05 - s**l

1127 Words
Air muka Rezel yang sejak tadi pagi sudah keruh karena kesal dengan mamanya yang tidak membangunkan dirinya tidur dan alhasil ia terlambat masuk sekolah, kini wajah itu semakin terlihat kusut. Ia kesal, semburat warna merah sudah menyebar di seluruh permukaan wajahnya. Rezel bisa sedikit lebih tenang ketika warna merah yang mendominasi pipinya itu terjadi karena seseorang membuat dirinya baper dalam artian jantung yang berdetak kencang, namun boro-boro hal itu terjadi, justru Rezel sedang menahan amarahnya yang jika bisa diprediksi mungkin saja telah mencapai puncak kepalanya. Setelah mendengus kesal sembari berusaha menguatkan hatinya agar tetap sabar dan mencoba untuk ikhlas, Rezel berjalan dengan langkah yang sengaja ia ambil secara cepat. Tentu saja hal itu ia lakukan mengingat penampilan dirinya sekarang tidak jauh dari kata berantakan. Seragamnya basah kuyup dari atas sampai bawa, dan itu membuat cewek itu merasa malu bukan main. Niat Rezel sekarang adalah untuk pergi ke rooftop sekolah, tempat itu memang begitu pas untuk dirinya yang tengah di selimuti oleh pakaian basah. Rooftop sekolah yang memiliki ukuran lumayan besar memberikan peluang bagi Rezel untuk mengeringkan seragam sekolahnya. Mulut Rezel sedari tadi, tepatnya sedetik setelah kakinya sudah menapaki lantai rooftop tidak bisa mengerem untuk mengeluarkan sumpah serapah. Ia terlampau kesal dengan kesialan yang menimpanya kali ini. Rezel merutuki orang yang tega-teganya memberikan jebakan usil, siapapun orangnya itu, jika Rezel tahu, ia tak segan-segan membuat orang tersebut kapok dengan bogeman mentah yang akan ia layangkan. Memang sepatutnya Rezel bertindak seperti itu. Tidak hanya Rezel, orang lain pun akan menggerutu kesal jika terkena jebakan seperti yang Rezel timpa sekarang. Rezel mendesah kasar sebelum akhirnya pikirannya kembali melayang pada kejadian beberapa menit silam. Waktu memasuki kamar mandi tadi, Rezel sama sekali tidak memperhatikan lingkungan di sekitarnya, alhasil ketika ia membuka pintu kamar mandi lebih lebar lagi, sebuah ember berukuran cukup besar jatuh dari atas sampai mengenai kepalanya. Kesialan Rezel tidak berhenti sampai di situ saja rupanya, setelah seluruh seragamnya basah oleh air dan kepalanya terkena hentakan ember s****n itu, Rezel tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Sesuai prediksi, cewek itu terjatuh dengan b****g yang mendarat terlebih dahulu. Rezel menggeleng, ia harus menghapus pikiran itu dari dalam otaknya. Ia boleh kesal, tapi tidak boleh berlarut-larut. Sudahlah, kejadian sudah berlalu, tak ada gunanya untuk memikirkannya kembali. Angin yang sejuk dan cuaca sekarang sedang bersahabat, matahari tidak terlalu bersemangat untuk memancarkan sinarnya, membuat rongga d**a Rezel sedikit merasa sejuk. Derap langkah kaki seseorang tiba-tiba menginterupsi Rezel yang tengah berdiri di pembatas rooftop yang terbuat dari beton, dalam hitungan detik saja, ia langsung membalikkan tubuhnya. "Vean?" Rezel tidak mampu menghentikan matanya untuk tidak membola. Ia tentu saja terkejut dengan keberadaan sahabatnya itu yang secara teknis bisa dibilang muncul secara tiba-tiba. "Kenapa? Nggak suka gue ke sini? Bukannya ini tempat umum, kan? Bebas dong kalo gue mau ke sini dan lo nggak ada hak buat larang-larang gue. Lo juga jangan kepedean, gue ke sini bukan mau ngikutin lo!" Rezel mengerucutkan bibirnya sebal, perkataan Vean yang tidak ada bedanya dengan gerbong kereta yang panjangnya minta ampun sukses membuat Rezel jengah. "Hei! Biasa aja dong nggak usah nyolot kayak tikus gitu, gue cuma terkejut lihat lo. Buset, sebenarnya itu mulut atau cabe sih? Pedes amat kalo ngomong." Vean mendengus samar sebelum kakinya berjalan mendekat sofa yang sedikit usang yang terletak di sudut rooftop. Vean mendudukkan bokongnya di sana, lalu menyilangkan kakinya. Kemudian dilanjutkan membuka tutup botol minuman yang sudah melekat di tangannya. Sedikit terburu-buru, Vean menenggak minuman itu hingga membuat Rezel melotot tajam. Kekesalannya yang sedari tadi ia tunjukkan secara terang-terangan sukses menciptakan rasa dahaga yang semakin larut menggerogoti tenggorokannya. Energinya terkuras habis, dan tidak heran jika Rezel menelan salivanya dengan susah payah kala bola mata miliknya yang indah menangkap Vean yang sedang meminum minuman dengan bebas. "Hei, lo kalo ada niat buat minum sendiri nggak usah di depan gue bisa nggak ha?" omel Rezel mendorong dagunya ke atas, ia berkacak pinggang dengan kaki yang menghentak di lantai. Vean menyudahi acara mengaliri tenggorakannya yang kering, ia memutar tutup botol sebelum menimpali ucapan Rezel. "maaf, gue nggak tahu kalo lo puasa." "Gue nggak puasa." "Terus?" Dengan polosnya Vean malah bertanya seperti itu. Menurut Rezel apa yang Vean katakan barusan itu menyiratkan bahwa ia meremehkan dirinya. Rezel sama sekali tidak suka itu. Seraya menggeram kesal, Rezel mengeluarkan bebunyian lewat giginya yang saling bergemelutuk cukup keras, apalagi aksinya itu disempurnakan dengan kedua tangan yang sudah terkepal kuat. Perhatian Rezel beralih menatap ke sekelilingnya, dan sorot matanya berhenti kakai melihat kertas berada di dekat kakinya. Rezel langsung saja membungkukkan badan, mengambil kertas itu dan meremasnya dengan kasar hingga membentuk bola. "Dasar nggak peka! Pantas aja nggak ada satu pun cewek yang mau sama lo!" Rezel berujar ketus bersamaan dengan tangannya yang mengayun untuk melempar kertas yang sudah ia bentuk menjadi bola. Namun Vean dapat menangkisnya dengan mudah. Cowok itu berdiri dari duduknya dan mendekati Rezel. "Nih," ujarnya acuh, menyodorkan botol air mineral yang tersisa setengah. "Kenapa nggak ambil? Nggak mau? Cewek emang ribet ya?" ujar Vean sembari menggelengkan kepala sebanyak dua kali. "Ish Vean, yang benar aja, masa lo ngasih minum bekas punya mulut lo!" murka Rezel. "Lha terus gue musti gimana? Beliin lo yang baru gitu?" "Kok tumben pinter!" "Ogah, beli aja sono sendiri." Vean merotasikan kedua bola matanya dengan malas. "Nggak mau ih, lo kan cowok, harusnya lo yang beli." "Lo yang minum, jadi lo yang harus beli, emang gue babu lo ha?" Vean berkata sinis, ia melipat kedua tangannya di depan d**a dengan pandangan sinis yang ia hunuskan pada Rezel. "Oh sekarang lo gitu sama gue, ya? Sejak kapan sih lo nyebelin gini? Dan tadi pagi kenapa lo nggak nungguin gue, harusnya kalo gue terlambat lo juga sama, nggak adil banget." Vean langsung menukas cepat, "hei, yang terlat bangun itu elo, kalo gue nungguin elo, berarti gue bodoh. Itu salah lo dan lo harus tanggung masalah lo sendiri." Seusai perkataan Vean selesai, Rezel mencebikkan bibirnya, "iya iya terserah lo deh. Tapi ayo anterin gue ke kantin. Gue mau es Boba kayak biasa, gue juga lagi kepengin batagornya mbak Jum, ciloknya mang Maman juga lumayan. Lo yang bayarin semuanya ya?" Vean mengangguk, "oke." Rezel mendelikkan matanya, "makasih, Vean gue emang yang paling pengertian banget deh, the best lha pokoknya, gantengnya nggak ada yang ngalahin. Semoga lo cepet dapat pacar yang cantik kayak Selena Gomez!" "Halah kebanyakan bacot lo, siapa yang mau traktir lo! Bayar aja sana sendiri. Bisa bangkrut mendadak kalo gue traktir lo sebegitu banyaknya." Rezel langsung menghentakkan kakinya dengan kesal ke lantai, "ih Vean lo kenapa jahat banget sih? Nggak jadi ganteng deh, lo lebih mirip sama monyet." "Yaelah baperan amat lo gue becanda kali Zel." "Yes, nggak jadi kayak monyet deh. Lo emang ganteng kok dari dulu, sumpah gue nggak bohong, tanya aja sono sama nyokap lo!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD