Sandera

2629 Words
  “Kau harus ikut denganku, Penyusup Kecil!” Bitale menarik lengan anak lelaki itu dengan kasar. Gadis itu masih tidak percaya kalau Hores bukan suruhan Whichessenova, musuh bebuyutan seisi Blason sekaligus orang yang paling ia benci. Dilihat dari kaus putih yang digunakan Hores, ia berpikir kalau anak lelaki itu sudah pasti penyusup yang diperintah Whichessenova untuk mengacau di Menara Hitam. Apalagi, bukankah akhir-akhir ini si lelaki berambut uban itu memang sering mengirimkan mata-mata untuk mengawasi Utusan Langit yang kemungkinan akan jatuh di perbatasan. “Ta-tapi aku bu-bukan-“ Anak lelaki itu berbicara terbata-bata karena gugup. Bagaimana tidak? Ia baru saja tersesat di tempat yang entah ia pun tak tahu di mana. Sendirian. Dan sekarang, anak lelaki itu harus bertemu dengan gadis yang terus mengatainya sebagai penyusup. Ditambah, tatapan dari gadis itu sangat mengintimidasi. “Tidak perlu membantah! Kau bahkan tidak kuizinkan untuk bicara, mengerti?” Gadis itu masih memasang wajah garang. Baginya, Whichessenova dan semua orang yang ada di pihaknya bagaikan hama yang harus ia pangkas sampai habis. Tidak ada lagi kata ampun, apalagi setelah kekacauan yang terjadi antara Blason dan Whiterdante. “Ti!” Mosi si makhluk kecil yang selalu ada di samping gadis itu tiba-tiba menyahut, yang akhirnya membuat anak lelaki itu sedikit melupakan rasa tegangnya. Ia akhirnya bisa tertawa demi melihat tingkah makhluk yang sejak awal menarik perhatiannya sampai akhirnya ia bertemu dengan Bitale. “Bukan kau, Mosi!” Gadis itu terlihat jengkel dengan jawaban yang keluar dari bibir Mosi, sedang makhluk yang ia teriaki itu beringsut mundur, menyembunyikan badan di punggung anak lelaki yang Bitale yakini sebagai seorang penyusup yang bodoh, sama seperti tiga askar sebelumnya. “Kau, kalau sampai terbukti kau adalah penyusup, kau akan mati di tanganku!” Ancaman Bitale tterdengar begitu erius. Lagi-lagi tatapan tajam keluar dari matanya. Sementara Hores yang tadi sempat tertawa karena ulah Mosi, kini menjadi ketakutan. Bagaimana mungkin perempuan di depannya ini terlihat seperti preman yang senang menjegal dan memalak orang-orang tak berdaya di stasiun? Anak lelaki itu mendumal, “Kukira preman hanya ada di duniaku saja. Di alam mimpi pun ada rupanya. Bahkan lebih parah, karena ia seorang perempuan.” Bitale yang mendengar gumaman anak lelaki itu menoleh. “Preman?” Kata-kata yang diucapkan Hores terdengar asing di telinganya. Ia tidak pernah mendengar kata preman sebelumnya. Di Shatranj, tidak ada profesi atau pangkat yang bernama Preman. Ia hanya tahu Raja, Warlord, Elephas, Centaur, Askar, Kawula, Goblin, tidak dengan preman. 'Apa itu preman?’   Gadis itu mengerenyitkan dahi, yang akhirnya membuat Hores bertanya padanya. “Kau bahkan tidak tahu preman?” Anak lelaki itu kini menatapnya sedikit lebih berani. Gadis itu tidak sepintar yang ia kira, pikirnya. “Sejenis apa? Seperti Warlord? Atau Elephas?” “Preman itu orang jahat yang kuat!” “Kalau tentang kuat, mereka berdua memang kuat.” Gadis itu berpikir mungkin di sana Whichessenova mengganti nama Warlord atau Elephas menjadi Preman. “Dan mereka orang jahat?” “Hanya kepada musuh sepertimu.” Gadis itu melayangkan kembali tatapan tajamnya. Ia berpikir, mengapa juga ia harus berbicara dengan penyusup bodoh yang tertangkap basah ini. “Baiklah, anggap saja aku sedang tidak beruntung karena harus bermimpi terdampar di tempat mengerikan yang dipenuhi orang jahat seperti kalian.” Mendengar anak lelaki itu berkata demikian, Bitale kembali meninggikan suaranya. “Kau lah yang jahat di sini, bodoh! Dan satu lagi, kau tidak sedang bermimpi. Perlukah kau kutampar agar kau segera sadar?” “Me-memang apa yang telah aku lakukan padamu? Sejak kapan aku melakukan hal jahat?” Awalnya anak lelaki itu gugup. Namun, perdebatan ini mengingatkannya pada Halum. Ia sudah terbiasa untuk membantah. Maka yang ia lakukan hanya perlu menganggap perempuan ini sebagai kakaknya dan melawan ketika apa yang ia ucapkan tidak sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Ia mulai berani menatap mata gadis itu. “Apa aku meminum jus jerukmu? Merebutnya mainanmu? Mengusili PRmu? Tunggu, kau saja mungkin tidak tahu apa itu PR. Kau tahu kan? Pekerjaan rumah! Baiklah, apa aku menyakitimu? Jelas-jelas kau yang mengacungkan s*****a itu ke arahku. Bisa dilihat kan siapa yang jahat sebenarnya?” Gadis itu membuang muka. Ia tidak ingin mendengar ocehan yang lebih banyak lagi keluar dari mulutnya. “Naik!” Bitale menyuruh anak lelaki itu menunggangi kuda. Sebelumnya ia tak pernah melakukan ini. Anak lelaki itu nampak kebingungan. “Bagaimana.... “ “Kau tidak tahu cara menaikkinya?” Satu poin tambahan untuk Bitale. Gadis itu tersenyum mengejek setelah tadi anak lelaki itu membantahnya dengan banyak perkataan yang membuatnya kehabisan kata-kata. “Ini kan tinggi. Dan, sepertinya tidak ada tangga di sini.” Namun, Hores benar-benar polos. Anak lelaki itu mengedarkan pandangannya untuk mencari tangga yang bisa membantunya naik ke atas kuda. “Bisa-bisanya Whichessenova mengirim penyusup yang bodoh sepertimu.” Bitale memutar matanya. Mengapa anak ini payah sekali? “A-aku tidak bodoh. Aku sering mendapat nilai A di kelasku!” Hores membantah. Ia tidak suka jika gadis itu mengejeknya bodoh karena Pak Sam selalu bilang kalau ia adalah anak yang pintar di kelasnya. “Nilai A? Kelas?” “Iya. Kau tidak tahu? Kau tidak pernah sekolah? Dasar bodoh!” Anak lelaki itu tertawa puas. Ia bisa membalas perkataan Bitale. Ternyata, melihat gadis itu marah begitu menyenangkan. Sama seperti melihat kakaknya ketika sudah kalah telak. “Terserahlah! Sudah! Injak pijakan ini dengan kaki kirimu dan biarkan kaki kananmu menjangkau kudanya.” Bitale mengarahkan anak lelaki itu sampai akhirnya mereka bertiga berhasil menunggangi kuda yang Bitale bawa. Gadis itu mulai memegang kendali kuda dan membiarkannya berlari memecah gelap yang masih setia memayungi Blason. Sementara Hores yang tidak tahu akan dibawa ke mana mulai bertanya-tanya. Akankah ia dibawa ke tempat yang lebih buruk dari ini? “Ke mana kau akan membawaku pergi?” Anak lelaki itu akhirnya berani bertanya setelah beberapa saat mereka menunggangi kuda. “Tidak usah banyak bicara!” Sementara gadis itu menjawabnya dengan ketus. Ia tidak perlu memberikan penjelasan pada lawannya itu bukan? “Kan aku ingin tahu. Ibu bilang, kita tidak boleh ikut sembarang orang.” “Kau tidak sedang dalam kondisi di mana kau bisa memilih seenak jidatmu, Bodoh! Kau ini sekarang menjadi sandera. Tahu kan?” Mendengar kata sandera, matanya tiba-tiba berbinar. Ia pernah melihat hal serupa dalam film yang sangat ia sukai. Ia berpikir bahwa kata sandera adalah sesuatu yang keren. “Seperti di film bajak laut?” Bitale membuang napas kesal. Anak lelaki ini benar-benar menyebalkan. Bahkan lebih menyebalkan dari Mosi yang kini terlihat lebih tenang. Makhluk itu bahkan tertidur. Ia duduk di paling depan, dekat tali yang dikendalikan Bitale. “Berhenti berbicara atau kupenggal kepalamu sekarang juga.” Kekesalan gadis itu bahkan sudah di puncak. Namun rupanya, anak lelaki itu masih saja menimpali perkataan Bitale. “Kau tidak akan bisa memenggal kepalaku sekarang bukan? Kau sedang memegang kendali kuda.” “Huh! Mengapa kau begitu menyebalkan?” Bitale berteriak kesal, ini sudah di luar kendalinya. Ia tidak tahan lagi. Kemarin-kemarin, ia selalu dibuat jengkel oleh makhluk bernama Mosi dan sekarang tambah satu lagi manusia menyebalkan yang bahkan lebih buruk dari makhluk kecil itu. Mendengar Bitale yang berbicara dengan nada tinggi, makhluk kecil yang tadi sempat tertidur membuka matanya. “Pegangan, Mosi! Aku akan memacu kudanya lebih cepat! Aku muak terus bersama manusia menyebalkan ini!” *** Mereka bertiga sampai di gerbang Menara Hitam. Turun dari kuda yang juga berwarna hitam pekat dan memberinya pada Askar yang sudah menanti mereka di sana. Askar itu tidak banyak bertanya tentang siapa anak lelaki yang kini ikut dengan Bitale sekarang. Ia hanya mengangguk, lalu menyelesaikan tugasnya. Mengantar kembali kuda ke dalam kandang. Seperti yang selalu ia lakukan. Mereka bertiga berjalan memasuki Menara Hitam. Hores berada di paling kiri dengan tangan yang masih terikat kencang, ujung tali itu digenggam erat oleh Bitale. Terlihat seperti seekor anjing yang sedang jalan-jalan dengan pemiliknya di sore hari. Gadis itu tidak mau kalau sampai sesuatu terjadi padanya. Kalau-kalau anak lelaki itu mencoba kabur begitu ia lengah. Mereka berjalan melewati Rocky yang masih memejamkan mata, berjaga di kiri kanan gerbang. Hores yang melihat Rocky Hitam itu tercengang. Pemandangan tidak biasa terus bermunculan di matanya, bahkan sejak bangkit dari tempat gelap yang sepertinya adalah sebuah sumur. “Apakah aku berada di dunia lain? Um, dunia yang pernah ibuku ceritakan. Apa ya namanya? Sat-” Gadis itu tidak menjawab. Ia tidak menghiraukan pertanyaan Hores. “Aku ingat! Shatranj! Tempat ini pastilah Shatranj!” Anak lelaki itu akhirnya berhasil menggali kenangan masa kecil bersama Halum dan Winessa saat hendak tidur. Ibunya itu sering kali bercerita tentang dunia yang entah bagaimana caranya, Hores bisa terdampar di sana. Dia ingat tentang dua penjaga gerbang yang mematikan. “Bukankah itu Rocky Hitam, Mosi?” Anak lelaki itu kini bertanya pada Mosi yang berjalan di paling kanan. Makhluk itu memiringkan kepala demi melihat wajah Hores, lalu mengangguk, mengiyakan. Tiba-tiba langkah anak lelaki itu terhenti. “Mereka lebih keren dibanding yang ibu ceritakan!” Matanya berbinar dan terlihat antusias. Meskipun ini adalah mimpi, ia tidak peduli. Karena pada akhirnya, ia bisa melihat makhluk yang dulu hanya ada dalam angan-angannya saja. “Hei! Apa yang kau lakukan? Ayo jalan!” Bitale lagi-lagi menarik kasar lengan Hores. Gadis itu masih memasang wajah sebal. Anak itu benar-benar norak baginya. Hores tersenyum senang. Masih dengan pandangannya yang tak lepas dari dua Rocky Hitam di depan gerbang. Ia yakin, pikirannya benar tentang ia yang terdampar dunia yang sering Winessa ceritakan padanya. “Mosi, apakah mereka masih tertidur?” Tidak menghiraukan Bitale yang masih memasang wajah tidak ceria, anak itu masih saja bertanya tentang makhluk besar yang seperti batu itu kepada Mosi. Hanya makhluk kecil itu yang bisa ia tanyai sekarang. “Si!” Makhluk kecil itu menjawab, tapi Hores tidak paham dengan jawaban yang keluar dari mulutnya. “Apa?” Makhluk itu tidak menjawab. Ia hanya memiringkan kepalanya lagi sambil menatap anak lelaki yang masih belum mengerti dengan cara bicaranya. Ia mengedip-kedipkan matanya berkali-kali. “Apakah mereka tidak menyemburkan lava hitam? Bukankah mereka akan menghanguskan kita? Lava hitam kan panas sekali! Akankah kita mati di sini?” Tiba-tiba Bitale menghentikan langkahnya. Gadis itu tak tahan lagi dengan ocehan demi ocehan yang kelaur dari mulut Hores. Ia mengepalkan tangan, terlihat begitu kesal. Anak lelaki ini terus saja banyak tanya. Ia tidak suka ketika seseorang bahkan lebih cerewet daripada dirinya. “Tidak akan karena mereka mengenaliku. Dan hanya kau yang akan mati karena kau adalah seorang penghianat yang dikirim Whichessenova! Sekarang, bisakah kau diam saja dan tidak bertanya apa pun?” Anak lelaki itu menunduk. Memajukan bibirnya, terlihat sebal. Gadis ini bahkan lebih menyebalkan daripada Halum ketika mereka berebut jus jeruk yang paling mereka sukai. Gerbang Menara Hitam terbuka, mereka disambut para Askar yang berbaris dengan rapi. Salah satu dari mereka, yang berdiri di paling kiri berteriak lantang sebelum akhirnya membungkukkan badan mereka saat Hores, Bitale, dan Mosi melintas. “Nona Bitale telah kembali.” Begitulah teriakkan seorang Askar yang menjadi aba-aba penghormatan. Gadis itu berjalan bersama dengan Mosi dan Hores membelah pasukan Askar, menuju ke aula besar untuk menentukan penjatuhan hukuman. Sesaat setelah mereka melewati barisan Askar, Bitale bertanya pada anak lelaki itu. “Apakah kau tak punya permintaan terakhir, Penyusup Kecil?” Hores mengangkat alis. Anak itu tidak mengerti apa maksud dari pembicaraan ini. Mengapa gadis itu memintanya membuat permintaan terakhir, anak lelaki itu tidak mengerti. “Permintaan terakhir? Untuk apa? Kau akan mengabulkannya? Apakah ini seperti permohonan saat kau ulang tahun?” Entah untuk keberapa kalinya dalam satu hari gadis itu mendengkus kesal. “Kau ini benar-benar bodoh!” Anak lelaki itu mengangkat bahu, beralih pada Mosi yang masih berdiri tak jauh darinya. Bukankah hanya mahkluk itu yang dapat ia tanya sekarang? “Apakah aku salah, Mosi?” Mosi menggelengkan kepala, “No, no!” Pembelaan dari makhluk kecil itu rupanya membuat Bitale semakin kesal. “Hei, majikanmu ini sebenarnya siapa, Mosi?” Mendengar Bitale dengan nada ketus, Mosi menunduk ketakutan. Gadis itu memang terlihat ganas ketika marah. Lebih menakutkan daripada seorang preman seperti yang Hores pikirkan. “Kau tak tahu apa artinya?” Bitale bertanya pada Hores. Sementara, anak lelaki itu  menjawabnya dengan gelengan kepala. “Tunggu sampai ayahku melihatmu. Setelah itu, kau tidak akan bisa bernapas lagi.” Gadis itu mendudukan Hores di sebuah bangku. Kemudian mengikat kakinya. “Memangnya siapa ayahmu itu? Malaikat pencabut nyawa?” “Aaargh! Si Bodoh ini benar-benar membuatku gila! Mosi, jaga dia. Aku akan memanggil ayahku.” “Si!” makhluk kecil itu mengangguk. Kedua tangan Hores masih terikat, begitu juga dengan kakinya. Ia duduk di bangku, ditemani Mosi yang seringkali memandanginya dari atas sampai bawah. “Kenapa?” Hores bertanya pada mahluk kecil itu ketika mata mereka bertabrakan. Mosi yang masih penasaran dengan orang asing itu seringkali mencuri-curi pandang. Ia belum pernah melihatnya di Shatranj selama ini. Makhluk kecil itu juga bertanya-tanya, siapakah lelaki yang membuntutinya dari Forestan ini. “No, no!” Terlihat membantah, ia lagi-lagi mengucapkan satu kata yang sama dan menggelengkan kepalanya. “Lagi-lagi, kau mengucapkan itu. Bisakah kau panggil namaku, Mosi?” “Si!” Makhluk kecil itu menganggukkan kepalanya. Ia berjalan ke arah Hores, membiarkan jarak antara mereka sedikit berkurang. “Ikuti setelah kata-kataku.” Makhluk itu menganggukkan kepala. Mulai mengikuti instruksi yang keluar dari bibir Hores. “Aku adalah Hores.” “Res?” “Benar! Namaku Hores.” “Res!” “Namamu Mosi.” “Si!” Mahluk itu tersenyum, memamerkan gigi putih yang terlihat rapi. Ia telah berhasil mengikuti kata-kata Hores. “Pintar!” Kini, makhluk itu berdiri di hadapannya. Jarak antara mereka semakin dekat. “Jadi, bisakah kau bukakan pengikatku?” “Si! No, no!” Awalnya makhluk itu tersenyum, tapi sedetik kemudian ia menggelengkan kepala. Ia tahu, itu tidak dibenarkan dan jika ia melakukannya, Bitale akan menumbuknya menjadi makanan untuk makhluk buas di Forestan. “Aku bukan orang jahat, Mosi. Percayalah padaku.” Anak lelaki itu mengiba. Ia menatap makhluk kecil itu dengan tatapan yang memelas. Namun, Mosi malah memalingkan wajah. Tangannya terlipat di depan d**a. Sesekali, matanya melirik Hores sebelum akhirnya kembali membuang muka. Ia bertekad dalam hatinya, bahwa ia tidak akan mudah tertipu hanya dengan wajah yang terlihat seperti anak kucing kelaparan. “Baiklah jika kau tidak mau menolongku.”   Anak lelaki itu kembali bersuara. Sementara Mosi melangkahkan kakinya. Berjalan memutar, mengitari Hores yang duduk terikat. Layaknya seorang polisi yang hendak menginterogasi seorang buron yang baru saja berhasil ditangkap setelah kabur berbulan-bulan. “Mosi?” Lagi-lagi Hores memanggil makhluk kecil itu. “Kau tahu, aku sedikit paham tempat ini.” Mosi tidak mengerti apa yang anak lelaki itu maksud. Tanpa makhluk itu sadari, Hores rupanya sedang berusaha melepaskan tali pengikat yang mengikat kedua tangannya di belakang punggung. Dulu, ia pernah belajar untuk meloloskan diri dari penculik. Rupanya pelajaran itu memang berguna, pikirnya. Mosi masih berjalan mengitari Hores sementara anak lelaki itu sudah  berhasil melepaskan ikatan di tangannya. Ia membiarkan tali itu masih bergelantung di sana seolah-olah tangannya masih terikat. Teknik mengelabui. Lalu, Ia ingat pada sesuatu. “Mosi, lihatlah! Di sana ada Morphine! Cantik sekali!” Hores ingat pada kupu-kupu bersayap biru yang pernah diceritakan Winessa dan anak lelaki itu berpikir bahwa Mosi akan menyukainya. Benar saja. Mahluk itu  langsung berpaling, mencari-cari Morphine yang katanya melintas di depan Hores. “Phin!” Mosi bersorak. Matanya terus menjelajahi ke arah yang dimaksud anak lelaki itu. “Iya, Mosi! Lihat! Di  sana, Morphine itu belok  ke sana!” Anak lelaki itu memajukan wajah, mengarahkan Mosi. Mosi yang terkelabui akhirnya menuruti Hores. Ia berlari mengejar Morphine yang sebenarnya hanya akal akalan anak lelaki itu saja. Anak lelaki itu tertawa. Ini saat yang tepat baginya untuk kabur. Dengan cepat, ia melepaskan ikatan tali di kakinya. “Aku harus pergi dari sini secepatnya.” Baru dua langkah ia berjalan, seseorang muncul dari balik pintu. Lelaki tua berjubah hitam, lelaki yang ia lihat berdiri di sebelah Halum, malam itu. Malam di mana mobil yang mereka kendarai mengalami kecelakaan. “Selamat datang di Shatranj, Anakku.” “Ka-kau?”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD