4

1028 Words
Sibuk. Sibuk. Sibuk.  Nayla harus mengucapkan rasa terima kasih kepada Toni dan kawan-kawan yang telah mengajukan ide cerdas mengenai sisi liar seorang pria yang didambakan wanita. Nayla bahkan hampir bersujud syukur kala ia mengetahui model yang akan bekerjasama dengan Intermezzo. James. Oh, tentu saja Intermezzo tak akan ragu mengajak model setaraf James. Tampan, kharismatik, pandai menempatkan diri, dan … James memiliki segala yang wanita harapkan dari seorang pria. Walau lelah, setidaknya Nayla bisa menikmati James yang sibuk berpose di depan kamera. Nah, ini baru pria seksi idaman Nayla setelah Luke Evans. Andai Nayla berkesempatan mendapatkan tanda tangan pria itu. Nayla berencana akan menyimpannya di pigura; menempelkannya di dinding dan memberikan sesajen khusus agar dewa dan dewi tak berani mengambil harta Nayla yang paling berharga itu.  Oh, demi Artemis dan panah saktinya, mengapa Nayla tak kunjung mendapatkan pasangan sepanas James? Tak bisakah Cupid berbaik hati meminjamkan satu anak panahnya agar Nayla bisa menusukkan anak panah tersebut tepat di jantung James? Atau pria yang lain? “Nay, kamu niat nolongin aku atau mau mendalami wajah model itu?” tanya Miranda, kesal. Sindiran Miranda berhasil mengembalikan, garis miring, melenyapkan lamunan Nayla yang sesat. Saat semua orang sibuk mengerjakan ini dan itu, Nayla dan Miranda malah mendapatkan tugas menggulung kabel. Sungguh tugas yang tidak indah. Mana mungkin James akan terpikat pada wanita yang sibuk menarik ulur kabel?  “Nda,” keluh Nayla, “aku kan cuma lihat doang. Mana ada aturan yang menyatakan menatap pria seksi itu dosa?” Miranda mulai menarik kabel dan menjawab, “Di beberapa kepercayaan, melihat pria tampan itu dosa. Kamu lupa apa, iblis paling lihai mengambil wujud siapa? Eve. Kamu pernah baca cerita iblis yang menyamar menjadi Eve agar ia terjatuh dari Firdaus?” “Sirik,” cemooh Nayla. “Kamu kebanyakan baca novel fantasi.” “Aku rasional,” bela Miranda. “Nay, kalau kamu butuh belaian lelaki, aku bisa nolong kok.” “Nggak usah,” tolak Nayla. “Aku merasa seram membayangkan jenis pria yang kamu sumbangin. Salah-salah bukannya nyumbang cinta, tuh orang nyumbang benih sekalian. Oh, nggak. Horor, Nda.” “Bagus dong,” celetuk Miranda. “Kamu dapat bonus malaikat mungil.” “Bagus kepalamu. Jadi teman yang lurus dikit bisa nggak?” “Cih,” decak Miranda. “Aku rasa beberapa bulan yang lalu kamu minta dikenalkan dengan seseorang yang wajahnya katanya mirip siapa? Bin? Bon Bin?” “Woo Bin,” koreksi Nayla. “Bon Bin nama kebun binatang yang ada di Surabaya.” “Ah, ya Bu Bin.” Lama-lama Nayla curiga bahwa Miranda sengaja menyebut nama-nama mahluk asing hanya sekedar untuk membuat Nayla jengkel. Heran, kenapa Miranda begitu digilai kaum Adam hingga menyebabkan wanita seperti Nayla hanya menjadi remah-remah roti di pinggir piring. Ibarat peran, Miranda Belle dan Nayla si ibu poci.  “Terserahmu saja, Nda. Aku nggak….” My heart is running to you Every sec getting close to you So please don’t run away take my hand Dering ponsel menghentikan kalimat Nayla. Dia segera merogoh ponsel dari saku belakang celana jinsnya.  “Kenapa nggak diangkat?” tanya Miranda. “Penjaga pintu neraka,” jawab Nayla. “Boleh kutolak nggak?” Miranda menggeleng. “Jangan,” katanya. “Mending diterima aja.” Menelan ludah, Nayla pun memencet tombol hijau. “Ya?” “Nayla! Cepat serahkan artikel yang kemarin diminta Edi. Saya butuh.” Sambungan terhenti. Nayla berdiri dalam hening. Miranda hanya bisa berkata, “Yang sabar, ya?” *** Nayla mendapati Toni telah berdiri di dekat kubikel milik Nayla. Kemeja biru yang Toni kenakan terlihat rapi. Dan seperti biasa, pria itu menatap culas pada Nayla. Mungkin, tebak Nayla, tersenyum bisa menyebabkan Toni terserang penyakit kudisan akut.  “Wah, Pak,” kata Nayla, gugup. “Saya kira….” “Artikel. Sekarang.” Patuh, Nayla segera melenggang ke dalam kubikel dan menarik map berwarna merah sebelum menyerahkannya kepada Toni. “Saya tidak suka dibuat menunggu.” Dalam hati Nayla ingin menjawab, “Siapa juga yang nyuruh nunggu? Aku kan nggak minta, woey! Alay.” Namun, tentu saja Nayla hanya mengangguk singkat dan berujar, “Maaf.” Kedua mata Toni menyapu sekitar. Pria itu mengerutkan dahi saat melihat tempelan foto artis Korea di kubikel Nayla.  “Apa ini?” “Penyanyi kesukaan saya, Pak.” “Saran,” kata Toni. “Singkirkan hal yang bersifat tidak penting dan utamakan kebersihan. Menempel foto semacam ini hanya akan mengganggu pemandangan.” Rasanya Nayla seperti dihantam martil. Sakit. Tega-teganya Toni mencerca kubikel Nayla. Tak tahukah Toni bahwa foto-foto tersebut yang selama ini menjaga otak Nayla dalam kondisi siap kerja? Lalu, dengan adanya Rei, Nayla merasa perlu menambah stok lelaki fiktif idaman yang akan menyemangatinya dalam bekerja.  Oh tidak. Toni sungguh terlalu…. Terlalu barbar. “Ta-tapi….” “Oh, lalu,” potong Toni. “Tolong kamu bereskan artikel yang dibawa Miranda. Dia kurang menambahkan detail informasi narasumber. Kamu wajib merevisi artikel tersebut.” Ceramah selesai. Toni, tanpa memedulikan akibat dari ucapannya, berlalu meninggalkan Nayla. Sesak. Nayla tidak terima jika Toni berucap kasar semacam itu.  Dosa besar versi Nayla: menghina artis Korea favoritnya. Oh, andai ada palu mungkin Nayla akan dengan senang hati memperbaiki kinerja otak pria tersebut. “Astaga,” gumam Nayla, “terkutuklah iblis penjaga neraka.” *** Tak seperti kebanyakan ruang kerja yang didominasi dengan pernak-pernik keluarga, Toni memilih tidak memasang foto apa pun di ruang kerjanya. Hanya ada beberapa buku yang tersimpan rapi di dalam rak yang ada di belakang meja kerjanya. Toni sama sekali tak memiliki hobi khusus yang mencerminkan kebiasaan hidupnya. Pria datar. Pria serius. Pria yang tak tertarik pada sentuhan wanita. Oh, untuk yang terakhir itu rasanya kurang benar.  Duduk sembari memeriksa artikel yang dimintanya dari Nayla, Toni mendapati bahwa wanita itu mengerjakan tulisan sesuai dengan arahan Toni. Tidak buruk, jika Nayla terus berlatih Toni yakin wanita itu akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Meletakkan map di atas meja, Toni mulai berpikir mengenai hobi Nayla. Artis Korea? Wanita itu sudah terlalu tua untuk bersaing dengan remaja labil. Tak bisakah Nayla memilih penyanyi dari dalam negeri? Kunto Aji? Krisdayanti? Apa pun selain dari negeri gingseng tersebut? Ah, kenapa Toni harus kesal? Selera apa pun yang dipilih Nayla itu bukanlah urusannya. Namun mengapa rasanya ada yang tidak benar? Entahlah.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD