Menara Putih

2481 Words
‘Aku tahu itu pasti hanya mimpi.’ Begitulah kalimat pertama yang ia gumamkan saat kedua matanya terbuka dan menangkap langit-langit kamar yang berwarna putih. Warna yang sama dengan lelangit kamar miliknya. Ia sedikit lega, bahwa akhirnya ia terbangun dari mimpi buruk yang benar-benar mengerikan. Anak lelaki itu menghela napas panjang setelah beberapa saat membuka mata. Mimpi buruk itu terasa benar-benar nyata baginya. Bagaimana ia berlari dengan rasa terbakar di sekujur tubuh, bagaimana tangisan-tangisan itu menghujani telinganya dan membuatnya serasa menggila, bagaimana akar-akar yang mencuat dari tanah itu melilit kakinya, bagaimana ia tergelincir jatuh ke sungai dan mendengarkan alunan yang selalu Winessa dendangkan untuknya, sampai perempuan mengerikan dengan taring-taring panjang di mulutnya yang siap menelan anak lelaki itu hidup-hidup. Begitu juga dengan dingin yang menusuk tulang, ia dapat merasakan itu semua. Seolah benar-benar terjadi pada dirinya. Kini, hangat menyelimuti tubuh. Seperti selimut miliknya, yang selalu ia kenakan saat tidur. Ia mulai mengedar pandang, memastikan bahwa ia benar-benar sudah bangun dari mimpi yang sangat tidak masuk akal. Namun, wajah itu kembali mengeluarkan raut keheranan saat menemukan lampu gantung dari berlian di tengah ruangan. ‘Sejak kapan lampu kamarku jadi semewah ini?’  Ia bertanya tanya dalam hatinya. Anak lelaki itu mencari dua sosok yang bergentayangan di kepalanya bahkan sejak pertama kali membuka mata. Winessa dan Hores. Satu lagi, Lawson. Terakhir kali, bukankah ia melihat wajah Lawson? Apakah Lawson yang datang padanya dan menjemput mereka berdua juga sebuah mimpi? “Ibu?” Ia memanggil wanita itu, tapi tidak ada jawaban. Biasanya, begitu ia menyuarakan seruan itu, Winessa akan berhambur menghampiri nya. Atau paling tidak berteriak, menjawab panggilan Halum. “Hores?” Hening. Ia hanya seorang diri di dalam ruangan yang luas ini. Tidak ada jawaban dari keduanya. “Lawson? Siapa pun! Kenapa tidak ada satu orang pun yang menyahut?” Anak lelaki itu bertanya-tanya. “Jangan-jangan, aku masih bermimpi?” Halum mulai menerka-nerka, bukankah hal tidak masuk akal selalu ada dalam sebuah mimpi? Ia meraba ranjang yang ditidurinya. Terasa begitu lembut dan amatlah luas. Ini jelas bukan ranjang rumah sakit yang biasanya hanya cukup untuk satu orang. “Apa aku sedang di rumah sakit?” Ia mencoba untuk berteriak, memanggil siapa pun yang ia pikir mungkin ada di sana. “Halo? Dokter? Suster?” ‘Aku belum pernah melihat ranjang rumah sakit seluas ini,’ pikir anak lelaki itu. Halum bertanya-tanya. Mungkinkah ini benar-benar di rumah sakit? Atau, ia masih bermimpi? Namun, menurutnya ini berbeda dari mimpi buruk yang baru ia alami. Tidak ada akar-akar aneh yang mencuat dari dalam tanah lalu menarik-narik kakinya. Tidak ada tangisan-tangisan yang merobek-robek pendengaran. Tidak ada mahluk menyeramkan yang siap menikam dan menelannya hidup-hidup. Tidak ada. Begitu pun dengan pinus-pinusnya. Tidak ada. Setidaknya mimpinya kali ini sedikit lebih baik. Meskipun sama saja memusingkan dan membingungkan untuknya. ‘Jika tadi aku sudah bermimpi buruk, apakah sekarang aku sedang bermimpi indah?’  tanyanya dalam hati. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. “Atau ada yang salah dengan kepalaku?” Halum meraba kepalanya. Ia tak menemukan luka, perban atau apapun yang membalut kepalanya seperti orang-orang yang baru saja mengalami kecelakaan. Bukankah seharusnya ada perban di sana? Mengingat bagaimana kecelakaan itu menghantam kepalanya hingga darah merembes dan menggenang di sana. ‘Kejanggalan kedua.’ Anak lelaki itu terus membatin. Ia ingat, terakhir kali kepalanya terbentur dan mengeluarkan darah. Namun, tidak terjadi apapun padanya kini. Ia benar-benar baik-baik saja. Yang ia rasakan hanya kebingungan. Ia mencoba duduk. Memperhatikan satu per satu sudut ruangan yang luas ini. Gorden berwarna putih, dinding, hiasan-hiasan yang juga berwarna putih, sprei, selimut, bantal semuanya berwarna putih. Bahkan pintu yang tertutup rapat pun memiliki warna yang sama. “Jangan-jangan, yang tadi itu bukan mimpi buruk?” Lagi-lagi asumsi demi asumsi keluar dari mulutnya. Ia kini terlihat persis seperti Whichessenova yang gemar berbicara sendiri. Ia mengedar pandangannya ke sekeliling. Mencoba mencari petunjuk tentang di mana tubuh anak lelaki itu tersesat sekarang. Siapa yang membawanya ke ruangan ini, dan apa yang akan sesorang itu lakukan padanya. “Jangan-jangan mahluk mengerikan itu sudah menikamku sampai mati dan sekarang aku ini berada di surga?” Sepertinya ia mulai kehilangan akal. Semua nampak mungkin baginya kini. ‘Apakah ini benar-benar surga?’ Anak lelaki itu terperangah. Membayangkan jika benar yang ada di kepalanya itu merupakan fakta yang tak terbantahkan lagi. Namun, sejenak kemudian Halum menelan ludah. Bukankah itu artinya ia tak bisa bertemu dengan Winessa dan Hores lagi? Bukankah itu artinya, ia tak bisa kembali? “Tidak, tidak!” Halum menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini tidak benar baginya. “Ini pasti hanya mimpi. Tidak mungkin kan aku mati begitu mudah?” Ia memejamkan mata. Menarik napas yang panjang. Mencoba untuk tenang, tapi ia tetap tak bisa tenang. “Ibu, tidak bisakah kau jemput aku dari mimpi yang aneh ini?” Anak lelaki itu mulai merengek. Tiba-tiba pintu itu terbuka setelah terdengar ketukan sebelumnya. Muncul sesosok makhluk berbadan kecil dengan topi runcing berwarna putih. Hidungnya mancung, terlihat seperti milik Halum tapi berbeda dengan manusia biasa. Memanjang ke depan, persis seperti milik penyihir hitam di televisi. Telinganya bulat dan meruncing di bagian ujung seperti sendok. Ia memakai pakaian serba putih dan sepatu bulat yang juga berwarna senada. Mahluk ini memiliki rambut keriting. Ia juga memiliki janggut seperti lelaki tua, berwarna putih. “Kau sudah bangun, Tuan Muda?” Makhluk itu bertanya pada anak lelaki itu. Sementara, ia yang masih bingung dengan apa yang terjadi hanya bisa mengangguk kikuk. Ragu-ragu. Orang kerdil itu berjalan menghampiri ranjang Halum. Ia berdiri persis di sebelah ranjang, tapi Halum tidak dapat melihatnya karena ia terlalu pendek, atau mungkin ranjang anak lelaki itu lah yang terlalu tinggi. Anak lelaki itu tertawa kecil. Tawanya yang pertama sejak ia menginjak tempat aneh ini. Setelah beberapa waktu ia hanya bisa kebingungan. “Aku tidak bisa melihatmu, mahluk kecil. Diam di situ! Aku akan turun,” ujar Halum begitu melihat makhluk kerdil itu tak bisa menjangkaunya. Anak itu turun dari ranjang dan lagi-lagi merasa kebingungan yang terjadi pada tubuhnya. “Ada apa Tuan Muda?” makhluk kerdil itu bertanya. “Kenapa aku tidak merasakan apapun?” Orang kerdil di depannya hanya mengedip-kedipkan mata. Tidak mengerti apa maksud Halum. Tidak paham dengan maksud Tuan Mudanya yang tidak merasakan apapun. “Aku baru saja terjatuh, tergelincir, bahkan kakiku terkena akar-akar yang begitu kuat. Bukankah seharusnya kakiku terluka? Bagaimana mungkin aku baik-baik saja?” “Kau, lihatlah kakikku!” tambahnya lagi. Halum memutar-mutar badannya. Memainkan kakinya yang memang tidak terasa sakit. “Aneh bukan?” Anak lelaki itu terus mengeluarkan pertanyaan yang tidak ia mengerti mengapa terjadi demikian. Sementara makhluk kerdil itu hanya tersenyum melihat tingkah Sang Tuan Muda. “Mungkin karena lukanya sudah sembuh.” “Secepat itu?” Alis Halum naik. Tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Rasanya tidak mungkin lukanya akan sembuh dalam waktu satu malam. Bukankah itu terlalu ajaib? “Seminggu bukankah waktu yang tidak sebentar, Tuan Muda?” “Tunggu! Seminggu?” Halum lebih kaget lagi. ‘Rupanya aku tertidur selama itu?’ batinnya. “Lalu, kau ini siapa? Tidak, lebih tepatnya kau ini apa?” Orang kerdil itu menaruh kedua tangannya di depan perut lalu menunduk perlahan. Itu adalah tanda penghormatan pada orang yang disegani. “Hamba adalah Odi. Pelayan setia Tuan Muda. Hamba adalah sebangsa Dwarf yang berevolusi. Biasanya Dwarf senang di tempat gelap, tapi tidak bagi kami yang sudah berevolusi. Kami bahkan tahan matahari-“ ucapannya terpotong. Mahluk kerdil itu mendongak ke atas, melihat ke kiri dan kanan. Tidak ada cahaya matahari yang masuk menerobos jendela pada ruangan itu. “Meskipun matahari sepertinya tidak terlihat dari sini. Hamba akan selalu melayani Tuan Muda dengan sepenuh hati.” ‘Dwarf?’ Halum menggaruk-garuk kepalanya. Mahluk di depannya ini memang kerdil dan terlihat seperti kurcaci, persis dengan yang ia lihat pada film Snow White saat kecil dulu. Namun, topi kerucutnya mengingatkan Halum pada Katai, mahluk bawah tanah yang suka mengikuti jejak manusia dan tidak bisa terkena sinar matahari. Hidung dan telinga yang meruncing mengingatkannya pada Goblin, si nakal yang suka mencuri barang-barang yang berkilau seperti emas. Ia ingat Winessa sering menceritakan dongeng-dongeng itu sewaktu Halum kecil. Benarkah ia terdampar di dunia dongeng? “Penambang emas seperti di film Snow White?” Odi menggelengkan kepala, “Tidak, Tuan Muda. Hamba hanya akan melayani Tuan Muda. Hamba bukan penambang emas.” ‘Terserahlah. Masa bodoh dengan mahluk ini. Bukankah dia bilang dia adalah pengabdi setiaku? Dia akan melakukan apapun yang kupinta ‘kan?’ Halum memandangi mahluk itu dari atas sampai bawah secara perlahan. Dari ujung topi, sampai ke sepatu bulat yang makhluk itu gunakan. “Jadi, kau akan menuruti semua perintahku?” Halum tersenyum licik begitu mendengar kalimat pengabdian yang keluar dari bibir Odi. Orang kerdil itu mengangguk. “Dengan kata lain, kau ini babysitter ah tidak, aku sudah cukup dewasa untuk kata babysitter. Asisten! Benar, jadi anggaplah kau adalah asisten pribadiku sekarang. Begitu, kan?” Halum menegaskan kembali maksud kehadiran Odi disampingnya. Mahluk kerdil itu menganggukkan kepala dengan senyum yang mengembang di bibir. “Apakah ada pertanyaan lagi, Tuan Muda?” “Kau ini pelayanku, tapi terdengar seperti guruku di kelas. Guruku juga selalu bertanya, ‘Apakah ada pertanyaan?’” Anak lelaki itu mulai menggerutu. Terserah mahluk apa yang ada di hadapannya kini. Ia tidak peduli, yang ia tahu hanya satu, mahluk itu akan menuruti apapun yang Halum inginkan. Apapun. Tolong digaris bawahi, apapun. Odi yang mendengar celotehan Halum hanya menundukkan kepala. Menunggu kalimat tanya yang keluar dari bibir Tuan Muda selanjutnya. Ia tahu, pasti anak lelaki itu memiliki segudang pertanyaan tentang tempat ini. “Ah, iya. Aku ini sebenarnya ada di mana?” Benar saja. Belum lama makhluk itu tertunduk, Halum sudah mengeluarkan lagi pertanyaan. Odi mulai menegakkan kepala, telunjuknya mulai mengacung ke udara. Tak lama, terlihat gambar yang melayang di atasnya. Sebuah kastil berwarna putih yang begitu megah. “Saat ini Tuan Muda sedang berada di Menara Putih.” Anak lelaki itu takjub. Matanya terus berbinar memandangi gambaran Menara Putih yang entah mengapa bisa terpampang di ujung telunjuk Odi. Seperti sebuah sihir dalam cerita Harry Potter. “Jadi, ini bukan surga?” Odi menggeleng, senyum tidak pernah alfa dari bibirnya. Se menjengkelkan apapun Halum, yang ia lakukan hanyalah bersabar akan sifatnya. Karena setelah ini, Odi akan menghabiskan banyak waktu bersama anak lelaki itu. “Ini adalah Shatranj. Memang hamba akui, tempat ini juga ajaib dan menakjubkan.” ‘Shatranj?’   Rasa-rasanya, Halum berpikir itu adalah sebuah tempat yang tak asing baginya. Ia sering mendengar nama tempat tersebut. Seolah sudah terpatri di dalam kepala Halum. “Silakan, Tuan Muda.” Tangan makhluk kerdil itu menjulur, mempersilakan Halum keluar dari ruangan tersebut. Dijajakinya tangga-tangga bulat bening yang terlihat seperti piringan kaset raksasa. Baru selangkah anak tangga itu dipijaknya, ia beringsut mundur, Halum menarik kakinya kembali ke atas. Ketakutan. “Apa itu? Mengapa piringan itu mengeluarkan cahaya?“ Ia terkejut melihat cahaya yang terpancar begitu kakinya menginjak anak tangga. Ia pikir bahwa sesuatu akan terjadi padanya. “Itu adalah piringan cahaya, Tuan Muda. Tidak perlu khawatir, Tuan Muda tidak akan terluka. Ini adalah inovasi terbaru dari anak tangga. Tidak perlu takut terjatuh, di sisi kanan ada penghalang tersembunyi. Begitu Tuan Muda terpeleset, dinding penghalang tersembunyi itu akan menahan tubuh agar tidak terjatuh.” Meskipun terdengar keren, Halum belum percaya sepenuhnya bahwa benda ini benar-benar aman. Sebelumnya, ia tak pernah menemukan tangga dengan model serupa. Ragu-ragu, kaki itu mulai melangkah. Pelan sekali. Seperti anak kecil yang mencoba belajar turun dari tangga, seperti yang ia lakukan dahulu saat ia kecil. Ia mencoba meletakkan tangannya di sisi kanan demi membuktikan perkataan Odi bahwa piringan cahaya ini benar-benar memiliki penghalang tersembunyi. Lagi-lagi anak lelaki itu merasa takjub. Tangannya seperti meraba sesuatu di udara. Benar-benar dinding yang tidak terlihat sedang menjaganya saat turun dari piringan cahaya. Rasanya seperti ia sedang dalam sebuah film, lagi dan lagi. Sesampainya di bawah, mulut Halum menganga. Lagi-lagi anak itu terkesima. Pilar-pilar besar yang berwarna putih berjajar begitu rapi seperti bangunan arsitektur romawi yang berkolaborasi dengan gaya modern. Lampu gantung yang bahkan jauh lebih besar dibanding yang baru saja ia lihat di kamarnya begitu mewah. Lantai marmer berwarna putih memantulkan bayangan dirinya. ‘Sebenarnya tempat apakah ini? Mengapa terlihat seperti sebuah istana?’ “Hamba akan mengajak Tuan Muda untuk berkeliling.” Begitu yang diucapkan Odi ketika mereka memijak lantai marmer tersebut. Sementara itu, Halum masih menatap kagum, tidak mengedipkan matanya barang sebentar. Ia menangkap apapun yang terpampang di hadapannya. Pemandangan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan sama sekali oleh anak lelaki itu. Ia tak lagi mengingat kejadian mengerikan yang menimpanya satu minggu yang lalu. Tempat ini benar-benar membuatnya tersihir. Rasa ketakutannya terobati hanya dengan berkeliling di dalam bangunan yang luar biasa ini. Tak lama, ada pemandangan yang membuat Halum semakin penasaran. “Siapa mereka?” Halum menunjuk perempuan-perempuan yang berada di pilar terujung. Mereka yang berjalan beriringan seolah sedang dikomando karena begitu rapi berbaris. Mereka mengenakan gaun sebetis berwarna putih, rambut yang dikundai dan memakai pita berwarna putih. Perempuan-perempuan itu berbaris membelakangi Halum, berjalan dengan serempak. Masing-masing dari mereka membawa sesuatu. Namun, karena jarak pandang yang cukup jauh, anak lelaki itu tidak tahu apa yang mereka bawa. Lagi-lagi, Odi mengacungkan telunjuknya. Terlihat gambar seorang perempuan dengan rambut yang dikundai, memakai gaun putih dan pita putih di rambutnya. Gambaran lebih dekat dari mereka. “Itu adalah para Kawula. Mereka akan menyiapkan segala keperluan dapur dan seisi Menara Putih.” “Seperti koki kerajaan?” Odi mengibaskan udara tepat di depan gambar yang muncul dari telunjuknya. Seketika, gambar itu berubah menjadi para Kawula yang sedang sibuk dengan pekerjaan dapur. “Lebih tepatnya, dayang-dayang, mungkin?” Odi mengibaskannya lagi, dan gambar itu berubah menjadi ruang pemandian air panas. Di sana, beberapa Kawula sedang menyiapkan perlengkapan mandi. Termasuk air hangat, sari bunga, tambahan s**u, dan beraneka sari tumbuhan yang telah diekstrak untuk kesehatan kulit dan rambut. Setelah mengerti dengan penjelasan singkat Odi, anak lelaki itu pun mengangguk. ‘Jadi aku terdampar di suatu tempat yang bernama Menara Putih dan menjadi tamu kehormatan, bukankah menyenangkan sekali? Aku bahkan memiliki seorang asisten pribadi!’’ Halum mengangguk-anggukan kepalanya dengan senyuman yang lagi-lagi terlihat licik. “Termasuk melayaniku?” Sekali lagi ia bertanya yang kemudian disusul anggukan kepala Odi. ‘Benar, bukan?’ “Lalu, ke mana mereka akan pergi?” Halum kembali bertanya setelah melihat mereka mulai menghilang, memasuki sebuah ruangan di sebelah kiri. “Mereka akan menyiapkan jamuan makan malam, Tuan Muda.” Anak lelaki itu mengangguk, meskipun entah jamuan makan malam yang bagaimana yang dimaksud Odi. Mungkin sama saja seperti Dinner  yang dilakukannya dengan Winessa, Hores, Tante Anna dan Lawson saat malam natal tiba. Atau, seperti sebuah makan malam romantis yang ia impikan saat bertemu dengan pujaan hatinya nanti. Entah, anak lelaki itu tidak tahu. “Tuan Muda harus mempersiapkan diri. Raja Whicessenova ingin melewati jamuan makan malamnya bersama Tuan Muda.” Sejenak, anak lelaki itu terdiam mendengar nama yang baginya sulit diucapkan. “Sebentar, Raja Wices?” “Raja Whicessenova.” “Whices-“ “Raja Whicessenova, Tuan Muda.” ‘Tunggu, Whichessenova?’   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD