Panah Safir Hitam

2632 Words
Gadis itu menggeliat, meregangkan otot-otot tubuhnya di atas ranjang tempatnya berbaring semalaman. Matanya masih terasa berat untuk terbuka. Ia kembali menarik selimut dan menenggelamkan diri sampai seluruh bagian tubuhnya tertutupi. Tidak ada semangat yang menggebu seperti kemarin, saat ia mencoba mengerjai Askar-askar putih kiriman Whichessenova di perbatasan. Badannya mungkin sudah terlalu lelah atas perburuan kemarin. Belum lama sejak ia memejamkan matanya kembali, terdengar suara jendela yang terbuka. Cahaya terang menerobos dari jendela yang kini sudah terbuka lebar. Membuat silau yang tetap bisa Bitale rasakan meski sudah menyembunyikan wajahnya di balik selimut yang cukup tebal itu. “Ayolah, Mosi! Aku masih ingin tidur!” Seseorang yang ia panggil Mosi itu tidak menggubris. Ia membuka satu jendela lagi. Hawa dingin yang masuk, membuat Bitale semakin ingin bersembunyi di balik selimutnya yang tebal. Ini masih terlalu dini untuknya bangkit dari sana. Ia masih ingin kembali ke alam mimpi. Baru saja ia bermimpi indah tentang panah yang menancap tepat pada apel di atas kepala Whicessenova. Tapi, makhluk kecil itu malah merusak semuanya. “Tutup jendelanya, Mosi!” ujarnya dari balik selimut tanpa menyumbulkan sedikit pun kepala dari balik selimut tempat persembunyiannya itu. “No, no.”  Mosi, si makhluk kecil itu menggelengkan kepala. Ia lalu berjalan mendekati ranjang Bitale. Menarik selimut yang sedikit terjuntai ke bawah agar gadis itu tidak sembunyi lagi. Namun, seperti yang sudah ia duga, gadis di balik selimut itu mencengkeram erat selimutnya. Mosi memperkuat tarikan. Terjadilah tarik menarik selimut antara mereka berdua. Sungguh adegan yang sangat tidak elegan untuk seorang putri dari sebuah kerajaan. “Tinggalkan aku sendiri, Mosi!” suara gadis itu sekarang sudah naik satu oktaf. Mulai merasa jengkel dengan kelakuan Mosi kali ini. “No, no,” ucapnya masih dengan tangan yang sibuk tarik menarik selimut. Makhluk itu tidak mau mengalah sama sekali. Sama keras kepalanya dengan Bitale. Gadis itu mendengkus kesal. Akhirnya ia memutuskan untuk melepaskan genggaman tangannya pada selimut. Sementara Mosi seketika terjatuh begitu Bitale melepas cengkeramannya yang kuat. Makhluk itu kini tertimpa selimut yang bahkan ukurannya jauh lebih besar dari pada tubuhnya. “Dasar mahluk kecil nakal!” tukas Bitale yang kemudian turun dari ranjang dengan kesal. Jika saja Mosi tidak mengganggunya pagi ini, ia akan merasakan kebahagiaan yang menggugah harinya meskipun itu hanya dalam sebuah mimpi. Mahluk kecil itu bernama Mosi. Makhluk yang sudah berdiri di samping Bitale sejak gadis itu lahir. Menemaninya dengan sabar, meski beratus-ratus kali gadis itu bertindak keras kepala. Mosi adalah sebangsa Goblin dengan telinga yang meruncing. Hidungnya tidak mancung seperti Odi. Ia memiliki hidung yang bulat seperti buah tomat. Tangan-tangan kecil yang lentik, yang  rupanya bisa mengendalikan sesuatu. Ia juga bisa menghilang dengan cepat, hanya dengan jentikan jari. Odi dan Mosi memang terlihat mirip karena tubuhnya yang sama-sama kerdil, tapi mereka berada di klasifikasi yang berbeda. Kulitnya coklat kehijauan, memakai dress sederhana berwarna gelap. Memiliki mata hitam yang membulat dan lebih besar dibanding manusia. Mata itu lebih berkilau saat berada di tempat yang gelap seperti mata kucing. Ia memiliki sedikit rambut berwarna hitam, menggunakan pita yang juga berwarna hitam. Ia tidak banyak bicara. Paling tidak hanya sepatah dua patah kata yang ia keluarkan dari bibirnya. Namun, Bitale tetap mengerti apa yang ia ucapkan. Meskipun kadang sesekali, gadis itu juga salah paham. “Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan nada yang masih terdengar kesal. Sementara Mosi menaruh kedua lengannya di pinggang setelah ia berhasil keluar dari selimut yang menutupi seluruh badannya.  “Apa yang kau inginkan dariku, wahai mahluk kecil yang nakal?” Bitale bertanya dengan nada yang mengejek. Setelah beberapa saat yang lalu jengkel menguasai kepalanya, melihat Mosi yang kesulitan dengan selimut tebal itu, ia mendadak tersenyum. Tingkah Mosi yang lucu selalu berhasil membuatnya memaafkan segala perbuatan Mosi yang seringkali membuatnya kesal. Ekspersi sebal dari wajah Mosi terpampang. Ia menghela napas, tangannya menjulur ke sebelah kanan. Ada setelan baju yang sudah disiapkan di atas kursi. Gaun hitam selutut dengan pita di bagian pinggang dan bando hitam dengan mutiara-mutiara yang juga berwarna senada. Sungguh elegan.  “Akan ada tamu?” tanya Bitale penuh curiga. Jelas, memakai gaun seperti itu sangat berbeda dengan hari-hari biasa. Ia tidak senang memakai gaun-gaun seperti itu kecuali ada hal penting, atau ada tamu penting. Ditambah, Mosi harus membangunkannya sepagi ini membuatnya bertanya-tanya, ada apa dengan hari ini. “No, no.” Mosi menggelengkan kepala. Tebakan Bitale rupanya salah. “Hmm. Jamuan makan malam? Ini terlalu dini, Mosi! Kenapa kau harus membangunkanku secepat ini untuk makan malam? Sungguh luar biasa mahluk kecil ini.” Gadis itu mulai kumat. Ia senang sekali mengomel, mengoceh, mendumal dan sejenisnya. Apalagi Mosi. Makhluk itu paling sering jadi sasaran Bitale ketika ia berceramah panjang lebar. Mosi membuang napas. “No, no!” Ia menggelengkan kepalanya dengan keras. “Lalu apa?” Tanpa berkata-kata lagi, Mosi menarik baju Bitale. Membukakan pintu. Telunjuknya terus menunjuk ke papan di atas ruangan yang bertuliskan ‘BlackWater.’ Menyuruhnya berjalan ke pemandian. “Baiklah, aku akan mandi. Tidak perlu kau seret-seret begini, Mosi! Kau tidak lihat? Tubuhku lebih besar darimu!” Mosi memang sedikit menyebalkan. Namun, Bitale masih menyukainya. Mosi adalah satu-satunya teman yang ia miliki di Menara Hitam. Sejak dulu. Di saat senang maupun saat terpuruk nya. Gadis itu menuruni anak tangga yang berbentuk seperti tuts hitam pada piano. Setiap kali ia memijakkan kaki, tuts-tuts itu akan mengeluarkan suara perempuan yang merdu. Diikuti dengan langkah Mosi yang juga turun dari ruangan membawa gaun yang sudah ia siapkan di kursi, mahluk itu mengikuti Bitale menuju kolam air panas. Di sana sudah ada beberapa Kawula yang menyiapkan keperluan Bitale. Dari mulai air hangat yang sudah siap dipakai, lilin aroma terapi yang sudah dinyalakan,  Mintly, sampai berbagai macam keperluan yang gadis itu butuhkan. Kolam yang cukup luas, mengeluarkan uap hangat. Tercium aroma mawar yang amat memanjakan hidung. “Baiklah, Bitale. Kita ikuti kemauan Mosi.” Gadis itu bicara pada dirinya sendiri. Perlahan, ia menanggalkan pakaian dan mulai menenggelamkan diri ke kolam air hangat. Meskipun sampai sekarang, ia tak tahu apa sebenarnya yang diinginkan Mosi darinya. Sebelum pintu ruangan itu tertutup, Bitale berteriak pada makhluk kecil yang membuatnya jengkel sejak tadi. “Jika tidak ada sesuatu yang hebat terjadi hari ini, kau harus bersiap menanggung akibatnya, Mosi!” *** “Mosi?” Bitale menyundulkan kepala dari balik pintu kamar pemandian. Ia sudah berpakaian rapi, sesuai dengan keinginan Mosi. Ia bahkan memasang bando bermutiara di rambutnya. Hal yang sangat-sangat jarang sekali ia lakukan. “Ke mana Mosi?” Bitale keluar dari ruangan itu dan mulai menyusuri segala sudut. Mencari Mosi yang sejak tadi memaksanya untuk bangun. Sayangnya, ia belum menemukan Mosi. Makhluk itu entah bersembunyi di mana. “Jangan sampai kau mengerjaiku, Mosi. Atau kau akan terima akibatnya!” tekannya sekali lagi. Ia sungguh-sungguh. Jika makhluk itu benar-benar mengerjainya, ia akan menghukum Mosi. Bitale terus mengedar pandang penuh selidik. Sebenarnya, rasa penasaran juga hinggap di pikiran gadis itu. Jarang sekali Mosi menyuruhnya mengenakan bando bermutiara. Ini jelas tidak terlihat seperti dirinya. Di mana biasanya, gadis itu selalu mengucir kuda rambutnya dengan tali rambut hitam, atau dibiarkannya saja tergerai tanpa hiasan. Akhirnya, setelah beberapa waktu mencari-cari, ia melihat Mosi di sana. Di ujung lorong yang mengarah ke mulut gerbang selatan. Menuju ke sebuah tempat yang sangat ia kenali. Segera, ia berlari menghampiri Mosi yang sepertinya sudah mengambil ancang-ancang untuk menghilang lagi. “Hei, Mosi! Tunggu!” Mosi menengok ke arah Bitale. Memasang senyuman yang mencurigakan. Kemudian ia melambaikan tangannya sebagai isyarat bahwa gadis itu harus mengikutinya. ‘Sekarang apa lagi?’ Bitale membatin. Gadis itu terus membuntuti Mosi yang jauh di depan, bahkan hampir tak terlihat lagi sosoknya. Mahluk itu berjalan di sepanjang lorong menuju mulut gerbang selatan. Tidak ada tanda-tanda sesuatu akan terjadi. Tidak ada keramaian, perayaan, atau apapun. ‘Sebenarnya ada apa?’ Bitale masih membatin. Ia belum mendapatkan petunjuk apapun. Kepalanya tak bisa berpikir. Sampailah mereka di gerbang selatan. Mosi berbelok ke kanan, dengan tangan yang masih terus melambai, ia berjalan menuju Zen Garden. Kebun bunga dengan ribuan Nigrum Rosis milik mendiang Belle, ibunda Bitale yang telah lama mati. Satu tempat yang juga sangat gadis itu sukai. Makhluk itu berhenti di mulut tangga. Ia menjulurkan tangan, mempersilahkan Tuan Putri untuk menuruni anak tangga yang ada di hadapannya. Langkah demi langkah, Bitale turun menuju lautan mawar hitam yang masih menguncup. Belum waktunya untuk mereka bermekaran. Sementara, di tengah sana terdapat bangunan kecil dengan empat pilar berwarna hitam. Rottage, begitulah tempat itu dinamai. Rottage adalah tempat di mana Belle menghabiskan waktu semasa hidup dengan memandangi Nigrum Rosis yang rasanya seperti bayi-bayi yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri. Biasanya, ia akan melukis Nigrum Rosis kesayangannya yang bergoyang-goyang karena tertiup angin. Tidak ada tempat lain yang ia sangat sukai selain satu tempat kecil di tengah-tengah Zen Garden ini. Terlihat seseorang berjubah hitam berdiri di tengah-tengah Rottage. Orang itu memandang lurus ke hamparan Nigrum Rosis yang sesekali bergoyang tertiup angin. Di sebelahnya, ada sesuatu yang ditutupi kain hitam. Seseorang itu membalik badan ketika gadis itu sampai di sana. “Selamat pagi, Ayah.” Ia membungkukkan badan, sebagai rasa hormat kepada seseorang yang ternyata adalah ayah sekaligus pemimpin wilayah Blason, Blachessier. Lelaki tua berjanggut yang bijaksana. Lelaki tua itu tersenyum. Tak lama, ia berkata, “Kemarilah, Bitale. Aku akan menunjukkan sesuatu padamu.” Segera, gadis itu menghampirinya. Ia berjalan dengan hati-hati. “Apa itu, Ayah?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Bitale setelah melihat sesuatu yang tertutupi kain hitam terletak tak jauh dari tempat Blachessier berdiri. Rasa penasaran mulai menggerogoti kepalanya lagi. ‘Mengapa hari ini dadaaku dipenuhi rasa penasaran? Ada apa dengan orang-orang ini?’ celetuknya dalam hati. “Untukmu,” ujar lelaki tua itu tanpa menoleh ke arah gadisnya. Ia masih senang memandangi bayi-bayi hitam yang dibesarkan Belle di depan sana. Bitale menatap Blachessier dengan mimik kebingungan. Seperti tidak percaya. Akhirnya, ia menegaskan nya sekali lagi. “Untukku?” Blachessier tersenyum. Senyuman yang begitu teduh, meski siapa pun yang menatap lelaki tua itu akan mengira bahwa ia berhati dingin, sama seperti Drake si Warlords Hitam. Ia memang bijaksana. Tapi, wajahnya juga terlihat menakutkan ketika ia sedang serius. “Hadiah ulang tahunmu, Bitale,” ujar Blachessier lagi. Rupanya, ia menyiapkan hadiah itu untuk Bitale karena hari ini adalah hari kelahirannya. Gadis itu tertawa, ia bahkan tidak ingat hari ulang tahunnya sendiri. "Bagaimana mungkin anak semuda ini melupakan hari ulang tahunnya sendiri?” Blachessier turut tertawa. Mengelus rambut Bitale yang tampak semakin cantik setelah memakai bando mutiara yang disiapkan Mosi. Sementara, Mosi yang memandangi mereka dari dekat pintu turut tersenyum senang. Hari ini, ia berhasil membuat keduanya tersenyum dengan hangat, satu sama lain. ‘Pantas saja Mosi menyuruhku berpakaian seperti ini,’ Gadis itu lagi-lagi membatin, matanya melirik Mosi yang masih memperhatikannya dari podium setelah pintu masuk. Dan seperti biasa, mahluk itu terus memasang senyumannya yang khas. Senyuman yang hanya Mosi yang memilikinya. Karena bagi Bitale, Mosi hanya satu, Mosi tetaplah Mosi dan tidak akan ada Mosi-Mosi yang lain. “Bisakah aku buka hadiahnya sekarang, Ayah?” Bitale kembali fokus pada sesuatu yang ditutupi kain hitam. Gadis itu penasaran, apa yang akan diberikan Blachessier untuknya di hari yang sespesial ini. Sebelumnya, gadis itu memang sedang mengidam-idamkan sesuatu. Namun, berat rasanya untuk merengek pada Blachessier. Sejak kecil, Bitale tak terbiasa untuk melakukan hal seperti itu. “Silakan.” Tangan Blachessier menjulur, mengisyaratkan bahwa Bitale boleh membuka hadiah ulang tahunnya. Mata gadis itu menjadi berbinar tepat setelah kain yang menutupi hadiah itu tersingkap. Sesuatu yang tidak pernah ia sangka. Sesuatu yang sejak dulu ia inginkan. Kini, ia melihat benda itu tepat di depan matanya. “Panah Safir Hitam!” Hampir saja ia berteriak, saking senangnya. Blachessier yang melihat tingkah anak semata wayangnya itu pun turut tertawa. Kebahagiaan Bitale adalah kebahagiaan untuknya. Melihat gadisnya tertawa dengan begitu ceria adalah satu-satunya obat penenang ketika ia merindukan Belle yang sudah tenang di alam sana. Di balik kain hitam itu, ada seperangkat busur panah yang telihat mengkilap yang juga berwarna hitam. Pada bagian atas Riser terukir nama Bitale. Terlihat juga batu safir hitam kecil sebagai aksesoris yang mempercantik busur panah tersebut. Bitale mengusap busur panah itu dengan hati-hati. Tak henti-hentinya ia memandang takjub, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. “Grip yang dilapisi bulu serigala.” Bitale mulai melihat secara detail busur panah yang ia idam-idamkan. Ia bahkan mengelilingnya berkali-kali, untuk melihat tiap-tiap bagian dari jarak yang sangat dekat. “Batu safir hitam yang membuatnya terlihat begitu mewah." Gadis itu begitu antusias. Ia terus saja berputar mengitari busur panah, sampai Mosi yang memandangnya dari atas sana menjadi pusing karena Bitale terlihat seperti gasing. “Bahkan ada namaku di sini!” ucapnya lagi-lagi hampir berteriak. Lagi-lagi, Blachessier tertawa karenanya. “Oh, tidak. Lihatlah anak panah ini.” Bitale mengelus pelan barisan anak panah dengan bulu hitam di bagian belakangnya. Ujung panah yang begitu tajam, ditutupi dengan penutup karena itu tajam dan beracun. “Mengapa mereka terlihat cantik sekali?" Bitale memang sangat menyukai panah. Sejak kecil, ia selalu senang ketika melihat Centaur berlatih, melesatkan anak-anak panah pada papan sasaran. “Kau menyukainya?” Blachessier akhirnya berkesempatan untuk bertanya, setelah Bitale yang begitu antusias pada hadiahnya tidak peduli pada hal lain di sekelilingnya. “Sangat! Aku sangat menyukainya. Terima kasih, Ayah. Aku cinta Ayah!” Gadis itu berhambur memeluk Blachessier. Lelaki tua itu tersenyum. Tidak peduli kalau tubuh anak gadisnya sudah besar, baginya Bitale tetap gadis kecil yang selalu ia cintai. Baginya, Bitale tetap bayinya yang mungil dan menggemaskan. “Lalu, bolehkah aku mencobanya?” Gadis itu melepas pelukan. Sesuatu mulai muncul di kepala nya. ‘Bukankah ini bisa menjadi alasanku untuk kembali ke Forestan?’ Gadis itu tersenyum. Ia berpikir, betapa pintar dan cerdiknya seorang Bitale. “Dengan anak panah cantik itu?” Blachessier bertanya. Anak panah itu memang berbeda. Hanya ada beberapa, juga racun yang dipakai pada ujungnya bukan sembarang racun. Ia berpikir bahwa anak panah ini hanya boleh digunakan di saat-saat tertentu. “Tidak, aku hanya akan memakai busur. Aku tidak akan membuang-buang anak panah yang sudah dibuat secara istimewa ini. Akan ada waktunya, aku akan memakai anak panah hitam di saat yang tepat.” Seolah tahu akan ada hal besar yang terjadi, perkataan Bitale membuat Blachessier berpikir bahwa gadis itu sudah mengetahui sesuatu. “Bolehkan, Ayah?" Mata itu berubah, seperti kucing yang pupilnya membesar sedang merayu pemiliknya untuk meminta jatah makanan. Membuat Bitale terlihat begitu memelas. Sejenak, hening menggelayut di antara keduanya. Blachessier tahu, kalaupun ia berkata tidak, gadis itu akan tetap mengendap-endap keluar dan itu lebih berbahaya. Bukankah lebih baik baginya jika Bitale pergi di bawah pengawasannya? “Bawalah seseorang untuk menjagamu.” Akhirnya ia menemukan jalan keluar setelah hening beberapa saat menenggelamkan keduanya dalam pikiran masing-masing. Blachessier yang berpikir bahwa anak gadisnya akan tetap kabur jika ia larang untuk pergi, dan Bitale yang berpikir bahwa ini adalah cara yang tepat untuk kabur dari tempat yang menurutnya membosankan ini. “Aku akan membawa Mosi, Ayah.” Seketika wajah Blachessier terlihat kaget setelah mendengar jawaban dari mulut Bitale. “Mosi? Mengapa tidak Drake atau Leto? Atau bawalah salah satu Centaur. Bukankah Centaur ahli dalam hal memanah? Benar, ajak Lori. Ia akan mengajarimu memanah.” Namun, gadis itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, Ayah. Aku akan pergi dengan Mosi.” “Tapi-“ Ada raut cemas di wajah Blachessier, bagaimana mungkin seorang Mosi bisa melindungi putrinya? Meskipun Mosi memang selalu ada di samping Bitale sejak gadis itu lahir, tapi ia tidak memiliki kekuatan untuk melawan serangan. Ia hanya ditakdirkan menjadi seorang teman yang melayani keperluan Bitale, yang bisa menghilang dan muncul secara tiba-tiba, bukan sebagai pelindung dari ancaman Whichessenova. “Percayalah padaku, Ayah.” Namun, Bitale tetaplah Bitale. Gadis itu memang kepala batu. Semua orang di dalam Menara Hitam ini sudah hafal itu. Sementara lelaki tua itu tidak dapat berkata-kata lagi. Diamnya Blachessier ia anggap sebagai tanda setuju. Gadis itu menundukkan badan. Meraih Panah Safir Hitam yang sejak tadi membuat dadaanya berdebar, melenggang pergi meninggalkan Blachessier yang masih berdiri di tengah Rottage. “Ayo, Mosi! Mari kita bersenang-senang.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD