Bab 3

1291 Words
Dari pukul tiga sore mama Vanya sudah mengundang MUA untuk mendandani Vanya. Tentu saja sang mama ingin anaknya terlihat lebih cantik lagi karena nantinya akan ada banyak anak-anak yang diajak orang tuanya ke pertemuan sekaligus kondangan ini. "Jangan tebel-tebel make-upnya, ya," pinta Vanya pada sang mama. "Nggak kok, Sayang. Udah lanjutin aja dandanin Vanya" kata Jihan pada Vanya, lalu bicara pada perias yang sedang mendandani anak gadisnya. Setelah hampir satu jam akhirnya Vanya selesai dirias, gantian mamanya yang akan di-make-up. Vanya juga sudah berganti baju dengan baju pilihan mamanya tadi. Dia menunggu sang mama sambil bermain ponsel. Papanya juga harus rela lama sekali menunggu dua wanita kesayangannya ini. "Acara jam berapa, Pa?" tanya Vanya terdengar tak antusias. "Jam setengah 7 sih, ini aja udah mau jam lima dan Mamamu belum selesai dandan. Padahal lokasinya kan jauh dari rumah, Sayang," gerutu Papanya. "Vanya udah cantik, ‘kan, tapi? Nggak menor, ‘kan, Pa?" Vanya memastikan lagi dandanannya. Dia itu tak terlalu percaya diri kalau dirias begini, takut terlalu menor entar malahan dikatain tante-tante kan tak seru. "Nggak kok, anak Papa cantik sekali," Papanya emang yang terbaik. Akhirnya Jihan sudah selesai dirias dan berganti baju, mereka langsung segera pergi ke acara yang akan didatangi itu. "Nanti jangan lama-lama lho, Pa. Vanya entar bosen," rajuk Vanya padahal mereka bahkan belum sampai di tempat tujuan, tapi sudah kasih kode aja minta pulang cepat. "Alaah, nanti juga kamu nggak mau pulang kok. Orang ada banyak makanan gratis dan enak di sana." Nah, kan! Bener kata mamanya, kelemahan Vanya adalah makanan. Kalau lihat banyak makanan enak rasanya dia pengen cobain semuanya. "Ih, iya sih. Ah, jadi galau! Eh, tapi nanti Mama sama Vanya terus, ya?" pinta Vanya. "Iya, Sayang" jawab mamanya menuruti. Akhirnya mereka sampai di gedung tempat resepsi pernikahan diselenggarakan. Vanya memegang tangan mamanya, dia paling sebal di acara seperti ini. Yah, karena dia tak ada teman untuk diajak ngobrol makanya dia cepat sekali bosen. Coba ada satu teman yang dikenalinya dan pastinya ada makanan jadi mereka tak akan bosen mencicipi semua makanan yang ada. "Beri selamat ke pengantinnya dulu, Sayang," ajak Jihan kepada putrinya. Mereka langsung menuju ke sang empunya acara untuk mengucapkan selamat, "Selamat ya, semoga pernikahannya langgeng dan segera dikaruniai anak," tutur Jihan, dia juga mendoakan yang terbaik untuk pasangan baru ini. "Selamat ya," ujar Vanya. "Lho, ini anakmu yang terakhir, ya? " tanya teman papanya "Iya, gimana cantik, ‘kan? " tanya papanya pada laki-laki paruh baya itu. "Cantik sekali. Kenalin nih, anak aku namanya Ferdi" ucap teman papanya namanya pak Harto. "Zivanya," ucap Vanya pada Ferdi "Ferdi." Ferdi membalas uluran tangan wanita cantik yang berada di depannya. Laki-laki ini terpesona dengan kecantikan putri bungsu Pak Zean. "Ehem." Papa Zean berdehem karena tangan Vanya belum dilepaskan oleh Ferdi. "Hahah, rupanya Ferdi tertarik dengan anakmu, Yan," canda Harto, dan Zean hanya tersenyum. "Papa, aku mau makan dulu, ya? Papa di sini aja nanti aku ke sini lagi," Vanya izin kepada orang tuanya, dia tak tahan lihat banyak makanan di sini. "Iya, Papa tunggu," jawab Zean. Vanya sedang mencicipi berbagai suguhan yang dihidangkan dalam pesta ini, semuanya sangat lezat pikirnya. Tangan Vanya tak sengaja tersenggol saat mengambil minuman, dan akhirnya menumpahkan minumannya "Kalau jalan lihat li—" Seseorang itu menghentikan bicaranya saat melihat siapa yang menumpahkan minuman di jas yang ia pakai, "Kamu, nggak papa?" tanya seseorang itu tiba-tiba, langsung mengubah cara bicaranya yang tadinya marah-marah jadi langsung kalem. "Nggak apa-apa, kok, Om. Ih, jas Om jadi basah nih, maaf, ya?" Vanya merasa bersalah karena perbuatan cerobohnya itu. "Nggak kenapa-napa," jawab Aland. Ya, laki-laki yang hampir memarahi gadisnya itu adalah Aland. Ini pertama kalinya dia bertemu secara langsung dan berinteraksi dengan gadis yang dicintainya sejak dulu. Jantungnya berdegup kencang dan seketika membuatnya gugup. Banyak yang melihat mereka, pasalnya Aland tadi terlalu keras saat berbicara hingga sedikit menimbulkan pusat perhatian dari tamu-tamu. Zean langsung menghampiri putrinya, "Kenapa, Nya?" tanya Zean, ikut khawatir. "Ini, Vanya nggak sengaja numpahin minuman ke jas Om ini," jelas Vanya dengan perasaan bersalahnya. "Loh, kamu anaknya Derdi, ‘kan?" tebak Zean, "maafin anak Om, ya?" Zean meminta maaf kepada Aland. "Iya, teman Papa, ya?" tanya Aland balik, menyembunyikan gugupnya. "Iya, Papamu rekan bisnis Om," ungkap Zean. "Sapu tangan kamu kasih ke Aland, buat bersihin bekas minumannya," ucap mamanya berbisik di telinga Vanya, dan dia langsung melakukan apa yang diperintahkan oleh mamanya. "Om, ini sapu tangan Vanya. Maaf ya, jasnya jadi kotor. Vanya nggak sengaja," sesal Vanya lagi. "Iya, makasih," kata Aland, langsung mengusap bekas tumpahan minuman di jasnya. "Aland masih muda, kok kamu panggil Om, sih?" tegur Zean pada anaknya. Zean kembali menatap Aland, "Aland, kata Derdi kamu megang perusahaan Mamamu, ya? Lebih hebat sekarang perusahaannya," puji Zean kepada Aland. "Berkat dampingan Papa, Om," tutur Aland. Dia sebenarnya sudah berkeringat dingin saat berdekatan dengan Vanya, makanya sifat dinginnya ikutan keluar. "Saya jadi ingin bekerja sama dengan perusahaan kamu, Land," cetus Zean memulai pendekatan bisnis dengannya. "Dengan senang hati, Om. Segera diagendakan saja," ungkap Aland yang membuat Zean senang. "Wah, beneran, nih?" tanya Zean dengan mata yang berbinar bagaikan habis mendapatkan harta karun. "Iya, langsung atur jadwal saja, Om," anjur Aland. "Siap, setelah menyusun proposal nanti, saya segera ke perusahaan kamu, ya?" ungkap Zean. "Iya, saya tunggu," sambung Aland. "Vanya, kenalan sama Aland, dong," Zean menyuruh anaknya untuk berkenalan dengan Aland. Lagian anaknya juga sih, orang masih muda, kok. Malah dipanggil Om, untung saja orangnya enggak marah. "Vanya," ucap Vanya pada Aland. "Aland," balas Aland. Dia sangat terpesona dengan Vanya yang terlihat sangat cantik. Ia senang, mungkin ini karunia Tuhan untuk memberikan jalan agar bisa lebih dekat dengan Vanya dan keluarganya. "Ya sudah, saya mau menemui yang punya acara dulu, Om. Duluan, Tante," pamit Aland. "Iya, Nak," balas Jihan. "Ya ampun, serasa dapat jackpot, Ma. Bahkan dia menyuruh Papa buat kirim proposal ke kantornya. Padahal bisa kerja sama dengan Aland, itu lebih sulit dari pada dengan Derdi. Aland itu semuanya harus perfect, dia nggak mau ada kesalahan sedikit pun," ungkap Zean antusias pada istrinya. "Beruntung, ya, Pa. Andaikan dia jadi mantu kita pasti beruntung, ya? Orangnya tegas gitu, pasti bisa bahagiakan Vanya. Anak ini ‘kan masih manja, dia butuh sosok yang seperti Aland itu," timpal Jihan. "Apa, sama Om-om itu?" potong Zivanya, "No!" putusnya langsung. "Dia itu masih umur 30 lho, Nya, udah sukses banget. Rumornya sih, masih jomblo," beber Jihan. "Ih, Mama," protes Vanya, langsung meninggalkan Mamanya dan kembali menuju ke stand makanan manis. ✧✧✧ Aland masih menormalkan degup jantungnya yang sudah seperti bedug bertalu-talu kencang sekali. Ini pertama kalinya dia berbicara serta berkenalan secara langsung dengan Vanya. "Vanya, kamu cantik banget, Sayang. Ya ampun!" puji Aland, laki-laki ini masih tak percaya dengan apa yang dialaminya barusan. Setelah dirasa sudah normal, dia langsung menuju ke sang empunya acara untuk menyampaikan ucapan selamat atas pernikahan mereka. Setelah itu, Aland memutuskan untuk pulang karena dia tak menemukan Vanya saat dia mencarinya lagi. Mungkin saja mereka sudah pulang. Jadinya, dia memutuskan untuk pulang saja sekalian. Dia harus segera membicarakan semua ini dengan papanya. Aland sudah tak tahan lagi menanggung semua rasa ini, ia ingin segera memiliki gadisnya itu. Selama ini, Aland memendamnya sendirian. Benar kata Rachela, dia sering membuntuti gadisnya bahkan sejak dulu. Waktu Vanya study tour di Bali, dia juga mengikutinya secara diam-diam. Tak mau kalau gadisnya sampai kenapa-kenapa, makanya dia tak bisa tenang kalau membiarkan gadisnya pergi jauh terlalu lama dari jangkauannya dan pengawasannya. Terakhir kali, dia membuntuti Vanya waktu ke Bandung. Ya, Rachela tahu kalau dia sedang memperjuangkan gadis yang dicintainya itu. Entah ikatan batin antara adik dan kakak, atau bagaimana. Rachela bisa tahu perasaan kakaknya, bahkan saat Aland menyukai seorang gadis pun, Rachela segera menyadarinya. Sungguh ajaib adiknya satu itu. Aland mulai menutup matanya, dia berharap jika esok akan ada kesempatan lebih baik lagi untuknya. bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD