7. Perpisahan dan Pertemuan Kembali

2518 Words
Masih teringat akan kenyataan bahwa Alina tidak hanya pergi meninggalkan calon suami tetapi juga meninggalkan kontrak kerja yang belum selesai. Dua hal itu pula yang harus diterima oleh Aliska sebagai pengganti dari gadis itu. Ketika harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, Alina mati meninggalkan calon suami dan pekerjaan yang belum selesai. Apakah aku harus selalu menjadi pengganti untuk saudara kembarku? Apakah aku harus menjadi ban serep? Pertanyaan itu yang selalu terngiang-ngiang dalam benak Aliska Ibrahim. Ia selalu menjadi cadangan di saat Alina sakit. Kembali menjadi cadangan di saat ia telah tiada. Jika ditarik kesimpulan, Aliska adalah gadis nomer dua bukan gadis nomer satu seperti Alina. “Hei Liska!” sapa Marsha yang hari ini telah kembali bekerja. “Kau melamun?” “Oh iya, Marsha. Maaf, lagi nggak konsen. Kau sudah baikan? Kemarin sakit apa?” tanya Aliska dengan mata membola. “Biasalah penyakit wanita setiap datang bulan. Syukurlah hari ini bisa diajak kerja sama buat masuk kerja,” jawab Marsha seraya berkedip. Aliska mendesah lalu menatap sahabatnya sembari tersenyum. “Syukurlah kalau begitu. Marsha, aku penasaran dengan ceritamu tentang Mister Bona. Ada apa dengan Mister Bona?” tanya gadis cantik itu penasaran. “Hmmm… iya aku punya hutang cerita padamu ya,” jawab Marsha lalu melanjutkan ucapannya dengan antusias. “Waktu itu ketika tahu kamu mau bertunangan, dia shock kayak nggak rela begitu. Apalagi saat dia keceplosan bilang jika dia terlambat menyatakan cinta padamu. Dia naksir kamu.” Ucapan Marsha sukses membuat Aliska sangat terkejut. Terperangah atas apa yang baru saja ia dengar dari mulut Marsha. “Marsha, kau jangan mengada-ada! Nggak mungkin!” pekik gadis itu berusaha menyangkal. Marsha menelan ludahnya perlahan. “Hmm... terserah mau percaya apa tidak, yang jelas aku sudah bilang ini padamu. Kalau kau mau coba tanyakan langsung pada Mister Bona.” “Yang benar saja kau, Marsha! Mana mungkin aku berani menanyakan hal konyol itu,” ucap Aliska sambil mendesis. “Tapi dari omonganmu ini aku jadi sedikit curiga jika kenyataannya memang seperti itu. Kau tahu tidak kemarin Mas Abi dan Mister Bona berkelahi?” Marsha mengangguk sembari mendekatkan wajahnya pada Aliska. “Of course I know that, meski aku tidak masuk kerja tapi kejadian dramatis kemarin itu jadi ghibah orang sekantor. Bahkan banyak yang iri ketika kau berada di antara dua pria tampan itu.” Aliska tertegun mendengar jawaban dari sang sahabat. Membuat wajahnya menjadi merah padam karena malu. “Sebenarnya aku tak tahu mereka berkelahi karena apa karena ketika kutanya Mas Abi, ia tidak menjawab. Hanya mereka berdua yang tahu.” Marsha menginterupsi Aliska. “Sudahlah, nggak usah dipikirkan lagi! Fokus saja dengan acara pernikahanmu yang tinggal menghitung hari. Kapan hari terakhirmu di sini?” “Hari ini aku terakhir kerja di sini. Aslinya masih kurang dua hari lagi tapi mendadak harus mempercepat proses pengunduran diriku karena sesuatu hal. Aku sudah mendapat izin dari kepala HRD untuk resign hari ini.” Marsha tercengang mendengar ucapan sahabatnya itu. “Apaaa? What the Hell... secepat itu Liska. Mengenai undangan pernikahanmu bagaimana?” Dengan cepat Aliska mengambil setumpuk undangan yang ia bawa dari dalam tas jinjing. Lalu menyodorkannya pada Marsha. Dengan bersungut-sungut, sang sahabat menerima undangan itu. “Ini untukmu. Jangan sampai lupa datang ya!” sahut Aliska sambil tersenyum malu-malu. “Maaf, aku menyebar undangan ini lebih awal. Harusnya masih minggu depan kan? Tapi karena hari ini adalah hari terakhirku bekerja, jadi aku sebar hari ini.” Marsha sibuk menelisik sebuah undangan cantik di tangannya. Bentuk undangan yang simple dan elegan. Meski tanpa adanya foto sepasang calon pengantin mengingat kesibukan kedua mempelai hingga melupakan sesi foto pre-wedding. “Sekitar dua minggu lagi ya? By the way, kenapa tidak ada foto berdua di undangan ini?” tanya gadis berambut pendek itu penasaran. Aliska menghela napas perlahan. “Untuk undangan tidak perlu foto. Secara acara ini mendadak dan mungkin nanti hanya akan ada foto pre-wedding kilat kami untuk ditaruh di acara resepsi.” “Memang kalian belum foto?” tanya Marsha lagi. Aliska menggeleng. “Not yet. Nanti kalau jadwal kami sudah longgar baru foto. Mendekati hari H mungkin.” Pembicaraan kedua gadis itu harus berakhir ketika jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Mereka berdua harus masuk kelas untuk mengajar. Aliska pun segera beranjak dari ruangan pengajar. Sesi mengajar terakhirnya sebelum besok secara mendadak harus banting setir menjadi seorang artis film. Profesi yang tidak disangka-sangka harus ia terima. Hingga sesi mengajar itu pun berakhir, Aliska berpamitan pada seluruh siswa di kelas. Pengalaman mengajar selama dua tahun telah memberinya banyak kenangan. Perpisahan ini membuatnya menitikkan air mata. Tak kuasa menahan cairan bening yang menggenang di pelupuk mata. “Thank you for everything my students. I wish all the best for you. Don’t forget me! I will be missing you all.” Ada salah satu siswi yang langsung membalas ucapan Aliska. “Me too, Mum... I wish for you to be happy and healthy.” Aliska mengakhiri kelas dengan rasa haru. Ia akan merindukan kelas berserta para siswa. Tetapi keputusan untuk mengundurkan diri adalah yang terbaik. Sebentar lagi ia akan menyandang status sebagai istri ketua umum partai yang aktif bersosialisasi dengan masyarakat. Yang akan tergabung menjadi kaum sosialita negeri ini. Setelah mengajar, Aliska berpamitan dengan para pengajar dan staff JEC. Sekaligus menyerahkan bebeapa undangan pernikahan untuk rekan kerjanya. Hingga tersisa satu undangan terakhir milik Bonaventura Walcott. Sengaja menjadikan undangan itu sebagai undangan terakhir dikarenakan sebenarnya ia merasa tidak enak hati untuk bertemu dengan pria itu. Apalagi ditambah dengan cerita Marsha jika ia menaruh hati padanya. Membuat gadis itu jadi semakin kikuk untuk bertatap muka dengan sang pimpinan. Aliska pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Bonaventura. Dengan terpaksa mengatur napas lalu memanggil nama si pemimpin JEC. “Permisi, Mister Bonaventura...” sapa Aliska canggung. “Ya silakan masuk. Duduklah!” sahut Bonaventura yang tampak sibuk dengan notebook di depannya. Meski sesekali mencuri pandang ke arah Aliska. “Saya mau menyerahkan undangan sekaligus... berpamitan.” Aliska berucap dengan sedikit ragu-ragu. Bonaventura terperanjat saat mendengarnya. “Secepat ini? Bukannya masih beberapa hari?” tanya pria itu dengan alis terangkat dan mata membelalak. “Iya Mister, maaf mengagetkan. Karena alasan yang mendesak, saya mengajukan pengunduran diri lebih cepat. Ini undangan pernikahan saya. Jika tidak berhalangan, Anda bisa datang.” Bonaventura menerima undangan pernikahan dari tangan Aliska kemudian membacanya. Mengamati nama pengantin pria itu adalah Abiyasa Airlangga, membuat ia kesal dan mengumpat dalam hati. Sialan! Mengapa harus nama b******n ini yang akan menjadi suamimu? Mengapa bukan aku? “Oke, aku akan datang. Terima kasih undangannya,” ucap Bonaventura seraya menyembunyikan amarah yang memuncak di d**a. Masih tak terima dengan kenyataan bahwa perempuan yang dicintai akan menjadi milik orang lain. Aliska mengangguk kemudian segera berlalu keluar dari ruangan sang pimpinan. Ia keluar seraya menghembuskan napas lega. Setidaknya gadis itu telah melaksanakan apa yang harus ia lakukan yakni berpamitan dan memberikan undangan sesuai janji. Aliska pun bergerak maju meninggalkan kantor yang sudah dianggap sebagai rumah kedua tersebut. Tempat yang nantinya akan ia rindukan. **** Pagi hari yang cerah. Hari ini adalah hari pertama Aliska berangkat ke lokasi syuting di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur atau lebih tepatnya di daerah yang lebih dikenal dengan nama Condet. Sekedar informasi, nama Condet berasal dari nama sebuah anak sungai Ciliwung yaitu Ci Ondet yang terkenal dengan jejak timur tengah di kampung tersebut. Condet sendiri merupakan kampung Betawi yang kental dengan nuansa Arab. Kali ini film Alina yang akan diteruskan oleh Aliska mengambil lokasi syuting di kampung itu. Aliska cepat-cepat menyelesaikan sarapan yang telah disiapkan oleh asisten rumah tangganya. Ketika hendak beranjak dari meja makan, tiba-tiba ponselnya berdering. Terlihat muncul nama Abiyasa Airlangga di layar ponsel. “Halo Mas,” sapa Aliska seraya mendesis. “Liska, hari ini kau kuantar ya? Jadwalku tidak sepadat kemarin. Aku gelisah memikirkan ceritamu kemarin. Demi Alina kau mau mewujudkan mimpinya. Ingin melihat situasi di sana seperti apa.” Abiyasa berkata sambil memegang kemudi mobil. “Aku sudah mau berangkat ini, Mas. Apa tidak merepotkanmu untuk harus mengebut jika mengantarkanku?” tanya Aliska. Abiyasa menggeleng. “Tidak sama sekali karena aku sudah di depan rumahmu.” Mendengar ucapan pria itu, Aliska segera memerhatikan mobil Lexus Luxury SUV milik Abiyasa yang sudah berada di depan rumah. Gadis itu segera menghampiri sang calon suami setelah berpamitan pada Arsen dan Bik Sani. Minus Anwar yang tengah berada di luar kota. “Mas, nggak perlu repot-repot mengantarkan aku seperti ini, aku bisa naik mobil sendiri. Condet kan nggak sampai tiga puluh menit dari sini,” ucap Aliska canggung. “Sama sekali nggak repot kok, Liska. Ayo berangkat sekarang!” ajak Abiyasa sambil membuka pintu mobil untuk gadis itu. Kendaraan yang ditumpangi Abiyasa dan Aliska pun melaju menyusuri jalanan dari selatan kota Jakarta menuju ke arah timur. Melewati Tol Pondok Pinang – TMII yang berakhir pada Jalan TB Simatupang di Cilandak Timur. Sesampainya di Jalan Raya Condet, kedua calon suami istri itu mengedarkan pandangan untuk mencari rumah yang dijadikan sebagai lokasi syuting. Sebuah rumah megah bak istana bergaya Skandinavia dengan kolam renang, taman yang indah, dan material yang mewah yakni marmer Italy. Cukup mudah untuk mencari rumah itu. Abiyasa segera memarkirkan mobilnya kemudian menemani Aliska untuk masuk ke sana. Saat tengah berjalan menuju pintu utama yang di sekitarnya tampak beberapa kru film, tiba-tiba terdengar suara tegas dari pria paruh baya. “Aliska Ibrahim...” panggil Arman Kumar dengan raut muka gembira. Aliska menoleh ke arah panggilan seraya tersenyum. Lantas ia menghampiri sang produser yang tengah berbincang dengan beberapa orang yang salah satunya adalah director dan script writer. “Selamat pagi, Pak Arman!” sahut Aliska sembari mengulurkan tangan pada Arman. Sang produser pun meraih tangan gadis itu untuk memberi salam juga. “Morning Miss, i’m so happy with your arrival right now. Senang sekali akhirnya bisa kerja sama denganmu hari ini.” Arman berkata dengan mata berbinar diikuti dengan senyuman manis Aliska. “With your pleasure, Sir!” balas Aliska. “Oh ya, kenalkan dulu, mereka adalah sutradara dan penulis naskah,” ucap Arman seraya memperkenalkan pria yang memiliki usia hampir sama dengannya yang berdiri di samping kiri dan wanita berusia 35 tahun yang berdiri di samping kanan. “Hai, saya Ahmad Dahlan selaku sutradara. Senang bisa bertemu denganmu.” Sang sutradara menimpali ucapan produser seraya bersalaman dengan Aliska yang tetap mengembangkan senyuman. “Saya Aliska Ibrahim yang akan melanjutkan sisa kontrak Alina.” Wanita berkacamata yang berdiri di samping kanan produser segera memperkenalkan diri. “Pagi Mbak, saya Elia Kenanga sebagai penulis naskah film. Senang berkenalan dengan Anda,” ucap wanita itu sembari menarik sudut bibir. Hingga perkenalan tersebut berlanjut dengan kalimat yang terlontar dari sang produser. “Kalau pria di sebelahmu ini aku sudah kenal. Hai Abiyasa, bagaimana kabarmu?” tanya Arman seraya merangkul akrab Abiyasa. “Alhamdulillah baik, Om. Om Arman bagaimana? Sudah lama tidak bertemu ya kita.” Abiyasa menyahuti sang produser dan tampak seperti sudah kenal lama. “Iya, terakhir kita ketemu saat kau mengantarkan Alina syuting di Bogor kan. Sudah beberapa bulan yang lalu.” Abiyasa mengangguk dan secara tak sengaja berpandangan dengan pria jangkung berwajah timur tengah yang barusan datang. Saat melihat pria itu, ada bayangan masa lalu hadir di benaknya. -Lima bulan yang lalu- “One... two... three... action!” sahut Ahmad Dahlan pada saat pengambilan scene yang mengharuskan para tokoh utama untuk melakukan adegan ranjang di sebuah villa sekitar daerah Bogor. “Hania, takkan kubirkan laki-laki manapun bisa menyentuhmu! Kau adalah milikku sekarang!” sergah pria bernama Emir Alattas yang memerankan tokoh utama sebagai Farzan di film berjudul Pangeran Condet. Pria itu menindih tubuh gadis berparas cantik dengan serangan ciuman panas yang bertubi-tubi di bibir dan lehernya. Membungkam bibir gadis bernama Hania dengan hasrat yang bergelora. Tanpa ampun mencumbu dengan kedua kaki mengunci pinggang si gadis. “J-jangan... jangan lakukan! Jangan lakukan itu!” seru Hania yang pada film itu diperankan oleh Alina Ibrahim seraya mencengkeram sprei dengan ujung jari. Berakting seakan gadis itu menolak untuk direnggut kehormatannya. “Hanya aku yang boleh menyentuhmu!” bentak Emir dengan taut raut muka garang. Ia semakin mempererat pelukan pada gadis menawan itu dengan napas memburu. Adegan panas yang dimainkan kedua artis itu, membuat Abiyasa Airlangga cemburu buta. Ketika tahu jika hari ini terdapat adegan ranjang dengan yang akan dilakukan Alina dan Emir, ia menjadi gelap mata. Membayangkan jika gadis pujaan akan disentuh oleh pria itu, menjadikannya frustasi. Ia segera mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Dengan cepat menekan pedal gas agar segera sampai di Bogor. “Shit...” umpat Abiyasa ketika menyaksikan sang kekasih tengah beradegan mesra dengan lawan mainnya di lokasi syuting. Posisi bercinta di atas ranjang seperti itu membuat amarahnya meledak-ledak hingga pada saat proses syuting terjadi, Abiyasa segera melepaskan pelukan sepasang pemeran film tersebut. “Jangan sentuh calon istriku!” teriak Abiyasa sambil memukuli wajah lawan main Alina di film. Pemukulan yang dilakukan oleh Abiyasa telah mengundang jeritan histeris dari para kru film. Sang sutradara pun segera mengambil tindakan. “Cut!!!” sahut Ahmad Dahlan lantas segera menghampiri mereka berdua. “Cukup, aktor saya jangan dipukuli.” Alina yang shock dengan kedatangan Abiyasa secara mendadak itu, segera menarik tangan kekasihnya. “Mas, ini cuma akting. Kami harus profesional. Tidak melibatkan perasaan kami sendiri.” Abiyasa menatap sang kekasih sambil mengerutkan dahi. “Aku tidak suka itu. Adegan yang terlalu panas dan menantang.” “Iya Mas, maaf... maaf... kami menjalankan hanya sesuai skenario,” ucap Alina lemas. Abiyasa mematung dengan emosi memuncak di d**a. Alina yang tahu kemarahan sang kekasih, tiba-tiba mengajak pria itu untuk segera pulang. Ia meminta waktu sang sutradara untuk melanjutkan adegan berikutnya keesokan hari saja. Berniat menenangkan hati dan pikiran calon suami agar dapat mengerti akan tugasnya sebagai seorang artis. Bayangan mengenai masa lalu itu, berakhir ketika Aliska menepuk bahu Abiyasa. “Mas, apa kamu nggak pulang saja? Sebentar lagi aku mau reading skenario.” Aliska bertanya sembari memegang skenario yang telah diberikan Elia Kenanga padanya. “Sebelum aku pulang, boleh aku baca skenarionya sebentar?” tanya Abiyasa dengan tatapan memohon. Aliska mengangguk sambil menyerahkan naskah yang ia pegang. “Ini, bacalah!” Abiyasa meraih skenario itu dan segera menelisik naskah di tangannya. Mencari-mencari apakah akan ada adegan mesra lagi seperti yang ia bayangkan tadi. Pria itu membaca dengan mata menyipit. Tampak kecemasan jika kejadian yang lalu itu terulang kembali. Karena tak menemukan ada adegan yang mengharuskan kedua tokoh utama untuk beradegan mesra, Abiyasa segera mengembalikan skenario itu pada Aliska. “Baiklah, aku tinggal dulu ya, Liska! Nanti saat kau sudah selesai syuting, kabari aku! Nanti aku atau Pak Agung yang akan menjemputmu.” “Iya Mas, hati-hati di jalan ya!” sahut Aliska seraya melambaikan tangan. Abiyasa membalas lambaian tangan sang calon istri kemudian bergerak maju meninggalkan lokasi syuting. Berjalan melewati tempat Emir Alattas berada. Mereka hanya bertatapan mata sejenak tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Masih merasa sakit hati atas perlakuan pria itu pada mantan kekasihnya meski itu hanya akting semata. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD