Dua minggu terisi dengan kesibukan yang nyaris membuat Lamia melambaikan tangan ke kamera.
Dirinya harus menyelesaikan pesanan kebaya wisuda dan juga harus turut andil dalam persiapan persiapan kakaknya. Walaupun sejujurnya Lamia bingung, karena setelah dia mengorbankan waktu untuk pulang lebih cepat dan mengabaikan pekerjaannya sementara waktu, ketika di rumah, yang terlihat hanyalah orang-orang yang sibuk mengobrol satu sama lain. Sedangkan semua persiapan dekorasi pernikahan sedang dikerjakan oleh staff WO yang disewa oleh mertua kakaknya. Tentu saja itu bukan WO milik Lamia.
Kakaknya tidak akan sudi membiarkan uangnya masuk ke dalam rekening Lamia.
"Ma, apa yang bisa aku bantu?" tanya Lamia pada mamanya yang sedang duduk bersama dengan kerabat yang lain.
Mamanya itu mendongak karena posisi Lamia yang hanya menunduk. "Enggak ada, Sayang! Kamu duduk aja disini. Udah lama juga kita enggak ngobrol santai, kan?*
Tentu saja Lamia menolak dengan senang hati. Dia sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan para kerabatnya jika dia sampai ikut duduk bersama dengan mereka.
"Aku ke depan aja deh, Ma! Aku mau lihat dekorasi yang lagi dipasang."
Mamanya terlihat hendak menahan langkah Lamia, tapi Lamia lebih dulu berjalan cepat ke arah depan.
Orang-orang berpakaian kaos belel atau kaos lengan panjang yang merupakan pekerja WO, tengah memasang tenda di depan halaman rumahnya. Tenda itu bertujuan hanya untuk meneduhkan suasana saat menyambut para tamu karena akad nikah akan diadakan di rumah. Baru setelah itu, pengantin akan digiring ke gedung yang sudah mereka sewa untuk resepsi.
Lamia duduk di kursi teras yang tidak tersentuh oleh tangan-tangan sibuk di rumah mereka. Memandangi para pekerja dan memperhatikan dengan matanya, untuk membandingkan dengan para pekerja yang tergabung dan timnya.
Tapi pikirannya kemudian malah lari entah kemana. Kepada seseorang yang selama dua minggu ini hanya beberapa kali saja mengirimkan pesan padanya.
Hidup Lamia sangat monoton. Terlebih setelah dia pindah ke apartemen. Di dalam unit yang sempit itu, dirinya hanya mandi, makan dan tidur sebelum kemudian esok harinya kembali ke rutinitas yang sama. Bekerja hingga senja menjemput.
Dan bahkan di tengah sibuknya, perasaan janggal dan mengganggu itu masih saja mengandrungi dirinya. Dia terus teringat perkataan terakhirnya pada Ruu. Dia merasa bersalah karena Ruu jelas akan terluka dengan ucapannya.
"Keliatan banget kan, kalau dia sakit hati sama aku?" gumam Lamia. Matanya menatap pada ruang pesan yang terkesan berdebu karena lama diabaikan. Pesan terakhir yang dikirimkan oleh Ruu hanyalah pesan selamat tidur sebelum kemudian tidak ada lagi pesan yang datang dari pria itu.
Bahkan akun sosial media yang dia temukan, yang adalah milik Ruu, tidak menampilkan aktivitas berarti yang dapat membantu kegalauan Lamia. Hanya foto jam tangan, foto sepatu lari yang dipakai oleh Ruu dan foto tidak penting lainnya.
Lamia bisa saja menghubungi lelaki itu duluan, tapi dirinya malu dan takut. Dia yang memberikan batas, tapi dia juga yang menantikan kehadiran lekaki itu.
"Kenapa? Lagi bandingin sama dekorasi yang biasa kamu sewakan ke orang ya?"
Tubuhnya sedikit berjengkit saat mendengar suara dari arah belakang tubuhnya. Ia kemudian menoleh, menghela napas kemudian saat mendapati sosok kakaknya yang tampil dengan tangan dihias hena yang bahkan belum kering.
"Enggak juga," balas Lamia malas. Dia kembali menyibukan diri dengan akun sosial media miliknya, mengabaikan keberadaan kakaknya yang masih ada di sana.
"Ya kamu juga harus tahu diri dong! Jelas harga bookingnya beda jauh sama WO kamu. Jadi kualitasnya juga enggak bisa disamakan."
Lamia mengangguk saja. WO nya yang baru berdiri satu tahun jelas bukan sesuatu yang bisa dibandingkan dengan WO yang disewa oleh Venus. Karena menurut Venus, WO ini adalah WO yang selama ini sering digunakan oleh para aktris Ibukota.
"Kamu harus dapat pengusaha besar kalau mau menikah dengan gaya yang aku pakai. Tapi kalau ngeliat kualitas diri kamu.." Venus menatap remeh pada adiknya yang bahkan sejak tadi tidak menoleh padanya. "Kayaknya susah banget ya?"
Kepala Lamia menoleh, dia memandangi kakaknya dalam diam selama beberapa saat sebelum kemudian bangun. Entah apa alasannya, tapi Venus langsung bergerak mundur seolah takut Lamia melakukan sesuatu padanya.
"Hena itu, kayaknya bakalan langsung ancur desainnya kalau aku senggol. Harusnya kalau emang belum kering, enggak usah banyak tingkah. Sayang kan, kalau harus bayar dan ngulang hena dari awal?"
Wajah kakaknya tampak kesal, tapi Lamia dengan sengaja malah menampilkan senyum manis di wajahnya.
Setelah itu dia bergerak masuk, melewati kumpulan orang tua yang melatar di atas karpet dan memilih masuk ke dalam kamarnya.
Sudah kadung dianggap buruk karena tidak mau bergabung dengan para kerabat, Lamia memilih untuk tidur saja di dalam kamarnya dan mengunci pintu agar tidak ada yang berani asal masuk ke dalam kamarnya. Cukup kamar Venus saja yang dijadikan tempat bermain mendadak oleh para sepupu dan bahkan dijadikan tempat meletakkan banyak barang, Lamia tidak ingin kamarnya juga jadi korban.
*
"Kamu bisa pulang besok aja, kan? Kenapa sih buru-buru banget balik ke Indo?"
Ruu melirik pada Paris yang berjalan di sampingnya. Tangannya menarik dasi yang membuatnya tidak nyaman lalu menggulungnya untuk kemudian dimasukkan ke dalam saku celana dengan asal.
"Aku udah bertahan disini lebih dari satu minggu, Mas. Di kantor Cabang juga banyak yang harus aku kerjain."
Paris justru menatapnya dengan penuh selidik. "Bukan karena perempuan yang katanya mau kamu nikahi itu, kan? Tante sampai seheboh itu bilang ke keluarga yang lain kalau kamu udah punya calon. Ini beneran calon, kan?"
"Pertanyaan macam apa itu?" tanya Ruu jengah.
Kini mereka menuruni tangga yang hanya terdiri dari lima belas anak tangga untuk sampai di ruangan Paris.
"Kamu ngerti maksudku, kan? Yang namanya calon istri itu berarti kamu sudah pacaran sama dia dan siap melangkah ke jenjang yang lebih jauh."
Mendengar itu, Ruu langsung memalingkan wajah kemana saja. Boro-boro melangkah ke jenjang yang lebih jauh di saat hubungannya dengan Lamia bahkan tidak memiliki nama. Bahkan Ruu tidak berani menghubungi Lamia karena takut perasaan rindunya kian besar, sedangkan dia harus menetapkan di Singapur lebih dari satu minggu demi menepati janjinya pada sang ayah.
Kini waktu satu minggu itu telah usai dan dirinya bersiap untuk pulang dan kembali memperjuangkan Lamia. Tapi pertanyaan dari Paris malah membuatnya hilang semangat.
"Apa nih? Jangan-jangan itu cuma perasaan sepihak kamu? Enggak, kan? Jangan bilang, apa yang aku tebak ini benar, Kal. Karena kamu pasti tahu seheboh dan seyakin apa Tante menyebarkan kalau kamu sudah punya calon.*
Ruu menggeleng pelan, tubuhnya dia dudukkan di sofa sembari menunggu sekretarisnya mengirimkan tiket pesawat lewat email, untuk dirinya kembali ke tanah air.
"Dia satu-satunya perempuan yang aku suka, Mas. Dan kalau bukan sama dia, aku enggak ada pikiran buat menikah. Jadi aku enggak akan menyerah cuma karena pernah ditolak sekali dua kali sama dia."
Paris menunjukkan wajah takjub saat mendengar apa yang dikatakan oleh Ruu. Bahkan lelaki yang merupakan kakak sepupunya itu sampai menutupi mulutnya dengan dramatis.
"Aku kira, enggak akan ada perempuan yang bisa nolak kamu. Bukan cuma sekali tapi sampai dua kali? Siapa sih dia, Kal? Aku kenal enggak?"
Ruu tersenyum meremehkan. "Mas Paris yang dari jaman sekolah SMA udah tinggal di Singapura, mana mungkin kenal sama dia."
Paris mendengus, tapi tidak bisa menyangkal apa yang dikatakan oleh Ruu.
"Dia kakak tingkat aku pas kuliah. Dulu kan orang-orang enggak tahu latar belakang aku. Orang-orang cuma nganggep aku anak perantauan yang harus berhemat sampai kiriman bulanan selanjutnya. Nah! Perempuan ini yang banyak bantu aku padahal aku enggak minta. Aku juga enggak pernah bilang apa-apa soal diri aku, tapi mungkin karena penampilan aku gembel banget, mereka nyangka kalau aku anak beasiswa. Mbak ini sering ngajak aku makan atau ngopi."
Sesaat Paris berdecih mendengar cerita darinya. "Jadi kamu jatuh cinta sama dia cuma karena kamu sering ditraktir sama dia? Yang bener aja dong, Kal!"
"Ya Mas Paris mikir aja! Masa iya aku suka sama dia cuma karena itu? Aku suka sama dia karena walaupun dia akhirnya tahu latar belakang aku, dia enggak yang ngoyo mau deketin aku kayak yang lainnya. Malahan aku ditolak pas nyatain perasaan aku sama dia."
"Haha! Kayaknya dia emang beda dari yang lain kalau denger cerita kamu. Tapi soal omongan kamu yang enggak akan mau nikah kalau bukan sama dia, jangan sampai itu kedengaran sama orang tua kamu, Kal. Kamu itu anak tunggal mereka dan mereka punya banyak harapan sama kamu, sekalipun mereka enggak pernah maksa kamu ini itu. Tapi karena itulah kamu jadi harus semakin mempertimbangkan perasaan orang tua kamu. Jadi, gini aja."
Kening Ruu berkerut saat melihat Paris yang mendekat dengan wajah serius.
"Sebagai satu-satunya temen dan sepupu yang deket sama kamu, aku kasih waktu satu tahun, Kal. Usahain semaksimal mungkin buat dapat kepastian dari perempuan itu kalau dia bisa balas perasaan kamu dan mau menikah sama kamu nantinya. Kalau sampai lebih dari setahun kamu enggak bisa yakinin dia dan dapetin kepastian dari dia, kamu harus mau menyerah dan mulai mempertimbangkan hubungan dengan perempuan lain." Paris menghela napas pelan kemudian. "Buat orang seperti kita, nikah bukan cuma karena saling suka aja, Kal. Apalagi kamu anak tunggal, kamu harus berpikir tentang nasib perusahaan ke depannya. Karena nantinya bisa aja aku lepas dari Pacific Era, kan? Kalaupun aku masih disini, orang yang akan menggantikan Papa kamu adalah kamu sendiri. Dan nantinya, anak kamu lah yang akan menggantikan kamu. Inget, di perusahaan banyak karyawan yang menggantungkan hidup mereka. Jadi kalau kelangsungan Pacific Era sampai goyah, mereka yang paling kena imbasnya."
Ruu terdiam. Waktu satu tahun di saat dirinya sudah bertahan selama bertahun-tahun hanya menyukai Lamia saja. Bisakah dia menggoyahkan perasaan wanita itu dalam waktu satu tahun?
**