3

1393 Words
Sunyi. Langit sempurna dipulas warna hitam dengan bercak-bercak bintang. Berdiri di depan pintu, Toni merasa kehampaan yang sama kembali menyapanya. Kebanyakan orang hanya melihat kulit luar Toni saja. Toni si tuan sempurna. Toni yang selalu mencari kesalahan orang lain. Toni yang tidak mau tahu dengan masalah orang lain. Toni si penjaga pintu neraka yang tak segan menjatuhkan hukuman kepada setiap manusia yang berani melanggar peraturan. Toni yang…. Ah, sudahlah. Toni terlalu lelah untuk memedulikan sindiran yang ditujukan padanya. Setiap orang bebas mengomentari Toni dan ia merasa tidak perlu mengonfirmasi tuduhan yang diarahkan orang sekitar. Jemari Toni menggenggam erat tas kerjanya. Ia ragu, haruskah mengetuk pintu dan mengucapkan salam? Toni hanya takut berjumpa wanita yang ada di dalam sana. Sosok yang selama ini berjuang mati-matian menyekolahkan Toni hingga ke negeri asing. Manusia yang akan berada di sisi Toni ketika semua orang berpaling darinya.  Getir, Toni hanya diam memandang daun pintu yang ada di hadapannya.  Pada akhirnya Toni memutuskan untuk mengetuk pintu. Tak lama kemudian suara halus seorang wanita menyahut panggilan Toni. Terdengar suara gerendel pintu yang ditarik. Daun pintu terbuka dan Toni bisa melihat wajah wanita paruh baya yang menyapanya, “Nak, syukurlah. Masuk. Di luar dingin sekali.” Toni tidak membalas. Pria itu patuh mengikuti arahan Catur, ibu kandungnya. “Kenapa kamu harus pulang selarut ini?” tanya Catur. Wanita itu segera menutup dan mengunci pintu. “Mama cemas. Kamu sudah makan? Mau Mama buatkan roti panggang?” Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh Catur, namun Toni tak menyahut satu pun dari pertanyaan tersebut. Dia memilih meletakkan tas kerja di meja, lalu merebahkan diri di sofa. Saat melirik sekitar, Toni tak menemukan keberadaan Catur. Ah, kiranya wanita itu langsung ke dapur, tebak Toni.  Toni melonggarkan ikatan dasi. Sadarlah Toni pada tumpukan album foto yang ada di atas meja. Menunduk, Toni memperhatikan salah satu foto. Seorang lelaki tengah memeluk wanita berambut pendek. Mereka berdua tersenyum ke arah kamera. Dari cara mereka—pasangan dalam foto—berpakaian, jelas gambar ini diambil sekitar tahun delapan puluhan.  Rasa panas kembali menjalar, Toni merasa sesak. Setelah sekian tahun Catur tak kunjung mampu melupakan pria yang telah mengabaikan putra dan istrinya demi wanita lain. Ingin rasanya Toni membakar segala memori mengenai pria tersebut. Jangankan mengingat, menyebut nama sang ayah pun Toni tak sudi. “Nak, Mama buatkan teh s**u….” Hening. Catur menatap pias Toni yang tengah memandang foto-foto. “Ma,” kata Toni. Ia masih memakukan diri pada kumpulan foto. “Kenapa?” “Nak, itu….” Catur tak mampu menyelesaikan ucapannya. Toni bangkit dan berkata, “Lelaki itu bahkan tak peduli denganku. Dia membuangku, membuangmu, membuang kita. Ma, untuk apa memikirkan orang yang bahkan tak rela memperjuangkan keluarganya? Cukup sudah. Berhentilah menyakiti dirimu, Ma.” “Antoni,” ujar Catur. Bibirnya bergetar, tampak kedua matanya mulai disaput genangan air mata. “Aku tidak bisa.” “Ma, jangan seperti ini.” Menggeleng, Catur bersikeras, “Kamu tidak bisa memaksa orang lain agar sejalan denganmu. Antoni, Mama masih cinta dengan papamu.” “Dia bukan papaku,” desis Toni. “Tidak sekarang. Tidak untuk selamanya.” “Kamu tidak akan pernah bisa mengabaikan ikatan darah yang mengalir di bawah kulitmu.” “Katakan itu padanya!” teriak Toni. Napasnya mulai memburu. “Katakan itu sebelum lelaki yang Mama sebut sebagai suami itu memilih untuk meninggalkan keluarganya demi wanita lain yang lebih kaya.” “Oh, Antoni….” Mengabaikan Catur, Toni memilih pergi meninggalkan Catur. Toni segera menyambar tas dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Terdengar suara debum saat Toni membanting pintu. Dia melempar tas secara serampangan dan terduduk layu di atas lantai.  Membenamkan wajah di antara kedua lutut, Toni pun berpikir; kenapa Catur masih saja percaya pada lelaki yang tak pantas dinikahinya tersebut. Sampai kapan pun Toni tak akan rela memaafkan pria itu. Tidak akan pernah. *** Di tengah rapat Nayla mati-matian menahan dorongan untuk menguap. Dua hari ia kurang tidur. Bahkan pola makan Nayla pun tampaknya perlu diperbaiki jika dia tak ingin mengidap penyakit berbahaya. Lampu diredupkan dan cahaya hanya berasal dari proyektor yang kini diarahkan ke sebuah papan. Di depan karyawan Intermezzo, Toni terlihat luar biasa cemerlang dan sangat lancar menjelaskan materi proyek untuk pojok life style. Rafael, sang bos besar tampak memperhatikan presentasi Toni. Satu per satu bagan power point memperlihatkan sejumlah gambar dan lingkaran mengenai persentasi keuntungan Intermezzo. “Jadi,” lanjut Toni, “kali ini kita perlu merubah konsep wanita yang sering digambarkan di Intermezzo. Kita perlu memberikan sesuatu yang tidak biasa. Randi yang bertanggung jawab mengurus topik yang akan kita pilih nanti.” Bla, bla, dan bla. Demi Artemis, Nayla bahkan tak bisa memfokuskan pikirannya. Adapun yang bisa ia lakukan adalah memasang wajah sok memperhatikan agar tidak menyinggung perasaan sang pendeta agung. Bicara memang mudah, namun yang akan bersusah ria di akhir nanti sudah pasti Nayla.  Kesal, ingin rasanya Nayla berteriak dan meloncat-loncat di atas meja laiknya monyet kesetanan. Lalu, ia akan dengan senang hati melempar Toni dengan sepatu bertumit tinggi. Lima belas senti, mantap. Imajinasi Nayla terhenti ketika ular-ular dalam perutnya mulai mendesis. Oh, rintih Nayla dalam hati, semangkuk mie ayam sepertinya sangat oke. Nayla merasa ada seseorang yang menusuk pingganya. Melirik ke samping, ternyata itu Miranda dengan bolpoin ajaibnya. Andai bolpoin itu bisa mengusir Toni ke padang pasir.  Miranda menunjuk kertas yang ada di dekat Nayla. Menunduk, Nayla membaca; Tuh naga nggak bisa dibungkam, ya? Miranda pun menambahkan emoticon wajah yang tengah menjulurkan lidah di dalam pesan. Menghela napas, Nayla membalas; Bodo! Rapat terus berlanjut. Toni mulai meminta pendapat sebagian orang. Tentu saja sebagian orang yang tidak dimintai pendapat itu adalah Nayla. Mungkin Toni menganggap Nayla tak memiliki ide bagus untuk disumbangkan.  Tidak masalah, Nayla tidak tersinggung. Tampak Edi, editor yang sering membantu pengerjaan artikel, garis miring, menambah derita sebagian penulis di Intermezzo, mulai mengajukan pendapat. Toni mengangguk dan menanyakan pendapat Rafael.  Nayla dan Miranda mengerang dalam hati. Mereka hanya ingin pergi keluar dan mendapatkan oksigen. Setelah bermenit-menit yang penuh siksaan, jauh lebih memedihkan daripada rajaman raja Babylonia, akhirnya rapat pun ditutup. Nayla menghela napas, lega. *** Nayla dan Miranda memutuskan untuk mencari makan di salah satu restoran yang ada di mal dekat kantor. Mereka berdua langsung memesan makanan berat dan dua es teh lemon. Tampaknya mereka berdua tidak peduli dengan timbunan lemak dan sebagainya. Ingin tahu resep menurunkan berat badan? Nayla akan menjawab, “Satu bulan kerja bersama Toni. Dijamin, lemak akan lenyap dan Anda mendapatkan tambahan beban hidup. Selamat!” “Aku kira,” keluh Nayla. Dia mulai mengaduk nasi sebelum menyuapkan makanan tersebut ke mulutnya. “Aku akan mati.” “Yeah,” sahut Miranda, lemas. “Hades mungkin butuh tambahan kuota jiwa kegelapan.” “Ngeselin. Toni tuh … uhk, kemarin aku harus begadang gara-gara artikel yang katanya nggak seberapa. Nggak seberapa, Nda? Kamu pasti pengin gebuk mulutnya pakai sepatu.” Mengangguk, Miranda menambahkan, “Sianida. Taburin di kopinya.” “Itu kalau mempan.” “Nay, coba kamu pacarin si Toni. Siapa tahu dia berubah jadi lurus dan kembali ke jalan kebenaran.” “Njir, ogah.” “Aku mau aja ngerayu si Toni,” kilah Miranda. Ia mulai menyesap es teh lemonnya. “Tapi, dia nggak bernafsu denganku. Tampaknya aku yang aduhai ini nggak masuk kriterianya. Aduh, sayang sekali. Aku tak bisa menyelamatkan kalian.” Kedua alis Nayla beradu. “Terus? Nda, mana bisa aku menggoda pria? Kamu tahu sendiri kehidupan cintaku.” Miranda memandang kelu. “Maksudmu mahluk fiktif yang berseliweran di kubikel-mu?” “Mereka nyata,” tepis Nayla, tidak terima. “Kamu aja yang nggak bisa memahami pesona pria Korea.” “Oke, oke.” “Pokoknya aku nggak mau. Mana bisa aku kedip genit dan minta Toni, ‘Hei, terkam aku dong, Say.’ Idih, menakutkan.” “Wah, itu boleh juga. Nanti aku carikan kostum kelinci nakal.” “Miranda!” “Apa sih? Nay, aku kasih tahu, ya? Sepertinya Toni rada … emmm tertarik denganmu.” “Tertarik membunuhku.” “Tertarik menyeretmu ke ranjang, puas?” Sontak, Nayla merasa bayangan dirinya yang diterkam Toni terlihat … biarkan itu menjadi dilemma Nayla. “Nda, apa kamu pengin aku ke alam mahluk halus?” “Aku kan nggak nyuruh kamu bunuh diri.” “Nda, aku nggak mau.” “Nggak mau nolak,” lanjut Miranda. “Percaya deh, Toni tertarik padamu dengan cara yang tak bisa dijabarkan.” Kesal, Nayla menggeram, “Iblis!”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD