Cincin Pengikat Hati [Riska]

856 Words
Riska namaku. Sering dipanggil Ika oleh orang terdekat, dan itu berlaku juga bagi pria yang saat ini tengah duduk dihadapan kedua orang tuanya. Awalnya merasa terkejut dengan kedatangan pria itu, tapi untuk menyembunyikan itu semua, aku berpura-pura santai dan tak menganggap kehadiran pria itu sebagai sesuatu yang mengejutkan. Tapi topeng ke pura-puraan itu berakhir, saat satu kalimat menerjang gendang telinga ku. Kalimat yang sering ia nantikan, dan telah terucap oleh sesosok dokter yang selalu menghiasi hari-hariku. "Saya gak bisa dok." tolakku. Dia menatapku dengan sorot mata tajam, solah tatapan itu bisa mengintimidasi ku, namun nyatanya gagal. Aku sama sekali tak takut akan tatapan mata itu, rasanya seperti sudah terbiasa dan sama sekali tak merasa heran. "Tapi niat nak Farhan itu baik loh Ika. Datang ke sini mau melamar kamu, coba dipikirkan lagi." Aku menatap papa dan mama ku secara bergantian. Ada harapan besar dimata keduanya tentang lamaran dokter Farhan. Tapi, aku sama sekali tak mencintainya lalu haruskah aku menerima lamaran itu? "Ika gak cinta sama dokter Farhan pa, ma. Lagi pula Ika mau kejar cita-cita sebelum memulai bahtera rumah tangga. Dan Ika rasa, Ika juga belum siap kalau karya menikah di waktu yang dekat." tolakku. "Saya gak minta nikah diwaktu yang dekat. Saya hanya ingin minta persetujuan kamu akan lamaran saya." Aku tersenyum kecil, nyaris tak terlihat sama sekali. "Sebenarnya apa niatan dokter melamar saya dihadapan kedua orang tau saya?" "Bahkan selama saya dan dokter disatu rumah sakit setiap harinya, bukankah kita seperti orang asing. Dan aneh aja kalau tiba-tiba dokter melamar saya untuk dijadikan istri dokter." lanjut ku. Dokter Farhan mengembuskan napas panjang, dia menyugar rambutnya dan menatap ku intens. Aku diam, aku juga membalas tatapan matanya. Aku benar-benar ragu dengan pria dihadapan ku ini. Tapi, melihat kedua orang tua ku bahagia akan lamaran ini, aku bisa apa? Menolak? Tentu saja aku bisa lakukan itu. Tapi bukankah orang tua ku akan bersedih setelahnya. Bagaimana pun juga, orang tua pasti ingin anak perempuannya mendapatkan sosok imam yang baik dan juga bisa menuntun di jalan yang benar. "Ika, coba dipikir-pikir dulu. Gak baik nolak lamaran orang, sama aja nolak jodoh itu namanya." bisik mama. Mama ku menggenggam erat kedua tangan ku. Aku bisa rasakan kehangatan yang menjalar dari telapak tangannya. "Saya butuh waktu 1 bulan dok. Saya sangat ragu untuk nerima dokter saat ini. Mungkin nanti jika adanya tenggang waktu, saya bisa meyakinkan diri dan menerima lamaran dokter." putus ku. Aku melihat kedua orang tua ku yang tersenyum bahagia. Aku tahu mereka menginginkan sosok imam untuk anak perempuannya. Dan untuk dokter Farhan, entah kenapa aku merasa aneh dengan niatan lamarannya. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan, dan itu terlihat dari matanya saat mengutarakan niat melamar ku. Matanya bergerak tak karuan, dan aku memperhatikan dia sejak tadi. Mungkin papa tak sadar, tapi aku sadar kalau dokter Farhan sama sekali tak menatap mata papa, seperti tak serius akan ucapan dan niatnya. Tapi aku tak mau berburuk sangka, siapa tahu itu hanya pikiran ku saja. Dan aku juga tak boleh menuduh dokter Farhan yang enggak-enggak. Mungkin, hanya perasaanku saja. "Saya akan pikirkan lamaran dokter. Setelah satu bulan akan saya beri jawaban." "Syukurlah kalau begitu. Saya tunggu jawaban kamu, insyaallah saya akan kembali datang ke mari dengan kedua orang tua saya." ucapnya. Aku mengangguk, melihat papa dan mama bahagia itulah tujuan hidupku. Mungkin dengan ini aku bisa membahagiakanmu mereka berdua. Lagi pula permintaan mereka tak aneh-aneh kan, hanya ingin anak perempuannya menikah dengan pria baik-baik. Dan mungkin dokter Farhan adalah pria baik, menurut mereka berdua. "Kalau begitu saya pamit pulang. Masih ada banyak urusan yang harus saya selesaikan." "Ah, baiklah nak Farhan. Sampaikan salam kami untuk orang tua nak Farhan, kami akan menunggu kedatangan mereka." ucap papa. Aku masih diam, tak ada niatan mengantar sampai didepan pintu. Biarlah papa dan mama yang melakukan itu. Perasaan ku masih bimbang, dan sedikit--entahlah Aku melirik kotak beludru berwarna biru tua, diatas meja. Itu adalah pemberian dokter Farhan setelah mengutarakan niatnya datang ke mari. Aku bahkan belum menjawab iya, tapi dia sudah memberikan cincin, yang katanya sebagai tanda mengikat dua manusia untuk menjalin hubungan yang lebih serius. "Ika, kamu kok diam aja sih. Kalau kamu gak mau, ya gapapa ditolak. Papa sama mama gak keberatan kok, justru kita mau kamu bahagia dengan pilihan kamu sendiri." Aku menatap kedua orang tua ku. Bangkit dari duduk dan mendekati mereka. "Insyaallah Ika bisa menerima dokter Farhan. Hanya butuh waktu aja kok ma. Papa sama mama tenang aja, Ika pasti bahagia." "Syukurlah kalau gitu. Tapi kamu gak terpaksa kan?" "Enggak pa, Ika sama sekali gak terpaksa kok." jawab ku. Kedua orang tua ku tersenyum, dan aku ikut tersenyum melihat kebahagiaannya. Sekarang, aku hanya perlu waktu untuk meyakinkan diri dan hati akan permintaan dokter Farhan. Masalah keraguan, harus aku hilangkan. Dan untuk masalah cinta atau tidak, harus diusahakan. "Kalau gitu, papa sama mama masuk dulu." Aku mengangguk, dan kembali berkutat pada pemikiran dan juga hati. Insyaallah, dibalik niat baik dokter Farhan tak ada maksud yang tersembunyi. Dan sekiranya setelah aku benar-benar yakin, akan aku beri jawaban atas niatnya untuk menjadikan ku istri dan wanita satu-satunya di kehidupannya. Ya, setelah aku yakin. Dan aku akan berusaha untuk segera yakin lada dokter Farhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD