Bahasa Rindu [Dina]

836 Words
Semilir angin membuat helaian rambut perempuan cantik itu terhempas. Tangannya yang lembut terulur untuk menyelipkan rambut, ke belakang telinga. Tatapan matanya sayu, seakan menyiratkan kesedihan didalam sana. Entah apa yang sedang dia rasakan, auranya begitu terlihat menyedihkan. "Dina." Sapaan dari samping membuat perempuan bernama Dina itu menoleh. Memusatkan perhatian pada seorang pria baya, yang berdiri didepannya. "Papa. Ada apa?" "Besok kita akan kembali ke Indonesia. Rupanya putri papa ini merindukan seseorang yang ada disana. Benar?" Perempuan bernama Dina itu tersenyum malu-malu. Siratan kesedihan sudah tak lagi tampak di wajahnya. Hanya ada binar bahagia dan harapan yang terpancar dari kedua bola mata hazel tersebut. "Jangan kembali ke Indonesia dulu. Nanti siapa yang menemani mama disini?" Ayah dan anak itu kompak melihat ke sumber suara. Tersenyum manis untuk wanita baya yang tengah berjalan kearah mereka. "Mama ikut saja ke Indonesia." ucap Dina. Sang ibu menggeleng kecil, "Bagaimana mama bisa ikut ke sana, kalau disini saja ada nenek yang harus mama rawat. Nenek sudah tak punya siapa-siapa lagi selain mama sayang." Senyum Dina surut. Lima tahun tinggal di negara orang, lima tahun juga dia meninggalkan pria yang dicintainya. Tiga tahun untuk menjalani pengobatan, dua tahu masa pemulihan. "Dina jadi bimbang kalau mau pulang ke Indonesia. Lagian, mama pasti disini sendirian." "Papa bisa pulang seminggu sekali Dina. Kamu jangan khawatir." ucap sang ayah. Dina menggeleng kecil, "Pa, bagaimana kalau menetap di sini lebih lama lagi. Sekiranya sampai nenek bisa diajak ke Indonesia. Bagaimana?" tanya Dina. Perempuan itu berharap sang ayah menyetujui usualan nya. Ya Meksipun dirinya harus memendam rindu lebih lama lagi. "Kamu serius? Paling tidak, jika tetap menetap disini membutuhkan waktu sekitar satu tahun sampai dua tahun sayang. Kamu harus serius sama ucapan kamu. Apa kamu tak rindu dengan dia?" Dina sekali lagi menggeleng dengan ucapan Joana, mama nya. "Rindu itu memang mama. Tapi dia juga sudah berjanji akan tetap setia selama Dina disini. Jadi tak ada yang perlu ditakutkan, semua akan baik-baik saja." Meskipun dalam hati Dina, tak baik-baik saja. Ada perasaan takut yang tak bisa dijabarkan dan didefinisikan. Intinya, rasa dihatinya seakan abstrak dan sulit untuk diterjemahkan. "Kalau gitu, papa undur keberangkatan kita. Nanti malam kalau tak lupa, papa akan hubungi dia dan menanyakan kabarnya." Dina tersenyum, sangat manis sekali. "Terima kasih pa. Besok aku tunggu kabar tentang dia." Senyumnya yang manis, seakan seperti virus yang langsung menular ke kedua orang tuanya. Mereka bahagia melihat putri satu-satunya bisa tersenyum bahagia hanya karena nama seseorang. "Kalau gitu, papa mau kedalam dulu. Kamu disini dengan mama kamu dulu." Dina mengangguk, membiarkan Delwyn sang papa pergi meninggalkan mereka. Hanya tinggal Joana dan Dina disini. "Sayang, boleh mama tanya sesuatu mengenai keluarga pria itu?" Dina mengangguk dan mengajak sang mama untuk duduk di kursi panjang bercorak klasik. Mereka duduk menatap hamparan rumput hijau dihalaman rumah. Semilir angin masih berhembus kencang menerpa kulit. "Jujur, Dina belum bertemu dengan keluarganya. Dan dari ceritanya, papa nya itu blesteran Indonesia Belanda. Sedangkan mama nya, Indonesia Latvia.  Sempat Dina melihat foto kedua orang tuanya, tapi Dina lupa ma." jelas perempuan itu. Joana tersenyum kecil,  seakan merasa bersalah dengan Dina. "Maaf ya, kalau dulu mama dan papa tak bisa membiayai pengobatan kamu sejak kamu kecil. Kamu mungkin tak akan seperti ini sekarang." Ya, Dina. Lebih tepatnya Daina Van Delwyn. Perempuan cantik keturunan Belanda, putri semata wayang dari Van Delwyn dan Joana Van Delwyn. Dulu, Delwyn dan Joana hidup susah saat Dina berusia 7 bulan. Apalagi dengan kondisinya yang penyakitan, membuat kedua orang tuanya bingung harus melakukan pengobatan seperti apa lagi. Saat itu, mereka benar-benar tak punya apa-apa. Jangankan untuk membiayai pengobatan Dina, untuk makan sehari-hari pun mereka kesusahan. Tapi setahun berlalu, Delwyn dan keluarga meninggalkan negara kelahiran dan kembali membangun hidup di negara orang. Sampai usia Dina menginjak 18 tahun, Delwyn bisa mendirikan perusahaan besar yang berkembang di negara-negara maju saat ini. Di usia Dina yang ke 19 tahun. Pertemuannya dengan pria asal Indonesia membuahkan ikatan sakral yang sampai saat ini mengikat keduanya. Meskipun mereka berbeda negara, status mereka diakui sebagai sepasang suami istri oleh negara setempat. Dan Dina, perempuan itu belum bisa menginjakkan kaki di Indonesia karena harus menjalani pengobatan di sini. Kelainan jantung, itu yang dideritanya. Dan nama Dina, didapat dari pria yang sampai saat ini bersemayam indah didalam hatinya. "Ma, kira-kira disana dia sedang apa ya ma? Dina mau telpon, tapi takut mengganggu waktunya." Joana menatap putrinya, ini salah satu sifat putrinya, selalu takut jika mengganggu waktu orang lain. "Kalau begitu, biar papa saja yang menghubungi dia. Kamu tinggal tunggu kabar dari papa. Lagipula dia pasti bahagia kalau mendengar kabar, bahwa kamu sudah selesai masa pemulihan." Dina mengangguk, pikirannya berkelana membayangkan pertemuannya dengan sosok yang selama ini sering dimimpikannya. Siapa lagi jika bukan pria Indonesia, yang sudah resmi menjadi suaminya lima tahun lalu. Iya, lima tahun lalu. Saat pria itu berlibur ke New York dan bertemu Daina. Perempuan yang bisa membuatnya jatuh cinta dipandangan pertama. "Mama yakin, dia disana pasti merindukan kamu. Dina nya." Dina hanya bisa tersenyum, meskipun dalam hati ada rasa takut yang tak beralasan. Ya, pria itu pasti merindukan Dina nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD