnya tampak pucat hari ini. Dia memang belum mengalami morning sickness yang membuat mual dan muntah, tapi tubuhnya sering terasa lemah sepanjang hari. “Yuka!” Suara dari kejauhan membuat Yuka menoleh. Arga ada di sekolah hari ini. Padahal tentu saja dia sudah tidak bersekolah karena sudah dinyatakan lulus. “Kamu sakit?” tanya pemuda itu setelah berdiri di hadapan Yuka. Terdiam sejenak sebelum akhirnya Yuka menjawabnya dengan pertanyaan lainnya, “Kamu tau sendiri kan, aku ini kenapa?” “Iya…” jawab Arga pelan setelah sebelumnya terdiam sejenak. “Kenapa nggak ke UKS aja? Aku antar, ya?” tawarnya. Yuka menggeleng. “Aku lapar. Mau makan dulu di kantin. Kamu ngapain ke sekolah?” tanya Yuka, seraya mulai melangkahkan kakinya menuju kantin, sementara Arga mengikuti di sebelahnya. Memang Arga dan Yuka berbeda satu tingkat. Arga sudah selesai ujian nasional bulan lalu dan sudah menerima pengumuman kelulusannya. Sehingga ia sudah tidak perlu masuk sekolah lagi. Walaupun sesekali dia masih datang ke sekolah untuk berbagai urusan. “Aku khawatir sama kamu…” jawab Arga pelan. “Kamu jarang balas chat aku… Juga nggak angkat telepon dari aku,” sambung Arga. Yuka menghentikan langkahnya. “Kamu tau sendiri kan, kenapa?” balasnya lagi dengan suara yang sedikit lebih tinggi. “Yuka, kita kan udah bahas ini. Kita udah ambil keputusan, kan?” tanya Arga dengan nada sedikit memelas. “Kita?” tanya Yuka balik. “Kamu aja kali!” serunya. “Yuka-“ “Udahlah, aku males! Kalo mau ngajak berantem entar aja pulang sekolah! Nggak usah ngekorin aku lagi!” seru Yuka memotong ucapan Arga, seraya mempercepat langkahnya meninggalkan Arga. Arga hanya terdiam memandangi Yuka yang telah melangkah menjauh darinya. Ia pun sadar, wajar saja jika Yuka kecewa kepadanya. Dengan keputusan yang memang telah diambilnya secara sepihak. Tapi ia juga tidak berpikir bahwa Yuka akan siap untuk menjalani peran sebagai seorang ibu. Menjadi orangtua bukanlah suatu perkara yang mudah. Walaupun tentu saja, ini adalah konsekuensi dari apa yang telah mereka lakukan. Konsekuensi dari apa yang telah Arga paksakan kepada Yuka. Arga menunggu di warung di depan sekolah sampai jam sekolah berakhir. Ia menunggu Yuka agar bisa mengantarnya pulang ke kosan, sekaligus menyelesaikan permasalahan mereka. “Yuka!” panggil Arga ketika dilihatnya Yuka berjalan lambat-lambat keluar dari gerbang depan sekolah. Arga berlari kecil menghampiri Yuka. “Yuk, pulang sama aku,” ajaknya. Yuka menghela napas sejenak, sebelum mulai mengikuti langkah kaki Arga menuju motornya yang terparkir di parkiran warung. Arga segera meniaki motornya, Yuka pun mengikuti, lalu Arga segera memacu motornya mengarungi jalan raya. Tak butuh waktu lama sampai mereka tiba di kosan Yuka. Keduanya pun segera masuk ke dalam kamar Yuka. Kosan ini memang cenderung bebas, tidak melarang adanya tamu lawan jenis untuk mengunjungi. Sesama penghuni pun cenderung tidak ikut campur urusan penghuni yang lain. Hal itu jugalah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya semua yang tengah mereka resahkan kini. “Aku mau tidur,” ucap Yuka setelah meletakkan tasnya di kursi meja belajarnya. Isyarat halus untuk mengusir Arga pulang, karena memang saat ini ia tengah malas menghadapi lelaki itu. Bahkan ia merasa enggan untuk sekedar melihat wajah itu. “Sebentar, Yuka… Aku mau bicara sebentar…” ucap Arga pelan dengan nada meminta. Yuka mendesah keras. Tidak mempedulikan Arga yang kini duduk di kursi belajarnya, di samping tempat tidurnya, Yuka berbaring miring membelakangi Arga. Entah kenapa, sebersit rasa benci telah menghampiri hati Yuka. “Aku minta maaf…” ucap Arga pelan. Yuka hanya diam mendengarkan. “Aku minta maaf kalau menurut kamu aku ambil keputusan secara sepihak,” sambungnya. Yuka masih diam. “Tapi kita sama-sama masih muda, Ka. Kita belum siap jadi orangtua. Aku yakin ini keputusan terbaik buat kita berdua…” Yuka bangkit dari posisinya, dan duduk di atas kasurnya. “Kalau kamu sadar itu, seharusnya kamu nggak pernah membujukkku untuk melakukan itu semua, kan?” tanya gadis itu dengan suara yang agak tinggi. “Iya, aku tau aku salah…” sahut Arga cepat sebelum amarah Yuka semakin meluap. Tak bisa disangkalnya, ada rasa penyesalan yang merasuk di dadanya ketika ia tahu bahwa Yuka hamil. Yuka bahkan masih kelas 2 SMA. Masih satu tahun beberapa bulan lagi sampai pendidikan SMA-nya selesai. Dia menyesal karena tak bisa menahan hasratnya yang menggebu-gebu untuk menyentuh kekasih tersayangnya. Dan dia lebih menyesal lagi karena semua itu bahkan berulang beberapa kali. Aman di kali pertama membuatnya tak ragu untuk meminta lagi. Lagi dan lagi. Dan selalu menempatkan Yuka dalam posisi kesulitan menolak permintaannya. Dan akhirnya, inilah konsekuensi yang harus mereka terima. Tapi haruskah segalanya hancur karena hal ini? Masa depannya? Bea siswanya? Lalu bagaimana tanggapan keluarganya? Juga keluarga Yuka? Bagaimana reaksi mereka semua jika mendengar tentang hal ini? Sungguh Arga tak siap menghadapi semua itu. “Yuka… Please... Ini satu-satunya cara…” rayunya lagi. “Satu-satunya cara supaya kamu bisa lepas dari tanggung jawab!?” tanya Yuka dengan nada tinggi. “Padahal waktu kamu bujuk aku dulu, kamu bilang bakal tanggung jawab, kan!? Sekarang mana tanggung jawabmu!?” “Yuka, aku janji aku bakal nikahin kamu. Dan aku masih memegang janji itu. Tapi nggak sekarang, Yuka…” “Terus, kapan!?” “Nanti, Yuka… Nanti. Kalau aku udah lulus sekolah, udah kerja. Aku janji bakal datang nikahin kamu…” jawab Arga. Smeua itu bukan sekedar omong kosong. Arga sudah membayangkan semua itu di dalam kepalanya. Kuliah, kerja, menabung. Menikah dengan Yuka. “Tanggung jawab apanya!?” sergah Yuka. “Tanggung jawab karena aku udah ngambil keperawanan kamu…” jawab Arga pelan. “Aku yang akan jadi suami kamu. Kamu nggak harus menikah dengan orang lain yang akan mempertanyakan keperawanan kamu dan membuat kamu sulit untuk menjawab. Aku janji itu. Aku nggak akan menempatkan kamu dalam keadaan seperti itu, Ka. Aku cuma minta kamu nungguin aku. Karena bener-bener nggak mungkin kita nikah sekarang, Yuka. Bahkan kamu masih belum lulus SMA,” pungkas Arga. Yuka terdiam. Dia sadar, ada benarnya apa yang dikatakan Arga itu. Itulah janjinya ketika itu. Ketika lelaki itu membujuknya ke tempat tidur. “Jadi menurut kamu, kehamilan ini nggak perlu dipertanggung jawabkan?” tanya Yuka lagi. Suaranya memelan. “Aku ingin bisa bertanggung jawab. Tapi itu nggak mungkin, Ka… Please… Kita gugurkan aja kandungan kamu. Aku janji, setelah ini kita jalani pacaran yang sehat. Aku nggak akan nyentuh kamu sembarangan. Dan selama di Rusia nanti, aku janji nggak akan pernah ada pengganti kamu. Aku akan kembali buat kamu, Ka. Setelah dapet kerjaan dan nabung, aku bakal datangin kamu. Aku bakal lamar kamu. Aku janji…” ucap Arga dengan penuh keyakinan. Tangan lelaki itu terulur menarik tangan Yuka, membawa jemari itu ke dekat mulutnya dan menciuminya. “Aku cinta kamu, Ka. Percaya sama aku…” Sentuhan itu, biasanya selalu membuat Yuka luluh. Kalimat cinta itu… Yuka ingin sekali percaya akan janji itu. Tapi dia teringat, itu masih alasan yang sama yang telah dilontarkan Arga untuk bisa menidurinya. Lantas, haruskah dia percaya? Atas nama cinta? Haruskah lagi-lagi dia dibutakan oleh cinta?  ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
463.0K
bc

Rewind Our Time

read
161.6K
bc

Married By Accident

read
224.4K
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
400.4K
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

CUTE PUMPKIN & THE BADBOY ( INDONESIA )

read
112.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook