8. Abiyasa vs Emir

1970 Words
Membaca sebuah skenario seperti ini mengingatkan Aliska pada kejadian beberapa tahun yang lalu saat masih berkuliah di Melbourne. Ketika gadis itu harus menggantikan posisi Alina saat tampil di teater kampus. Memang di jurusan sastra terdapat mata kuliah drama, Aliska pernah mempelajari itu. Namun untuk mempraktikkan bukan hal yang mudah dan disukainya. Ia tidak sepiawai Alina untuk mendalami peran. “Ready?” tanya sang sutradara pada Aliska. Aliska menggeleng. “Belum Pak, izinkan saya untuk lebih memahami dialog & ekspresi seperti ini.” Ahmad mencoba memberikan solusi. “Begini saja, coba kamu dialog bebas tanpa naskah. Pahami dulu apa maksud dialog tersebut. Buat seolah-olah kamu menjadi tokoh di situ sesuai versimu.” Mendengar ucapan sang sutradara, Aliska bertanya sambil mengernyit. “Setelah itu bagaimana, Pak?” “Saat sudah lancar berdialog, baca naskah itu berulang kali dan hafalkan! Scene pertamamu ini melibatkan Emir kan? Kau harus bangun chemistry dengan dia. Oh ya, sebelum itu kau harus melihat beberapa adegan yang sudah dimainkan oleh Alina. Sebagai referensimu agar dapat berakting brilian seperti dia.” Aliska mengangguk lantas berjalan mengikuti sang sutradara. Mengekor di belakang Ahmad yang tampak antusias. Menyaksikan bagaimana akting dari saudara kembarnya yang gemilang. Alina begitu menjiwai peran sebagai Hania nyaris tanpa cacat sedikit pun. Terlihat jelas bagaimana ia beradu akting dengan Emir yang juga berpengalaman. Gadis itu jadi merutuki diri sendiri. Alina begitu sempurna dalam berakting... sedangkan aku hanyalah pupuk bawang yang entah bisa bangkit atau tidak.... “Sudah puas nontonnya?” tanya Ahmad seraya menyunggingkan seringai. “Iya Pak, sudah. Terima kasih sudah membiarkan saya menonton,” jawab Aliska sambil tersenyum simpul. “Ya sudah, aku panggilkan Emir ya, waktunya kalian beradu akting. Dia akan membantumu mengatasi masalah berakting,” ucap Ahmad mantap diikuti anggukan Aliska. Pria jangkung dengan kulit putih bersih itu tak lama kemudian muncul. Aliska tampak sedikit canggung dengan pria itu. Apalagi ia harus membangun sebuah chemistry dengan lawan mainnya itu. Benar-benar beban yang harus segera terselesaikan. Mereka pun berkenalan ketika Emir sudah berada di dekat Aliska. “Wow, kalian benar-benar bagai pinang dibelah dua ya... kau sangat mirip dengan Alina,” goda Emir pada Aliska. “Jelas saja mirip, kan kami kembar. Tapi tolong lihat dengan seksama! Kami berbeda kok.” Emir terkekeh mendengarnya. “Iya, memang beda sedikit. Kamu nggak suka ya dimirip-miripkan?” “Iya, jelas ggak suka karena sifat kami berbeda,” cicit Aliska. “Oke, ayo kita latihan berdialog!” ajak Emir bersemangat. Aliska mengangguk lantas menarik napas panjang. Berusaha mengatasi rasa gugup yang melanda. Berdoa di dalam hati agar diberi kelancaran. “Hania, maafkan aku! Maaf atas segala kesalahan yang selama ini kuperbuat padamu!” ucap Emir mulai beradu akting dengan Aliska. Memperlihatkan raut wajah sedih seraya menggigit bibir. “A-aku sudah memaafkanmu,” sahut Aliska terbata-bata. Berusaha larut dalam kesedihan. Mencoba menujukkan ekspresi sedih pada matanya. Emir menghembuskan napas lega. “Mari kita bersama lagi. Memulai rumah tangga kita kembali.. Memperbaiki kesalahan-kesalahanku yang dulu.” Aliska tertegun sejenak. Kali ini harus memikirkan cara agar ia dapat menangis. Gadis itu mencoba untuk mengeluarkan air mata namun ia kesusahan. Emir yang memergoki problem Aliska tersebut, segera mengakhiri latihan mereka. “Aliska, kau mengalami kesusahan untuk menangis?” tanya Emir ramah. “Iya, sudah kucoba namun gagal.” Emir pun memberi solusi. “Coba kau ingat-ingat hal yang membuatmu sedih atau dengarkan lagu sedih. Jika tetap tidak berhasil, tetesi matamu dengan obat tetes mata dan bayangkan kau sedang sedih sekali!” Aliska mengangguk dan menuruti perkataan pria itu. Tampak jika Emir adalah pria baik dan ramah. Saran sang aktor memang membantu gadis yang minim berakting itu. Hingga setelah mencoba beberapa kali untuk adegan menangis, akhirnya ia mampu mengurai air mata. “Good job! Permulaian yang bagus. Semangat Aliska! Kau pasti bisa. Ending film ini bergantung padamu,” ucap Emir berdecak kagum. Aliska mendengkus seraya mengurai senyuman. “Terima kasih, Emir. Jangan bosan untuk mengajariku ya!” Seharian ini pun dihabiskan Aliska untuk membaca naskah dan latihan berakting. Sang sutradara memaklumi gadis itu dan sengaja memberinya waktu sampai besok untuk pengambilan scene perdana untuknya. Aliska melirik jam tangan yang telah menunjukkan pukul tujuh malam. Abiyasa yang hendak mengantarkan gadis itu untuk pulang, sudah berdiri di parkiran lokasi syuting. “Pulanglah! Agenda hari ini sudah selesai. Kita bertemu lagi besok pagi ya,” sahut Ahmad Dahlan. “Oke Pak, mengenai lokasi pengambilan scene apa tetap di sini?” tanya Aliska. “Iya masih tetap di sini. Syuting hari terakhir yang berbeda tempat. See you tomorrow.” Selesai berpamitan, Aliska segera menyusul Abiyasa yang berada di parkiran. Peluh yang membasahi sekitar leher akibat berlatih akting saat adegan berlari membuatnya kurang percaya diri untuk bertemu dengan sang calon suami. Ia pun segera menyemprotkan parfum Jo Malone yang ada di shoulderbag-nya dan memoleskan lip cream stain Sephora berwarna pink agar tak terlihat pucat. Selanjutnya beralih menghampiri Abiyasa. “Mas Abi sudah menunggu lama di sini?” tanya Aliska sedikit sungkan. Abiyasa menggeleng. “Nggak kok. Baru saja datang. Ayo kita pulang!” Sepasang calon suami istri itu pun berlalu meninggalkan Jalan Raya Condet yang ramai dengan para pejalan kaki yang sesekali singgah di toko parfum yang bejejer di sana. Nuansa Arab yang kental pun lenyap ketika mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki arah Tol menuju Cilandak, Jakarta Selatan. “Bagaimana tadi hari pertamamu menjadi aktris film?” tanya Abiyasa memecah keheningan malam. “Alhamdulillah lancar Mas, semua kru film baik dan ramah. Tak terkecuali lawan mainku di film, Emir Alattas.” Aliska menjawab pertanyaan calon suaminya dengan sumringah. Berbeda dengan Abiyasa yang seakan malas membahas pria itu. Tanpa tanggapan dari sang calon suami, Aliska berucap kembali. “Dia baik banget mau mengajari aku ilmu berakting. Tadi kesusahan untuk menangis juga dibantu olehnya.” Pujian Aliska untuk Emir membuat telinga Abiyasa menjadi panas. Tak ingin mendengarnya lagi. “Sudah, nggak usah membicarakan Emir lagi. Daridulu dia memang begitu.” Gadis itu agak terperangah mendengar ucapan Abiyasa. Ia menanggapi ucapan pria itu seraya menggaruk dahi. “Lho kenapa Mas?” tanya gadis itu terbelalak. Abiyasa mendengkus. “Aku dulu pernah memusuhinya karena dia terlalu dekat dengan Alina. Saat ia menarik tubuh Alina untuk beradegan panas, kupukul dia. Istilahnya dia menang banyak.” Mendengar ucapan Abiyasa, Aliska terkesiap. “Kan adegan itu berdasarkan skenario, Mas. Mau nggak mau harus dijalankan. Harus profesional intinya kan? Sudah risiko menjadi seorang aktor atau aktris,” kata Aliska berusaha menjelaskan. “Iya, sudah dijelaskan oleh Alina juga. Cuma aku nggak suka saat di balik layar pun mereka terlalu dekat. Apalagi saat di villa Bogor itu. Saat Alina hanya berpakaian tipis. Karena tak enak padaku, akhirnya ia meminta untuk mengganti baju,” cerita Abiyasa dengan mata menyala. “Oh begitu... Mas, boleh aku bertanya?” tanya Aliska menatap penasaran pada Abiyasa. “Ya,” sahut Abiyasa dengan posisi tangan berada di kemudi. “Jika pada scene berikutnya ada adegan mesra lagi yang harus melibatkan aku dan Emir, apakah tidak masalah untuk itu?” Aliska mencoba mengatur napas dan mempersiapkan diri saat mendengar jawaban Abiyasa. “Sebenarnya aku tidak suka calon istriku melakukan adegan panas di film. Mana ada sih pria yang mau calon istrinya disentuh-sentuh. Tadi pagi saat membaca skenario itu, aku sempat khawatir ada adegan serupa tapi ternyata tidak ada. Karena Alina dan kau mengingatkan ini hanya akting dan harus profesional, akan kuizinkan demi mewujudkan mimpi besar Alina sebagai seorang aktris.” Jika Alina yang memerankan adegan itu pasti kau cemburu ya? Jika aku yang memerankan itu apa kau tidak cemburu? Hmm... mikir apa sih aku.... Gadis itu merutuk dalam hati. Mengenyahkan pikiran itu jauh-jauh. “Mengenai Emir, bagaimana hubungan kalian berdua sekarang?” tanya Aliska penasaran. “Kami sudah lama tidak bertemu. Baru tadi aku melihatnya tapi tak bertegur sapa. Namun kami sudah berdamai kok setelah Alina menenangkanku.” “Syukurlah kalau begitu,” sahut Aliska lega. Obrolan sepasang calon suami istri itu pun berakhir ketika mobil Abiyasa telah memasuki kawasan The Riverville Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Aliska segera turun dari mobil dan berpamitan pada sang calon suami. Ia pun bergerak maju memasuki rumah dengan rasa lelah yang menyergap. *** Hari demi hari telah dilewati Aliska yang berperan sebagai Hania Shah pada film berjudul Pangeran Condet. Gadis itu sudah mulai terbiasa dengan aktivitas syuting. Beberapa kali take adegan meski sering kali juga mengulang. Ahmad Dahlan sebagai sutradara handal pun dengan sabar dan gigih berinteraksi dengan para aktor dan aktris. Terutama bersama Aliska yang sudah mulai akrab dengannya dan para personel yang lain. “Bagus... tetap konsisten seperti itu ya, Aliska! Aku suka kau banyak kemajuan,” sahut Ahmad dengan mata berbinar. “Ah, Bapak berlebihan... saya hanya berusaha mengimbangi akting Alina yang brilian,” balas Aliska seraya tersipu malu. “Sekarang waktunya istirahat. Hanya kurang dua scene lagi menuju tamat. Mulai besok take akan berubah di tempat lain.” Aliska mengangguk kemudian berlalu meninggalkan Ahmad. Dengan cepat menapaki anak tangga menuju ruangan beristirahat untuk para aktor dan aktris yang ada di lantai tiga. Sebenarnya ia bisa saja naik dengan private lift di rumah itu, namun karena masih ada pengambilan scene pemeran pendukung di sana maka ia memilih melewati tangga. Sesampainya di ruangan istirahat untuk artis, Aliska mengedarkan pandangan pada ruangan bercat putih dengan beberapa cermin besar yang bertengger di sana. Menemukan sosok Emir yang tengah berada di ruangan itu. Sang aktor hendak memakan bekal makan siangnya. “Aliska, mau makan juga? Ini aku bawa beberapa nasi kotak yang mau aku bagikan pada orang-orang,” ucap Emir sembari menunjuk beberapa kardus nasi kotak yang ada di depannya. “Terima kasih, Emir. Boleh aku bergabung denganmu untuk makan?” tanya gadis itu antusias. “Tentu saja, kemarilah! Temani aku makan!” ajak Emir sambil mengunyah ayam krispi di mulutnya. Aliska mendekat ke tempat duduk Emir. Membuka nasi kotak yang dibawakan Emir. “Wow, ini salah satu makanan favoritku,” sahut Aliska lantas mencoba makan siangnya. “Enak... Emir, aku ingin bertanya.” “Iya, mau tanya apa?” “Kau pernah dimusuhi oleh Mas Abi ya? Apa adeganmu dan Alina terlalu mesra hingga dia marah?” Emir menghela napas berat. “Oh tentang itu ya... iya pernah. Dia meninju mukaku hingga memar. Memang adegan panas sih sesuai skenario tapi dia seperti tak terima jika Alina kusentuh.” “Mereka berdua saling mencintai. Tak heran jika dia cemburu padamu.” Aliska menginterupsi perkataan Emir. Membuat pria itu menatap lekat pada Aliska. “Sekarang dia menjadi calon suamimu kan?” “Iya, sekarang ia adalah calon suamiku. Calon suami yang kuterima dari saudara kembarku sendiri,” jawab Aliska kemudian melanjutkan ucapannya lagi. “Apakah hubungan kalian baik-baik saja setelah itu?” Emir tertegun sejenak. Sengaja Aliska menanyakan itu karena penasaran dengan jawaban Abiyasa dan Emir. Ingin tidak ada kecanggungan di saat mereka bertiga berada di tempat yang sama. “Baik atau tidak ya? Hmmm... kurasa sudah tidak ada masalah di antara kami. Hanya saja mungkin kami terlalu gengsi untuk bertegur sapa. Seperti itulah...” “Oh iya aku paham. Mungkin aku akan membuat kalian menjadi tidak gengsi lagi,” tukas Aliska sambil mengerjap. Mendengar ucapan Aliska, Emir jadi terkikik. “Kau lucu sekali sih, Liska! Mau bikin aku jadi akrab banget sama dia begitu?” Aliska mengedikkan bahu. “Tidak ada salahnya kan? Aku tidak mau kau datang ke acara pernikahanku dengan muka ditekuk-tekuk seperti saat ada Mas Abi.” Tawa renyah Emir terlepas begitu saja saat mendengar ucapan Aliska. “Lama-lama kau menggemaskan juga ya, Liska! Calon suamimu beruntung ini akan punya istri seperti kamu,” goda Emir seraya berkedip. Beruntung? Iya kah? Apa bukan aku yang beruntung karena mau dinikahi mas Abi? Percakapan mereka pun berakhir ketika terdengar panggilan dari sutradara yang akan mengumumkan lokasi syuting terakhir film Pangeran Condet. Kira-kira dimana ya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD