04 - Pada Akhirnya

1041 Words
Selalu saja begini, pada akhirnya Vean yang harus mengalah. Bulatan tekad yang menyelimuti tubuh Rezel rupanya kecil kemungkinan untuk Vean abaikan begitu saja. Meskipun mulut sudah berkata menolak, namun tidak menutupi kemungkinan bahwa hati bisa saja berkata lain, sesuai apa yang telah Rezel katakan beberapa menit silam. Vean memang seperti itu, tunduk pada Rezel adalah sudah seperti menjadi tugasnya yang harus ia lakukan setiap waktu. Bukan karena takut, namun entah karena apa di dalam relung jiwanya selalu mendorongnya untuk melakukan itu. Hati kecilnya tidak jarang mengatakan bahwa Vean memang seharusnya melakukan hal tersebut. Rezel sudah menjadi salah satu bagian dari hidupnya, kepingan hati Rezel juga kepingan hatinya. Bisa dikatakan mereka adalah satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Selagi menunggu Vean yang tengah membersihkan tubuh, Rezel menyibukkan diri dengan ponselnya. Kemudian seperkian detik setelah itu perhatiannya langsung terbagi dengan Vean. Sorot mata Rezel terpusat kepada cowok yang baru saja keluar dari kamar mandi lengkap dengan handuk yang mengalung di lehernya. Rezel tersenyum kala penglihatannya menangkap pergerakan tangan Vean yang sedang mengelap rambut lembapnya dengan handuk. Rezel selalu suka aroma tubuh Vean yang entah kenapa sukses menghipnotisnya setiap saat. Baunya sungguh khas, dan berbeda dari cowok kebanyakan. Meskipun pakaian yang dikenakan Vean terbilang sederhana—hanya celana pendek berwarna cokelat dan kaus polos berwarna hitam—namun tidak jarang pula Rezel selalu suka. Singkatnya, apapun yang berkaitan dengan cowok bertubuh jangkung itu, Rezel menyukainya. ×××× "Emang lo mau beli apaan ngajak gue ke mall gini?" tanya Vean setelah membelokkan tubuhnya menghadap ke arah Rezel, alisnya menukik satu ke atas, lengkap dengan dahi yang berkerut, dan itu sudah menandakan apabila Vean memerlukan jawaban sesingkat mungkin. Sekarang, mereka berdua tengah berdiri di eskalator menuju lantai tiga. Sehabis mendengar pertanyaan Vean yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban karena Rezel sudah menjelaskan di kamar tadi, Rezel menekuk bibirnya, kesal dengan Vean lantaran cowok itu teramat lalai. "Nyebelin ih, gue udah jelasin lo sebelum kita di sini!" ucap Rezel diiringi geraman jengkel, giginya bergemelutuk sedikit nyaring, sementara itu matanya melotot pada Vean yang malah menunjukkan tampang datar. "Gue lupa, makanya gue tanya lagi." "Ke toko buku Vean! Beli novel baru, gitu aja kok bisa lupa, gue berasa pengin nyiram lo pakek minyak panas." Air muka Rezel sudah berubah merah padam, ia melipat kedua tangannya di depan d**a. "Cuma itu?" Ada jeda beberapa detik sebelum Rezel menimpali ucapan Vean, ia kembali memusatkan matanya pada wajah cowok disampingnya ini. "Kenapa? Nyesel?" "Banget." Detik itu juga Vean langsung melotot dan meringis, tangannya kali ini disibukkan untuk menciptakan gerakan naik turun di pinggangnya yang terasa nyeri. Ia mendesis, diikuti berseloroh cukup keras. "Nyesel gue turuti kemauan lo, bukannya terima kasih, malah nyiksa gue gini." Dengan senyuman sinis, Rezel menimpali, "siapa suruh lo nyebelin gini?" "Lo yang nyebelin." "Kok malah nyalahin gue sih?" Tatapan yang Rezel layangkan untuk Vean kini berubah menjadi pandangan sinis. "Lha emang lo yang salah, emang mau nyalahin siapa lagi? Pocong? Kuntilanak? Tuyul? Wewe gombel? Suster ngesot? Atau kuyang?" Untuk kedua kalinya Rezel memutar bola matanya secara malas, "sekalian aja lo sebutin hantu satu-satu, biar lo bisa adain sukuran!" "Gue Mana takut sama begituan. Cuih ... Receh." "Lo ngomong gitu soalnya lagi di tempat rame, coba kalo lagi sendirian, gue jamin lo nggak berani." "Mau taruhan ha?" "Lha ayo, siapa takut? Buktikan aja sekarang." Rezel maju selangkah mendekati Vean sembari berkacak pinggang. Tanpa keduanya sadari, sudah beberapa menit terakhir, pertikaian yang mereka lakukan sedang menjadi bahan tontonan orang-orang di sekitar. Banyak dari mereka yang menonton dengan gelak tawa yang benar-benar tidak keruan, ada juga yang merekam aksi adu mulut Vean dan Rezel barusan, namun tidak sedikit pula yang tidak suka akan tindakan mereka karena merasa terganggu. Sadar akan itu, Rezel merasa malu, pipinya sudah memanas, dan karena tidak mau berlarut-larut dalam suasana yang sungguh membuat jiwanya meronta, Rezel pun memilih mempercepat langkahnya, ia berjalan terlampau cepat hingga Vean sulit untuk mengimbangi langkah cewek itu. Beberapa jam setelah itu, tepatnya pukul empat sore, Vean dengan mukanya yang asem mirip cuka yang sering nongkrong di kedai bakso, sedang duduk di salah satu kursi panjang di taman yang letaknya tidak jauh dari mall yang mereka kunjungi. Vean melirik ke samping, di mana Rezel berada. Bola mata Vean berputar dengan jengah. Ia masih kesal dengan cewek di sampingnya ini. Vean rela menemani Rezel membeli novel, namun bukan berarti ia rela juga jika di suruh berdesakan. Hampir tiga jam lamanya Vean terjebak di dalam ruangan yang penuh dengan benda persegi itu. Rezel sudah menyiksanya, jika tahu ada acara meet and greet yang diadakan salah satu penulis cukup ternama, tidak mungkin sekarang Vean ada di sini. Rezel memaksa dirinya untuk ikutan acara tersebut dengan kedok alasan 'daftar gratis'. Sepanjang acara, Vean terlihat sangat bosan, ia tidak suka dengan acara seperti ini. Lebih baik memainkan game online ketimbang mendengarkan orang lain berbicara. Berbanding terbalik dengan cewek berambut peach tersebut yang justru nampak antusias. Sepanjang acara di mulai sampai usai, Rezel tidak menjeda senyumannya. Bahkan Vean berasumsi bahwa Rezel mungkin saja sudah gila. Novel yang Rezel beli rupanya karangan dari penulis yang mengadakan acara meet and greet tersebut, jadi perasaan Rezel semakin berbunga-bunga kala ia mendapatkan tanda tangan. "Lo berhenti senyum bisa nggak sih?" Vean berucap dengan nada suara yang sarat akan kesinisan yang berlebihan. Rezel seketika langsung menoleh, "nggak usah komen bisa nggak?" "Muka lo ganggu!" "Cantik-cantik gini kok." "Nanti orang lain bakal anggap lo gila kalo lo keseringan cekikikan nggak jelas kayak kuntilanak gitu," timpal Vean. "Lagian mana bisa gue nggak seneng? Gue dapat tanda tangan, dan ini untuk pertama kalinya gue ketemu sama penulisnya langsung. Gue seneng banget astaga!" Rezel memekik kegirangan sambil memeluk novel bertandatangan tersebut. Kakinya menghentak di tanah dengan heboh. "Tuh kan penyakit alay-nya kumat," cibir Vean. "Lo ngomong gitu awas aja kalo naksir gue," ancam Rezel, mempertajam penglihatannya. Setelah itu, Vean terkekeh pelan, ia mengubah posisi duduknya agar lebih condong menghadap Rezel, "gue suka lo?" tawa Vean membludak keluar lagi, bahkan ia sampai menepuk-nepuk pahanya sendiri, "nggak bakal terjadi!" "Terserah lo, awas aja kemakan sama omongan sendiri lo. Lagian nih ya, kalo lo suka gue, seratus persen gue bakal tolak lo. Udah jelek, bau, pelit, kasar, petakilan, cerewet, gampang baper. Mana mau gue sama lo! Nggak banget deh." "Udah selesai ngehina gue gitu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD