2. Lelaki mapan

1518 Words
Tindakan yang impulsif. Padahal Lamia bukanlah tipe manusia yang akan mengambil keputusam hanya karena emosi atau dipojokkan. Tapi entah kenapa dia langsung mengiyakan tawaran Rima tanpa pikir panjang. Tentang bertemu dengan seseorang, yang adalah teman dari temannya Lamia. "Dia itu orangnya rapi. Beberapa kali gue ketemu, pakaiannya selalu pakaian yang disetrika sampai licin dan juga pakaian yang bermerk. Dia cowok mapan, jadi kalau lo jadi sama dia, kayaknya lo enggak akan hidup susah." Mata Lamia menatap malas pada Rima yang sedang menyiapkan dokumen permintaan client. "Sekalipun dia enggak mapan, gue masih punya penghasilan dari usaha gue, kan?" Rima mendelik. "No! Penghasilan lo ya penghasilan lo. Nafkah dari suami, itu beda lagi. Mau lo sekaya apapun, suami lo harus nafkahin lo dengan uang yang dia hasilkan. Lo jadi cewek jangan lempeng dan kaku banget dong! Bisa-bisa lo malah dimanfaatin nanti." Sesuai dengan yang Lamia duga, memang merepotkan. Apalagi Rima menitikberatkan bahwa dirinya harus berdandan semenarik mungkin untuk bertemu dengan pria itu. Namanya Bambang. Entah kenapa, Lamia merasakan bahwa mungkin pertemuannya tidak akan berjalan lancar. "Gue udah kontak Bambangnya langsung dan dia bilang, besok siang dia punya waktu buat ketemu sama lo. Dia juga udah nentuin tempatnya, katanya. Tapi dia mau langsung ngasih tahu ke lo, jadi ini mau gue kasih nomer lo. Boleh, kan?" Lamia mengangguk saja. Toh beberapa orang juga mengetahui nomer teleponnya karena biasanya urusan pekerjaan tanpa sadar tercampur dengan urusan pribadi, sehingga Lamia memberikan nomer pribadinya alih-alih nomer bisnis yang dia punya. "Nah! Bentar lagi dia akan kirim chat ke lo." Mendengar itu, entah kenapa membuat Lamia merasa gugup. Selama ini yang dia hadapi hanya sebatas pesan dari client, itupun hanya beberapa saja karena tidak bisa dihandle oleh Rima. Selebihnya, selalu Rima yang berhadapan dengan para client nya dan Lamia hanya bekerja di balik layar. "Ah! Dia chat," gumam Lamia. Dia memang terlihat tenang, tapi dalam dirinya dia sangat gugup sekali. Pesan yang datang padanya hanya bertanya, 'Halo! Ini bener, Lamia? Temannya Rima?" Tapi Lamia mempertimbangkan banyak hal untuk membalas. Sayangnya, dia tidak bisa bertanya pada Rima yang sudah berjalan keluar untuk menyambut calon client yang datang ke butik mereka. Sehingga setelah lama hanya membaca ulang pesan itu, Lamia akhirnya menjawab hanya dengan, 'Iya.' Dia menunggu balasan lagi, sampai memegangi ponsel itu dengan kedua tangannya. Tapi selama beberapa menit ke depan, tidak ada lagi pesan yang masuk dari lelaki itu. Dari Bambang. Lamia kebingungan. Apakah dia harus balik bertanya? Tapi apa yang harus dia tanyakan? Tiga puluh kemudian, satu pesan masuk kembali. 'Restoran Ayce yang ada di Jl. Pandawa, jam 12 siang. Sampai bertemu besok!" Sontak Lamia menghela napas lega. Sepertinya lelaki itu lama membalas karena sedang mencari tempat untuk mereka bertemu. Lamia tersenyum kecil, dia mencatat lokasi restoran dan jam janjian sebelum kemudian menaruhnya di bagian screensaver ponselnya. Itu dia lakukan agar dia tidak lupa. "Gimana? Udah ada pesan dari dia?" Rima masuk dengan membawa tablet di tangannya, juga satu kebaya yang kemudian diletakkan di meja desain. Lamia mengangguk. "Dia ngajak gue ketemu di Ayce yang di Jl. Pandawa." Sontak Rima bertepuk tangan dengan senyum lebar. "Perfect! Lo harus dandan supaya dia langsung jatuh cinta di pertemuan pertama!" Kening Lamia berkerut samar mendengar apa yang dikatakan oleh Rima. "Bukannya itu enggak mungkin? Memangnya di dunia ini, yang namanya cinta pada pandangan pertama itu, beneran ada?" "Ya ada lah! Ketika seseorang langsung ngerasa tertarik begitu ngeliat seseorang lainnya dan mikir buat deketin orang itu." Lamia menggeleng. "Itu namanya tertarik, bukan cinta." Mata Rima menatap kesal pada Lamia, kemudian melengos sambil membentangkan kebaya yang tadi dia bawa. "Terserah lo! Yang penting, gue mendoakan dengan tulus semoga pertemuan lo besok sama Bambang, bisa berjalan dengan lancar." Walau Lamia tidak menanggapi ucapan sahabatnya, tapi dia mengaminkan dalam hati. Karena bagaimanapun, ini adalah kali pertama dia berniat membuka diri untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. * Lamia bener-bener gugup, tapi dia percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mengenakan dress semi formal warna putih bertema bunga daisy, dia sudah ada di restoran sepuluh menit sebelum waktu janjian. Dia pikir, Bambang juga sudah akan ada di sana, mengingat lelaki itu sempat mengabari bahwa akan mulai berangkat pukul setengah dua belas siang. Tapi hingga waktu bergulir ke angka 12.35 menit, belum ada satupun orang yang menghampiri meja yang Lamia duduki. Lamia mulai merasa tidak yakin dengan pertemuan ini, bahkan sudah berpikir akan kembali saja ke butik dan membatalkan janjian mereka. Bukan Lamia tidak sabar, hanya saja terlambat di pertemuan pertama bukanlah sebuah kesan yang baik. Itulah yang dia pelajari dari ayahnya yang selalu ontime di masa aktif bekerjanya, bahkan hingga kini saat ayahnya sudah pensiun dari jabatan sebagai Manajer umum di salah satu bank swasta. Melirik ke arah jam yang ada di lengannya, Lamia sudah akan bangun dari duduknya saat seorang lelaki berjalan santai mendekat ke arahnya. Berdiri tepat di depan mejanya. "Lamia ya? Wah! Maaf ya, bukannya saya terlambat, saya udah datang dari setengah jam yang lalu dan udah ngeliat juga kamu yang duduk sendirian disini. Tapi saya enggak kepikiran kalau perempuan yang duduk sendirian pakai baju era 90an ini adalah Lamia yang janji temu sama saya." Kening Lamia berkerut dalam. Era 90an, katanya? Padahal dress yang dia pakai adalah dress terbaik yang dia punya, karena desainernya hanya membuat lima baju dengan desain tapi warna yang berbeda. Mungkin untuk orang yang tidak paham fashion, dressnya hanya akan tampak sebagai dress yang biasa diobral di pasar malam, karena mereka tidak bisa melihat rajutan halus yang ada di sepanjang leher dan juga di bagian bawah rok. Tapi yang jadi pointnya bukanlah itu. Justru cara orang di depannya menilai orang lain dengan sebelah mata bahkan sampai membiarkan Lamia menunggu seperti orang bodoh hanya karena pemikiran sempitnya itu. Sudah Lamia duga, bahwa berhubungan dengan lawan jenis adalah sesuatu yang merepotkan. "Kemeja yang kamu pakai itu.." ujar Lamia menilai. Tapi lelaki di depannya justru membusungkan d**a, seolah ingin membanggakan kemeja yang dipakainya. "...adalah kemeja semi premium yang dibuat di salah satu toko pakaian pria yang ada di Mall Anggrek. Kualitasnya memang dibuat semirip mungkin dengan yang asli, tapi...." Tangan Lamia bergerak menyentuh kerah kemeja itu dan kembalinya. "Yang asli, bagian bawah kerahnya punya simbol embos nama desainer yang membuatnya. Dan yang ini...enggak ada." Wajah Bambang tampak memerah setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Lamia, menyadari bahwa kemeja yang dia banggakan ketahuan hanya kemeja tiruan. "Saya akan bilang ke Rima kalau kita enggak punya kecocokan, jadi image kamu juga enggak jatuh di depan temen kamu yang temenannya Rima." Lamia sudah bersiap untuk pergi saat dia mengambil tasnya dari atas meja. Tapi kemudian dia mendengar suara Bambang yang berbicara padanya. "Cara kamu natap orang itu..kamu pasti sering dengar kalau itu nyebelin kan?" Diam, Lamia tidak mengubah caranya dia menatap Bambang. "Benar," katanya tidak menyangkal. "Tapi semua yang bilang tatapan saya ini nyebelin, semuanya manusia yang satu tipe kayak kamu. Tipe manusia yang hanya menilai orang lain dengan satu sisi saja, padahal manusia adalah makhluk yang kompleks yang bahkan enggak bisa benar-benar dipahami walau sudah kenal seumur hidup." Lamia berbalik badan. "Saya udah terlanjur pesan dan bayar, jadi silakan dimakan sebelum pergi. Kamu pasti capek karena mengamati orang lain diam-diam selama setengah jam tanpa makan apapun." Lalu dia langsung pergi meninggalkan Bambang yang mungkin kini sedang sibuk mengumpatinya. Sudah Lamia duga, hubungan seperti ini bahkan tidak cocok dengannya. Sejak dulu, Lamia tidak secara tiba-tiba memiliki pemikiran bahwa menjalin hubungan dengan lawan jenis itu adalah hal yang merepotkan. Dulu dia masih punya angan-angan bahwa mungkin dia juga akan menemukan orang yang cocok dengannya. Hanya saja, dia yang tidak banyak bicara dan lebih suka mengamati orang lain, mulai menyadari bahwa banyak manusia yang tidak menjadi dirinya sendiri saat menjakin hubungan dengan seseorang. Ingin menarik perhatian pasangan hingga mengenakan apa yang tidak cocok dengannya atau yang tidak dia sukai. Memaksakan diri menyukai hal-hal yang disukai pasangan demi membuat Komunikasi terjalin. Semua itu, pasti sangat melelahkan. Karena itulah semenjak dia duduk di bangku SMP, baginya semua lelaki hanya pantas dijadikan teman. Lamia kehilangan minat untuk menjalin hubungan romantis dan bahkan sangat tidak suka dengan cerita-cerita romantis yang kebanyakan terlalu dibuat-buat. Dalam arti lain, Lamia adalah gadis yang tidak mengerti bagaimana caranya menjalin hubungan dengan lawan jenis karena pengalaman dan pengetahuannya nol besar. "Harusnya tadi pakai flatshoes aja. Enggak nyangka kalau pakai heels bisa sesakit ini," gumam Lamia saat memilih duduk di salah satu bangku yang ada di pinggir jalan. Dia terlalu mempercayai ucapan Rima yang memintanya berdandan agar menarik, hingga Lamia nekat menggunakan heels yang jarang dia gunakan. Terakhir kali dia menggunakannya saat acara wisuda. "Mbak Mia?" Kepala Lamia langsung menoleh begitu ada yang memanggil namanya. Dia terpaku pada seorang lelaki tinggi, mengenakan kaca mata dan tengah menatap padanya. Dia mengenali lelaki ini. "I know you," gumamnya dengan senyum tipis. "Apa kabar, Ruu?" Lelaki itu balas tersenyum, walau senyumnya tampak mengganggu di mata Lamia. Jenis senyum yang muncul saat bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu dan yang dirindukan. Dan Lamia menyadari itu dengan sangat baik. Karena lelaki yang kini melangkah maju mendekat padanya, adalah orang terakhir yang pernah menyatakan cinta padanya. "Enggak sebaik kelihatannya. Tapi saya senang karena bisa ketemu sama Mbak Mia lagi di sini. Long time no see, Mbak!" **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD