03 - Pendamping

1104 Words
Kedua sudut bibir Rezel berkedut dengan cepet sebelum akhirnya berubah menjadi senyuman yang sangat lebar dan menawan ketika di lihat, cewek itu kini sudah rapi dengan penampilannya, namun hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa Rezel sungguh cantik. Sebagai penutup, Rezel memoles bibirnya dengan liptint agar tidak kering, setelah dirasa sudah oke semuanya, ia pun beranjak dari duduknya, berjalan pelan menuju kasur, kemudian menyambar slin bag yang tergeletak di sana. "Ma, Rezel mau pergi dulu, ya?" ucap Rezel pada seorang wanita setengah baya yang tengah menyapu teras rumahnya. Rumah Rezel yang besar tentu saja memiliki pembantu, tapi kebiasaan Mika—mama Rezel—yang hobinya bersih-bersih, seringkali membantu bibi mengurus pekerjaan rumah. Biasanya, tipikal tuan rumah seperti Mika ini selalu disukai oleh para pembantu. Mika memberhentikan aktivitasnya, menoleh ke samping, di mana Rezel berdiri dengan wajahnya yang cantik. Mika mengerutkan dahi, namun seperkian detik berikutnya ia berkata, "emangnya mau ke mana? Tumben banget rapi gini? Biasanya juga main ke rumah Vean." "Mau jalan-jalan dong, masa anak muda gini di rumah doang, itu terlalu cupu namanya." Rezel berucap sembari terkekeh diakhiri kalimatnya. Ia mendekati mamanya, menyambar tangan wanita itu, kemudian mencium punggung tangannya. "Ya udah, tapi hati-hati. Mau jalan-jalan sama siapa emang? Pacar kamu ya?" goda Mika, mengeluarkan kerlingan jail lewat matanya. "Ish apaan sih ma, Rezel mau main sama Vean tauk." Kemudian helaan napas Mika yang cukup dikategorikan panjang memenuhi indera pendengaran Rezel, wanita itu menggeleng, lalu menimpali ucapan putrinya, "sama aja kali, kamu mainnya sama Vean." "Beda ah, ini kan jalan-jalan." Mika mengangguk mengiyakan sebelum pada akhirnya melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda barusan. "Terserah kamu aja deh, tapi pulangnya jangan malam-malam lho." "Mama tenang aja, cuma bentar kok. Nanti sore Rezel juga udah sampe rumah. Mama mau nitip apa? Biar nanti sekalian beli di jalan." "Nggak usah, mama lagi nggak pengin apa-apa." Ucapan Mika dibalas anggukan semangat dan acungan jempol dari Rezel, selepas itu Rezel pun berjalan dengan langkah lebar menuju rumah Vean yang tepat berada di samping rumahnya. Kurang dari lima menit, Rezel sudah berdiri tegap di depan pintu rumah milik keluarga Vean. Sebenarnya Rezel tidak punya janji apapun dengan Vean untuk berpergian jalan-jalan seperti apa yang ia katakan kepada mamanya beberapa menit silam. Ia ada urusan, dan hanya kepada Vean-lah ia dapat bergantung. Sejak kecil, Rezel selalu mengandalkan Vean, tak ayal kalau segala sesuatu yang ia butuhkan, selalu ada Vean yang mendampinginya. Meskipun mulut Vean selalu mengatakan jika cowok itu enggan menuruti apa perkataan Rezel, tapi Rezel sendiri tahu jika hati Vean tidak berkata demikian. Hanya ucapan, lain lagi dengan ungkapan hatinya. Cowok itu memiliki hati yang tidak tegaan. Rezel yakin, Vean akan menemani dirinya berpergian kali ini. Bel sudah ditekan sebanyak tiga kali, dan beberapa menit kemudian muncul seorang cowok keluar dari dalam sana. Binar mata Rezel terbentuk beberapa detik sebelum ia mengeluarkan kata-katanya. "Vean ada di dalam kan Go?" tanya Rezel ditujukan untuk Vigo, adik Vean yang berdiri dihadapannya. Vigo masih kelas sepuluh, umurnya hanya terpaut dua tahun dengan Rezel maupun Vean. Sudut bibir Vigo naik beberapa senti, cowok yang memakai pakaian santai itu mengangguk dengan malas. Tangannya membuka pintu lebih lebar lagi, memberikan akses masuk kepada Rezel. "Vean lagi apa?" Dengan malas, Vigo berkata sinis. "Di kamar." Rezel mengangguk satu kali, selalu saja seperti itu. Tidak jarang, Rezel seringkali mendapati sikap cuek yang diberikan Vigo untuknya. Bukan karena apa, namun tindakan Vigo tersebut seolah mencerminkan jika cowok itu tidak menyukai Rezel. Begitulah yang ada dipikiran Rezel selama ini. Vigo seolah mendendam sesuatu yang Rezel sendiri tidak tahu masalahnya apa. Entah Rezel yabg terlalu berpikiran negatif, atau memang sikap Vigo seperti itu. Tersenyum samar seperkian detik lamanya, Rezel pun beringsut pergi dari hadapan Vigo, berjalan pelan meniti anak tangga untuk menuju kamar Vean. Tanpa di ketuk terlebih dahulu, Rezel sudah bisa nyelonong masuk ke dalam ruangan pribadi cowok itu. Rezel sudah hapal diluar kepala, Vean tidak pernah mengunci kamarnya. Selalu begitu, dari dulu tidak pernah berubah. Hanya sesekali Vean mengunci pintu kamarnya dari dalam, itu artinya ia tidak ingin diganggu, seperti sesaat dirinya tengah belajar atau ada masalah. Hal yang pertama kali Rezel lakukan sedetik setelah ia sudah berada di dalam kamar Vean, adalah menahan napasnya. Cewek itu terkejut bukan main, bagaimana tidak? Hari sudah menjelang siang, dan sekarang jam sudah menunjukkan angka 11.00 namun seorang cowok masih asik-asiknya bergelut dengan mimpinya yang indah di atas kasur empuk. Rezel menghembuskan napasnya secara perlahan, disusul melangkah pelan menuju tempat tidur Vean. "Vean!" panggil Rezel dengan nada suara yang serupa dengan toa masjid. Ia duduk di tepi ranjang, tangannya sibuk bekerja menggoyangkan bahu Vean, berharap dengan cara satu ini, cowok itu akan terbangun dari tidurnya. Tidak ada pergerakan dari Vean, bahkan cowok itu semakin mengeratkan pelukannya pada bantal guling. Gerakan Vean tersebut menuai respons helaan napas kasar dan putaran bola mata dari Rezel. Rezel mencobanya lagi, ia tidak bisa menyerah begitu saja. Kali ini, ia menambah kekuatannya untuk mengguncangkan tubuh Vean dan disusul oleh suaranya yang akan ia usahakan agar mirip dengan petir yang menyambar langit. "VEAN!!!! KEBO BANGET LO ANJIIR!" Usaha yang Rezel kerahkan akhirnya tidak sia-sia begitu saja, ia membangkitkan senyuman lebar kala Vean sudah membuka matanya. "lo pagi-pagi gini ngapain ribut sih? Ngeselin lo!" Vean menggerutu sembari melayangkan pandangan sinis yang ditujukan untuk Rezel. Dengan tenaganya yang masih belum terkumpul seutuhnya, Vean berusaha mengubah posisinya untuk duduk. Setelah berhasil, ia mengucek matanya. Sesekali masih menguap lebar. "Kepala lo mau gue penggal ha?" ancam Rezel sehabis ia mencebikkan bibirnya lantaran kesal. "Ini udah siang woy." "Terus? Lo mau ngapain?" "Temenin gue ke mall," ujar Rezel dengan santai disusul oleh cengiran khasnya, dihadapan Vean seringkali ia selalu bersikap tidak tahu malu seperti ini. "Ogah, gue masih ngantuk, pergi aja sana sendiri," ucap Vean secara cuek, ia memejamkan kedua matanya kembali, kemudian merebahkan badannya. "Pokoknya lo harus mau, gue mau beli novel keluaran terbaru penulis favorit gue. Ayo buruan, pokoknya gue nggak mau kehabisan." "Beli di aplikasi aja sana, nggak usah repot-repot keluar rumah, nanti kurir yang bakal nganterin barang yang lo pesen. Lebih praktis," ujar Vean masih enggan untuk menyetujui permintaan Rezel. Sembari berucap, ia melipat kedua tangannya. "Ish lo mah! Gue niatnya kan mau ditraktir lo es Boba, nggak mau tahu ya, gue tungguin lo." Vean membuka matanya sedikit, membelokkan tatapan ke arah Rezel lengkap dengan alis tebalnya yang hampir bertautan, "mau nunggu sampe dunia ini kiamat, gue nggak bakal mau. Udah sana, gue mau waktu libur gue nggak keganggu sama hal apapun, tak terkecuali dengan elo!" "Bodo amat, gue nggak peduli. Lo memang bilang kayak gitu ke gue, tapi gue tahu kalo hati lo nggak tega."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD