2

1154 Words
Jam menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh menit ketika Nayla sampai di rumah. Bangunan tingkat dua bercat kuning dan putih dengan sepetak halaman. Di sana tak ada satu orang pun yang menemani Nayla, ia sendirian. Kedua orangtuanya memilih menetap di Surabaya. Jadilah, Nayla mengurus rumah yang ada di Jakarta seorang diri. Terkadang Bibi Sukimah—wanita yang bekerja pada Nayla—datang sehari satu kali hanya untuk membersihkan rumah dan memasak. Sialnya Nayla jarang mencicipi masakan wanita berumur lima puluh enam tahun itu. Yah, tak usah disebut oknum yang menyebabkan Nayla sengsara. Setelah memasukkan mobil ke garasi, Nayla meletakkan tas secara serampangan ke atas sofa di ruang tamu. Ia bergegas menuju dapur dan menyalakan kompor. Nayla mulai menjerang air untuk teh. Di atas meja makan, Bibi Sukimah telah menutup piring-piring berisi lauk-pauk dan sayur. Jika dipikir-pikir, kehidupan Nayla tak terlalu menyenangkan. Di usianya yang kini tak muda lagi … masa bodoh! Bagi Nayla dua puluh delapan itu adalah usia yang tak lagi menjamin seorang wanita akan mendapatkan debar-debar romansa picisan. Semua wanita yang lebih mujur dari Nayla, mereka bisa dengan mudah menanggalkan mahkota lajang milik mereka. Nayla, oh Nayla. Ia terlalu sibuk berlari ke sana dan kemari, mengejar aneka manusia, duduk di kursi panas sembari menatap monitor, tenggelam dalam lagu Korea yang sesungguhnya ia pun sama sekali tak mengerti bahasa yang tengah dinyanyikan. Kesimpulan: Nayla tengah mengalami penyakit jomblo akut. Ia mungkin sudah masuk ke stadium empat.  Mematikan kompor, Nayla mengambil cangkir dan mulai menuang gula, air panas, lalu yang terakhir: teh celup. Cukup lama Nayla menatap ke genangan air yang ada di dalam cangkir—awalnya bening, lalu kemudian berubah menjadi kecokelatan. Aroma melati menguar di udara, membuat Nayla merasa tenang untuk sejenak. Sebagai seorang wanita, Nayla sadar diri bahwa ia tak masuk kategori cantik dan seksi. Terbukti saat ia SMA; Nayla naksir kakak kelasnya, pemuda itu bahkan tak pernah melirik satu kali pun ke arah Nayla. Pada akhirnya pemuda sialan itu memilih Mei, teman sebangku Nayla. Hanya ada satu kata yang bisa mewakili perasaan Nayla pada saat itu: sakitttt! Mengembuskan napas, Nayla mencoba mengusir masa lalu sepahit obat itu dari benaknya.  Meraih cangkir kopi, Nayla meneguk cairan hangat tersebut. Sepi.  Akankah Nayla menghabiskan waktunya dengan kesendirian? Mia telah meninggalkan, oke koreksi, memulai kehidupan baru bersama suaminya. Tak mungkin Nayla berani meneleponnya dan mengganggu kegiatan apa pun yang akan dilakukan oleh pasangan itu. Adapun yang akan dilakukan Mia jika Nayla ngotot mengganggu ialah; satu, meneriaki Nayla dengan volume setingkat jerit tengah malam. Dua, menganggap Nayla perlu berkunjung ke dokter jiwa terdekat. Tiga, Mia mungkin hanya akan berkata, “Yang sabar ya, Nay.” Oh, khusus yang terakhir, Nayla tak mungkin senang dengan kalimat penghibur kacangan itu. Di drama televisi, semua orang seolah mudah sekali menemukan tambatan hatinya. Hujan, tak sengaja kedua mata bersitatap, bertubrukan, lalu beberapa bulan kemudian lonceng pernikahan berdentang. Hal semacam itu hanya ada di dunia literasi. Hukum dunia nyata menyatakan bahwa tak semua orang seberuntung Belle dan Cinderella.  Hingga bunyi ponsel Nayla mengalihkan perhatiannya. Meletakkan cangkir di atas meja, Nayla mencoba meraih ponsel yang terselip di saku celananya. Di layar ponsel, Nayla bisa melihat pesan WA. Mia: Bagaimana kabar kalian? Aku kangen. Nayla: Membosankan. Miranda: Biasa-biasa saja. Mia: Mampirlah ke rumah.  Miranda: Males. Nayla: Nggak pengin ganggu. Miranda: Kecuali ada surat kenaikan gaji. Nayla: Nda, uangmu kan ada banyak. Nayla: Miranda kan piara tuyul. Miranda: Tuyul-tuyulku seksi, loh. Minat? Mia: Sehat, Nda? Nayla: Sesat! Percakapan via WA berakhir, Nayla meletakkan ponsel ke atas meja. Duduk, ia merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Entah untuk berapa lama ia mampu bertahan sebelum beban itu meledak. Yah, mungkin lebih baik Nayla meledak di dekat Rei agar pria tambun itu sirna dari muka bumi.  Heran, musuh Nayla akhir-akhir ini semakin bertambah. Haruskah Nayla melakukan pembersihan? Kembali, ponsel Nayla berbunyi. “Ya, Pak Toni ada ap—” Belum sempat Nayla menyelesaikan kalimatnya, orang di seberang sambungan memotong, “Nayla, sudah saya bilang, artikelmu kurang padat.” Demi Zeus, sudilah kiranya dewa itu mengirim petir ke tempat Toni.  “Pak, artikel saya sudah di-ACC Edi. Katanya di—” “Saya tidak peduli,” tegas Toni. “Kalau kamu nggak niat kerja, pintu keluar terbuka lebar.” Menelan ludah, pahamlah Nayla arti ancaman tersebut. “Maaf,” katanya dengan suara bergetar.  Terdengar helaan napas di ujung telepon. “Oke, besok saya minta artikel yang sudah direvisi.” Pembicaraan terhenti. Tangan Nayla bergetar. Ponsel pun meluncur dan membentur permukaan meja. Nayla menyentuh d**a. “Ya Tuhan,” rintihnya, “selamatkan hamba!” *** Paginya Nayla menghadapi Toni dengan kantong mata hitam bak panda. Lelaki itu bahkan tak menanyakan keadaan Nayla—tidak peduli. Jemari Toni sibuk menyibak satu demi satu lembar kertas yang Nayla serahkan padanya. Duduk berhadapan, Nayla menahan diri untuk tidak melempar aneka buku manajemen yang tertanam di rak yang ada di belakang Toni. Ingin rasanya Nayla mencengkeram kerah kemeja Toni, menariknya dengan kasar, lalu Nayla akan memastikan otot-otot yang tersembunyi di balik pakaian itu memang benar adanya dan bukan sekedar ilusi Nayla. Oh, tunggu sebentar?  Menarik dan memastikan … apakah Nayla sudah gila? Toni merupakan manusia yang tercipta dari batu dan besi, keras. Pria itu bahkan tak pernah menyapa karyawan yang ada di Intermezzo. Lalu kini, kenapa Nayla mulai berfantasi liar mengenai Toni?  Hmm, ini jelas dikarenakan pengaruh kurang tidur. Diam-diam, Nayla memperhatikan Toni. Bibir tipisnya yang menggoda. Rambut hitam yang tersisir rapi. Kemeja ketat yang menonjolkan lekukan tubuh. Kacamata bertangkai hitam.  Setop, kata Nayla pada dirinya sendiri, ini tidak benar. Oh, ini benar.  Benar-benar gila! “Oke,” kata Toni mengaburkan lamunan m***m Nayla. “Meski kurang bagus, ini sudah layak cetak.” Terima kasih kembali. Hilangkan kata seksi, pria ini jelas-jelas minta digampar. Apa susahnya mengucapkan kata terima kasih? Itu hanya terdiri dari dua kata. Dua kata yang indah. Mengangguk, Nayla meraih lembaran kertas dari tangan Toni. Saat Nayla hendak bangkit, Toni berkata, “Apa kamu sakit?” Demi dewi kebijaksanaan, apakah Toni baru saja mengkhawatirkan keadaan Nayla? “Saya tidak ingin ketelodoranmu dalam menjaga kondisi tubuh mempengaruhi kinerja.” Pupus. Tentu saja, siapa yang peduli pada kesehatan Nayla kecuali orangtuanya.  Tersenyum kecut, Nayla hanya membalas, “Terima kasih.” *** Nayla mengempaskan diri ke kursi dan mulai menghadapi layar monitor. Ia sungguh ingin menggampar Toni menggunakan tas Hermes. Tega nian manusia satu itu. Jelas-jelas Nayla terlihat seperti zombie karena harus memenuhi kehendak Toni untuk menyempurnakan pekerjaan. Sial, Nayla merasa sangat tidak beruntung. “Ini.” Mendongak, Nayla mendapati Rei menawarkan sebungkus cokelat. Tak mengerti, Nayla hanya mengeryit memandang Rei. “Mukamu kelihatan seperti kuntilanak,” kata Rei. “Kamu belum sarapan, kan?” Mengangguk, Nayla menerima cokelat tersebut dan mengucapkan terima kasih. Rei pun kembali ke kubikel-nya. Di luar dugaan, Rei si sinis itu bahkan memiliki hati peri. Mungkin seharusnya Toni belajar dari Rei; saling menghargai, kurangi ucapan pedas pemicu serangan jantung, dan sesekali tersenyum. Kata orang, senyum merupakan ibadah.  Namun hal itu tak akan terjadi. Toni? Tersenyum? Horor.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD