Penyusup

2549 Words
“Pegang ini, Mosi!” Bitale melempar tas kecil yang tadinya ia sangkil. Tas itu berisi racum Adenium. Racun yang paling ringan gejalanya jika terkena tubuh dibanding racun-racun lain yang biasa Centaur gunakan. Racun ini biasanya Bitale gunakan untuk berburu burung, kelinci, atau pun rusa. Karena targetnya hari ini adalah hewan, bukan kiriman Whicessenova. Gadis itu mengambil anak panah kayu dengan bulu tipis yang biasa ia pakai, menukarnya dengan anak panah hitam yang baru saja ia dapatkan dari Blachessier. Ia tidak ingin membuang anak panah hitam yang begitu istimewa secara cuma-cuma. Racun yang sangat berbahaya dari anak panah hitam ditambah ia hanya memilikinya sebanyak enam batang, maka panah itu harus digunakan sebaik mungkin. Gadis itu sudah berganti pakaian. Masih serba hitam, tapi sangat berbeda dengan sebelumnya. Tidak telihat Bitale manis nan anggun seperti beberapa waktu lalu, yang ada kini Bitale yang tampak berani dengan tatapan tajam yang siap mencabik-cabik target panahnya. Ia menggunakan pakaian berburunya yang memiliki banyak kantung di celana. “Ayo, Mosi!” Aba-aba dari gadis itu sudah terdengar. Mosi mengekor di belakang Bitale. Ia menyoren tas kecil berisi racun Adenium yang tadi dilempar gadis itu. Mereka siap membelah Forestan untuk bersenang-senang. Tidak, bukan mereka. Hanya Bitale karena ketakutan jelas tertangkap di wajah Mosi yang selama ini hanya tau berdiam diri di dalam Menara Hitam. Setiap kali gadis itu mengendap-endap keluar, Mosi tidak pernah ikut. Makhluk itu akan berjaga di Menara Hitam, atau kadang ia berkamuflase menjadi Bitale dengan berbaring di atas ranjangnya dan menutup seluruh tubuh dengan selimut. Sayangnya, Blachessier selalu tahu kalau anak gadisnya tengah melarikan diri ke Forestan yang berbahaya. Baru beberapa langkah Bitale berjalan, langkahnya terhenti. Mosi menubruk gadis itu dari belakang. Rupanya, ia ingin memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal lagi. “Kau tidak melupakan apapun kan?” Gadis itu bertanya penuh selidik. Ia tahu bahwa makhluk itu sering kali pelupa, ceroboh dan kurang teliti. Mumpung mereka belum keluar dari Menara Hitam, ia berpikir lebih baik untuk mengecek kembali barang bawaan mereka. Beberapa saat kemudian Mosi menggelengkan kepala, “No, no.” “Andenium?” Bitale mulai merapal satu persatu barang yang mereka butuhkan. Sementara Mosi segera membuka resleting tas. Mengambil botol kecil berisi racun Adenium dan mengacungkannya ke udara. Ia terlihat bangga karena kali ini ia tidak melupakan sesuatu yang penting bagi mereka berdua. “Botol minum?” Sampai di barang yang kedua, makhluk itu membulatkan bibirnya. “Ho?” Mosi tercengang. Bitale memang tidak menyuruhnya membawa benda itu, sebelumnya. Ia merasa bingung. Mosi pikir, ia tidak melakukan kesalahan lagi karena sudah memenuhi segala kebutuhan gadis itu. “Aku sudah biasa menahan haus, tapi aku tak yakin denganmu, Mosi.” Dengan sigap ia mengangguk, mengerti dengan ucapan Bitale dan mengapa gadis itu bertanya tentang botol minum. Setelahnya, Mosi berlari seperti kilat. Tidak, lebih tepatnya menghilang dalam sekian detik. Ia menjentikkan jarinya yang kemudian membuat sosok makhluk kecil itu hilang dalam sekejap. Bitale yang sudah mengerti kebiasaan Mosi hanya tersenyum melihat kelakuannya yang menurut gadis itu masih selalu menggemaskan, seperti anak anjing. Setelah beberapa detik, entah bagaimana caranya, mahluk kecil itu sudah ada di hadapan Bitale dengan botol minum kecil berwarna hitam. Senyuman tak lupa terpampang di wajahnya yang tidak terlihat lelah sama sekali. “Anak panah?” lagi, Bitale mulai mengabsen kembali barang bawaan mereka, setelah membiarkan Mosi menarik napas dan memberi jeda padanya. “Nah!” Makhluk itu menunjuk seperangkat alat panah yang sudah bergelayut di punggung Bitale. Barang itu tidak mungkin ditinggalkan olehnya. “Aku tahu, Mosi. Hanya ingin mengetesmu saja.” Bitale mendekat ke arah Mosi, berbisik di kupingnya yang meruncing. Terlihat dari tatapan matanya, ia akan berbuat usil. “Di Forestan sana, ada nyamuk yang bernama Mosquit. Kalau kau sampai tergigit, kau akan berhalusinasi dan menjadi gila.” Bitale mencoba menakut-nakuti Mosi. Gadis itu juga memandangi tubuh makhluk kecil itu dari atas sampai bawah. Ia belum berganti baju. Masih menggunakan gaun sederhananya yang berwarna hitam, tangan terbuka dan pita di rambutnya yang teramat sedikit. Rupanya, tatapan dari Bitale itu membuatnya juga menatap diri. Ia sadar bahwa pakaiannya sangat-sangat tidak aman. Sekejap, mahluk itu kembali lenyap bagai debu disapu angin. “Sudah kuduga.” Gadis itu lagi-lagi tertawa, “Dasar Mosi.” Tak lama, mahluk itu kembali muncul dengan seluruh dengan tubuh tertutup. Ia bahkan memakai penutup wajah seperti ninja dan hanya menyisakan kedua matanya yang bulat saja. Bitale yang melihat Mosi berdandan seperti itu semakin tertawa terbahak-bahak. Ini sangat-sangat berlebihan. “Bagus, Mosi. Kau terlihat seperti Mumi sekarang.” Mosi menatap gadis itu sebal. Bukankah tadi Bitale yang membuatnya menjadi demikian? “Baiklah. Ayo kita berangkat, Mosi!” Bitale kembali melangkahkan kaki. Mereka sudah siap berburu. Keduanya melewati gerbang Menara Hitam dengan Rocky yang sedang berjaga di kiri kanannya. Masih dengan mata yang tertutup dan tidur ayam yang panjang. Kenapa dikatakan demikian? Karena pada dasarnya, meskipun Rocky itu menutup mata, telinganya tetap mengawasi. Ia akan mendengarkan pergerakan, atau percakapan yang mencurigakan. Lalu, ia akan bertindak bila dirasa sudah berada di level yang membahayakan. Beberapa Askar yang kebetulan lewat menundukkan badan begitu melihat Bitale yang datang dan melewati mereka. Tiba-tiba, Lori datang dari arah belakang mereka. Sepertinya, ia mendapat kabar bahwa Bitale akan pergi ke Forestan hanya dengan makhluk kecil itu. Kalaupun tidak, Lori dapat melihatnya dari cara mereka berdua berpakaian. Entah jawaban mana yang benar, tapi satu tujuan dari Lori, ia hanya khawatir. Sama dengan Blachessier. Sejak kecil, Lori yang mengajari gadis itu bermain panah. Baginya, Bitale terlihat seperti adik kecilnya. “Nona Bitale?” serunya pada gadis itu. Lagi-lagi langkah Bitale terhenti. Ia sedikit jengkel. Kenapa selalu ada yang mengganggu dirinya saat ia akan pergi bersenang-senang? ‘Apa lagi sekarang?’ Gadis itu membuang napas kesal. Ia menolehkan wajah ke asal suara. Rupanya, di sana ia melihat Lori yang berlari ke arahnya. “Ada apa, Lori?” tanyanya pada Lori, si pemimpin para Centaur. “Ke mana Nona akan pergi?” tanyanya basa-basi. Padahal ia tahu betul, gadis itu memang akan ke sana. Ke hutan yang gelap itu. Dilihat dari seperangkat alat panah yang menempel di punggungnya. “Forestan,” jawab Bitale singkat. “Forestan? Bukankah itu berbahaya, Nona.” Bitale mendengkus kesal. Ia membuang napas, setelahnya gadis itu berujar, “Ayolah, Lori. Aku bukan anak kecil lagi. Lagi pula aku sudah mendapatkan izin dari Ayah. Kalau kau tak percaya, kau tanyakan saja padanya. Aku juga membawa Mosi, jadi jangan khawatir.” Lori tahu, Bitale memang keras kepala. Ia tidak akan membantah begitu kata-kata ngeyel keluar dari mulutnya. Lelaki setengah kuda itu mengangguk, menundukkan badan, lalu menarik diri kembali ke Menara Hitam. Karena ia tahu, sekeras apapun ia menahan Bitale pergi, gadis itu akan tetap pergi. Tidak peduli jika ia berteriak, memohon, atau apapun. Ia akan tetap pergi. Di depan sana, sudah ada seorang Askar yang menuntun kuda. Sebelumnya ia memang diperintah untuk menyiapkan kuda yang selalu Bitale tunggangi ketika Bitale berkeliling di sekitar Forestan. Kuda hitam yang besar dan kekar, kesukaan Bitale. “Ini, Nona. Silakan.” Askar itu berkata setelah menundukkan badannya. Ia menyodorkan tali kendali pada gadis itu. “Terima kasih, Askar.” Bitale menunggangi kudanya. Disusul Mosi yang dibantu Askar menaiki kuda karena terlalu tinggi. Kakinya tidak sampai untuk menjangkau pijakan yang ada di pinggir. Bitale tertawa geli melihat Mosi yang kesulitan. Makhluk itu memang menyebalkan, tapi ia selalu terlihat lucu bagi Bitale. Seperti boneka hidup yang bisa ia jahili. Dan, anehnya semakin bertumbuh besar tubuh Bitale, Misi tidak demikian. Tidak ada yang berubah dari dirinya. Ia selalu terlihat seperti itu. Seperti anak anjing yang menggemaskan. “Tumbuh itu ke atas, Mosi,” ledeknya setelah Mosi berhasil naik ke atas kuda dengan bantuan Askar. Mosi yang terlihat sebal dengan alis yang mengkerut menjawab, “No, no.” “Hahaha. Baiklah, Mosi. Berpegangan yang erat. Kalau kau jatuh, aku akan meninggalkanmu dan membiarkan kau menjadi santapan Wandering Spider. Kau mengerti Mosi?” Mosi seketika mencengkeram erat pinggang gadis itu. Takut kalau dirinya benar-benar terjatuh dan ditinggalkan sendirian. Seperti saat itu, sebelum malaikat dari Menara Hitam membawanya pulang. *** Mosi berdiri menghadang Bitale ketika ia hendak memasuki Forestan lebih dalam. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Ini tidak benar. Beberapa meter dari mulut Forestan saja sudah cukup baginya. “No, no,” satu kosa kata yang paling sering keluar dari bibir mahluk kecil itu. Telunjuknya mengacung, bergerak ke kiri dan kanan. Mosi ingat bahwa Blachessier melarang mereka untuk masuk terlalu dalam. Apalagi sampai mendekati Woolis. Blachessier bilang, “Tempat itu berbahaya, Mosi. Jadi pastikan kalau Bitale tidak berjalan ke sana.”   Sementara itu, Bitale selalu memiliki jawaban. “Kalau cuma sampai di sini, kita tidak akan mendapatkan apa pun, Mosi.” Gadis itu lebih pintar dan  menghindari Mosi. Terus berjalan memasuki Forestan yang kian gelap. Mosi menarik kaki gadis itu. Memeluk lalu bergelayut, membuat Bitale kesulitan untuk melangkah. Ia kini terlihat seperti bayi tupai yang bergelantungan di kaki induknya. “Ayolah, Mosi!” Bitale mencoba melepaskan Mosi yang masih melekat di kakinya. Ia masih berjalan, memasukki Forestan lebih dalam. “Kau harus ikuti kata-kataku atau kau akan kutinggalkan di sini sendirian. Pilih mana?” Bitale berhenti melangkah. Ia mengeluarkan ultimatum untuk Mosi. Mahluk kecil yang trauma dengan kata ditinggalkan itu beringsut mundur. Melepaskan pelukan pada kaki Bitale. Ia benci ditinggal sendirian. Sangat benci. Dulu, sebelum Blachessier menemukannya di Hara, gurun hitam yang mengerikan, Mosi ditinggal sendirian. Kawanannya tertangkap Spiller si pemburu jiwa. Spiller akan melahap siapa pun yang masih memiliki jiwa. Terlebih, jiwa-jiwa yang berbahagia dan ceria. Akhirnya, makhluk itu yang tersisa sendirian duduk di balik batu besar. Bersembunyi berhari-hari sampai tubuhnya lemas. Sampai lelaki tua itu tiba, dan membawa tubuh nya pulang. Bitale terus berjalan, sesekali menggunakan belati yang ia sematkan di sabuknya untuk menyingkirkan dedaunan yang menutupi pandangan. Hutan yang memiliki banyak daun rambat yang rimbun membuatnya sedikit kesulitan. Ia melihat seekor rusa berukuran sedang di balik dedaunan itu. Seekor rusa biasa yang bisa ia buru. Gadis itu sudah bersiap dengan panahnya. Ia menarik anak panah, membidik rusa yang terlihat tenang, dan siap untuk melesatkan anak panah, tepat di lehernya. “Bagus!” Senyuman lagi-lagi mengembang di wajah Bitale. Anak panah itu tertancap tepat di leher rusa. Ia segera berlari mendekatinya setelah rusa itu menggelepar dan ambruk ke tanah. “Lihat, Mosi! Aku mendapatkan seekor rusa!” Bitale bernada girang setelah melihat hasil tangkapannya. Namun, Mosi yang sejak tadi ia ajak bicara itu tidak menjawab. Merasa ada yang salah, Bitale mulai mengedar pandangnya ke sekeliling. Hening. Mahluk kecil itu tidak terlihat di pelupuk matanya. Ia menghilang. “Mosi?” Ia mencari mahluk kecil itu. Memanggilnya namanya, berharap Mosi menyahut. “Bukankah tadi ia di belakangku?” Bitale kembali ke tempat di mana Mosi terakhir kali bergelayutan di kakinya. Ia yakin, mahluk penakut itu tidak akan pergi jauh-jauh darinya. Ia tidak akan berani. “Mosi!” Gadis itu masih meneriakkan nama Mosi di tempat yang gelap ini. Tidak ada jawaban dari makhluk kecil itu. Bitale mulai panik. Bagaimana jika makhluk kecil itu benar-benar hilang? ‘Apa Mosi mengerjaiku?’ Ia membatin. “Harusnya tadi aku tinggal saja kau di Menara Hitam, Mosi.” Gadis itu mulai menggerutu. Sikap usil Mosi pasti sedang kumat, pikirnya. Makhluk itu mungkin merasa jengkel dengan Bitale yang tidak mendengarkan perkataannya untuk tidak masuk ke Forestan lebih dalam. Ia menyingkap daun-daun. Berharap menemukan mahluk kecil itu sedang sembunyi di sana. Namun, nihil. Ia tak melihat sosok makhluk kecil itu. “Mosi, jangan main-main atau kau benar-benar aku tinggalkan.” Bitale berpikir bahwa mahluk itu bersembunyi. Bukankah selama ini Mosi memang suka menggodanya? “Hei, Mosi! Muncullah! Berhenti bermain-main!” Hening. Belum ada tanda-tanda bahwa Mosi mendengar apa yang Bitale ucapkan. Semua panggilannya tidak terjawab. ‘Bagaimana jika ia memang hilang? Atau ia tertelan Quicksand? Atau digigit Wandering Spider? Atau mungkin ulah Mosquit?’ Hal-hal buruk berloncatan di kepala Bitale. Bagaimana jika Mosi benar-benar hilang? Bagaimanapun, Mosi satu-satunya teman yang ia miliki. ‘Aku pasti sudah gila! Harusnya tak perlu kubawa ia kemari!’ umpatnya dalam hati. “Mosi!” Kini ia mulai berteriak. Gadis itu terus berjalan, mencari Mosi yang benar-benar tak nampak lagi. Sampai akhirnya di sebelah barat, ia melihat dedaunan rimbun yang bergerak. ‘Jangan-jangan mahluk buas!’ Dengan sigap, Bitale menarik anak panah, memasangnya pada busur dan siap melesatkannya. Ia mengambil ancang-ancang. Satu... dua.... Tiba-tiba dedaunan itu tersingkap. “Mosi? Astaga Mosi, aku mencarimu ke mana-mana.” Tangan Bitale segera memeluk tubuh Mosi. Ia sangat lega. Gadis itu berpikir bahwa ia akan kehilangannya. Akhirnya, Misi kembali ke pelukan Bitale. Namun, wajah makhluk kecil itu terlihat serius.  Setelah melepaskan pelukan, Mosi terlihat tidak merespons perkataan gadis itu sama sekali. Dengan mata melotot, jari telunjuk ia diletakan di bibir. Ia memberi isyarat pada Bitale untuk tetap diam dan tidak melakukan kegaduhan. Gadis itu mendekat. Sudah paham dengan sinyal yang ditunjukkan Mosi. Ia menganggukan kepala, lalu menatap makhluk kecil itu dengan serius. Ia berbisik bahkan hampir tak terdengar, “Ada apa, Mosi?” Mosi melirik ke kiri dan kanan. Ia bahkan menarik tubuh Bitale untuk menjauh. Setelah merasa aman,  Mosi memeragakan seseorang berjalan mengendap-endap. “Kau melihat seseorang?” Dengan cepat, mahluk itu mengangguk-anggukan kepala. Tangan kanannya mengacung, ia meloncat-loncat. Ini terlihat seperti permainan tebak-tebakan yang sering mereka lakukan saat bosan melanda. “Tingginya kira-kira segini?” Gadis itu mengangkat tangannya, menunjukan pada Mosi apa yang dapat ia tangkap dari tiap pergerakan makhluk kecil itu. Lagi-lagi, ia menganggukan kepalanya. “Kau kenal dia?” “No, no!” Dengan cepat, Mosi menggeleng. Ia menarik baju Bitale. Menunjuk ke arah dedaunan rimbun yang tempat di mana Mosi muncul. ‘Siapakah?’ Bitale membatin. ‘Apakah ia seorang penyusup?’  tambahnya. “Apakah ia memakai pakaian yang sama dengan kita? Atau mungkin sama dengan para Askar?” Gadis itu masih penasaran. Ia ingin tahu siapa seseorang yang dimaksud Mosi, dan apa yang seseorang itu lakukan di sini. Makhluk itu menggelengkan kepala dengan keras, “No, no!” ‘Baiklah, berarti orang itu bukan warga Blason.’ “Kau lihat wajahnya?” Mosi terdiam. Perlahan menggelengkan kepala, tapi tiba-tiba ia mengangguk dengan cepat. Mosi menunjuk dirinya sendiri. “Ia sepertimu?” “No, no!” “Dia mengikutimu?” “Huh.” Mosi lagi-lagi menganggukan kepalanya. “Sepertinya dia adalah penyusup yang dikirim Whichessenova.” Gadis itu mulai berspekulasi. Ia berpikir, ini adalah jawaban paling logis. “Sekarang di mana orang itu, Mosi?” Telunjuk Mosi mengarah ke barat. Arah yang sama saat makhluk kecil itu muncul dari balik dedaunan. Bitale mengangguk. “Kau, sembunyilah di belakangku. Mengerti?” Gadis itu mengencangkan pegangannya pada riser. Menarik anak panah dan siap melesatkannya pada seseorang yang ia pikir adalah seorang penyusup. Mosi bersembunyi di balik badan Bitale yang jauh  lebih besar darinya, ia terlihat ketakutan. Gadis dengan panah di tangannya itu menunduk, bersembunyi di belakang semak setelah melihat dedaunan di depannya bergerak. “Ssst, penyusup itu sebentar lagi datang. Menunduk, Mosi!” Bitale melihat pohon besar di balik dedaunan. Sebuah tempat yang tepat untuk menangkap seorang penyusup. “Ketika ia menyibak dedaunan itu, aku akan menghadangnya dan memojokkannya ke pohon itu. Kau diamlah di sini dan bersembunyi, mengerti?” “Ti.” Mosi menjawab. Daun itu tersingkap, seseorang muncul dari balik sana. Dengan cepat, Bitale mendorong tubuh itu dan menodongnya dengan anak panah. Gadis itu membuatnya terpojok di pohon besar. Sama seperti rencananya. Tatapan Bitale yang tajam seolah siap mencabik-cabik orang tersebut. Wajah Bitale mendekat. Orang itu nampak panik dan ketakutan. “Siapa kau?”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD