Spiller

2049 Words
Ia melamun dalam mobilnya di sepanjang jalanan malam. Bulan yang bulat sudah bertengger di atas kepala. Sesekali, lelaki itu melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan bahwa sebentar lagi matahari akan merebut kembali tempat sang bulan di atas sana. Mobil hitam itu berhenti di depan sebuah gedung apartemen yang tinggi. Lelaki yang tadi mengendarainya, turun dari mobil tersebut. Ia melangkah menuju gedung pencakar langit yang entah rasanya lebih dingin dibanding hari-hari biasanya atau mungkin memang karena cuacanya benar-benar dingin malam itu. Kakinya melangkah menaiki satu per satu anak tangga yang berbaris tepat sebelum gerbang otomatis yang berwarna bening itu terpasang. Lalu, tubuh laki-laki itu tertelan gerbang yang ia masuki baru saja. Ia disambut pemandangan yang sedikit berbeda dari biasanya. Lelaki berwajah pucat itu mengedar pandangnya ke sekeliling. Meskipun benar waktu sudah hampir menjelang pagi, tapi rasanya tempat ini lebih sepi daripada hari-hari yang lalu. Di lobi yang luas itu tidak terlihat satu orang pun berlalu lalang. Bahkan, sang resepsionis yang biasanya selalu menyambut kedatangan lelaki itu pada jam berapa pun tidak terlihat lagi berdiri di sana. Masa bodoh dengan apa yang ia lalui, lelaki itu menekan tombol lift ke arah atas. Tak lama, pintu lift terbuka yang lagi-lagi sepi, tanpa penumpang, sama sekali. Lelaki itu mulai menekan tombol yang berisikan angka tiga belas. Ia membiarkan lift tersebut membawanya ke atas sana. Menuju tempat di mana ia bisa melepas penat. Lelaki itu disambut lorong gelap dan panjang begitu ia tiba. Lagi-lagi, tidak seperti biasanya, lampu di sepanjang lorong ini tidak berfungsi. Lelaki itu berpikir bahwa ini adalah sebuah kemungkinan yang wajar terjadi di jam-jam lelah yang seharusnya ia gunakan juga untuk beristirahat. Namun pada nyatanya, ia masih harus berjalan dan berkutat dengan pikirannya yang masih saja menyimpan banyak tanda tanya. “Aku tahu, kau pasti akan mengingatnya, Lucio.” Kalimat demi kalimat yang dikeluarkan bibir Winessa masih mengganggu pikiran sejak tadi. Apalagi, setelah perempuan itu menyebut sesuatu di akhir perjumpaan mereka. “Bagaimana dengan Spiller? Kau mengingatnya bukan?” Lelaki itu menarik napas panjang. Ia butuh sesuatu yang dapat menenangkan dirinya. Selain Melyn, karena perempuan itu kini hanya ada dalam ingatan saja. Setelah ia sampai di apartemennya, ia berjalan gontai menuju kamar mandi. Dilepas nya jaket dan tas yang kemudian ia lempar ke sembarang tempat. Ia juga mulai melonggarkan dasi dan menariknya agar lepas dari leher. Lelaki itu memutar kran yang bertuliskan ‘Hot'. Lucio berpikir, berendam dengan air hangat adalah satu-satunya cara untuk melepas penat yang seharian ini sudah ia lalui. Lelaki itu berjalan menuju sofa sesaat setelah ia mengisi air di bath up. Sambil menunggu bath up itu penuh, ia kembali membuka galeri handphone yang jelas dipenuhi dengan perempuan yang sudah dua tahun ini meninggalkan dirinya seorang diri. Gambar pertama membuatnya tersenyum. Meski ia sudah melihatnya berkali-kali, ia tetap memiliki reaksi yang sama. Di gambar itu, nampak seorang gadis cantik dengan gaun putih yang tersenyum ke arah kamera. Ia ingat, itu adalah moment ketika ia mengabadikan foto Melyn seusai mereka makan malam di sebuah restoran beberapa hari setelah ia menyatakan cinta pada perempuan itu. Setelahnya, mereka bahkan membeli beberapa barang pasangan yang sampai saat ini masih Lucio simpan baik-baik. Lelaki itu menggeser layar ponselnya. Gambar berganti. Dengan wajah dan senyuman yang sama, perempuan itu masih menjadi objek favorit yang memenuhi ponsel milik Lucio. Kali ini, ia terlihat memegang sebuah kotak yang cukup besar. Gadis itu memakai gaun berwarna merah, lengkap dengan topi kerucut yang juga berwarna senada. Lelaki itu ingat, foto tersebut diambil saat mereka merayakan malam Natal, tepat sehari sebelum hari kelulusan mereka. Perempuan itu begitu senang ketika menerima hadiah Natalnya. Ia bahkan selalu menyimpannya di tempat tidur dan memeluknya dengan erat. Hal yang paling Lucio cemburui karena lelaki itu berpikir bahwa kasih sayang Melyn terbagi pada boneka beruang berwarna coklat tersebut. Lelaki itu tertawa kecil. Mengingat betapa kekanak-kanakannya ia dahulu. Lelaki itu menggeser layar di ponselnya lagi. Gambar-gambar perempuan yang sama dengan senyuman yang selalu mengembang di bibirnya menjadi satu-satunya objek yang mengisi galeri Lucio. Sampai akhirnya, ia berhenti di sebuah gambar yang tak lagi hanya diisi oleh perempuan itu. Kini, ada empat orang. Mereka terlihat memamerkan gigi-gigi putih mereka. Senyuman yang terlihat begitu tulus. Lelaki itu bahkan tidak menyadarinya, bahwa gambar itu adalah gambar terakhir yang bisa ia tangkap bersama-sama. *** Ia mengedar pandang ke sekeliling. Mereka bilang, mereka sudah tiba lebih dulu. Namun, kenyataannya ia hanya seorang diri di sana. Dalam gelap yang entah hanya sebuah kebetulan atau memang takdir memainkannya malam ini. Masih pukul delapan malam. Terlalu dini untuk menyembunyikan diri di balik selimut tebal dan membiarkan alam mimpi menguasai kepala. Lagipula, bukankah tempat ini sudah biasa ia datangi? “Apakah mereka mengerjaiku?” Lelaki itu sekali lagi memutar pandangannya ke seisi ruangan. Gudang kosong yang ditata mereka, menjadi tempat belajar maupun berleha-leha. “Lucio Oannes Viere!” Tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namanya dengan begitu lengkap. Seketika itu pula, terlihat seorang perempuan dengan kue tart berwarna coklat di tangannya dan lilin-lilin yang menyala. Ia tersenyum dan berjalan ke arah lelaki yang sebelumnya nampak kebingungan atas situasi yang baru saja terjadi. Di belakang perempuan itu, berdiri dua orang laki-laki yang juga memasang wajah ceria. Seakan menyambut lelaki itu dengan penuh suka cita. “Selamat ulang tahun, Sayang.” Begitulah yang diucapkan perempuan itu sesaat setelah kakinya berpijak tepat di depan kaki Lucio. Mereka begitu dekat, sampai hawa panas dari lilin yang menyala turut menerpa wajah Lucio yang masih terlihat tampan meski dengan penerangan seadanya. Kecupan mendarat di bibir ranum perempuan itu sesaat setelah mereka saling tatap. “Jangan sekarang, Lucio!” Lelaki di belakang perempuan itu berteriak. Ia sedikit tambun dan memiliki mata kecoklatan. Lelaki itu bernama Gary. “Baiklah, kami hanya lalat kecil yang sedang menonton dua orang yang sedang dimabuk asmara.” Satu lelaki lagi menimpali. Ia adalah Lawson. Demi mendengar dua temannya memprotes apa yang lelaki itu lakukan, ia hanya tertawa renyah. Setelahnya, tawa menular dan memenuhi semua ruang. “Apa kau tidak ingin meniup lilinnya? Jangan pikirkan aku karena aku tidak lelah sama sekali memegangi kue yang seringan kapas ini.” Melyn bergurau dengan sarkasme. Kemudian, disusul tatapan Lucio yang penuh cinta. Sesaat setelahnya, lelaki itu bersiap meniupkan lilin yang menyala. Lilin-lilin kecil yang entah ada berapa banyak. Ketika ia hendak meniupnya, seseorang kembali berteriak. “Kau tidak ingin membuat permohonan? Haruskah aku yang buat?” Lelaki itu, Lawson mengambil tempat di sisi Melyn seolah ingin meniup lilin di atas kue. “Hei! Aku akan membuat permohonannya.” Mata lelaki itu terpejam. Beberapa jenak setelahnya, ia meniup lilin. Namun, Lagi-lagi ia tak tahan dengan bibir ranum kekasihnya. Dikecupnya mesra dengan penuh kehangatan. Untungnya, ia ingat dua lelaki yang merupakan sahabatnya masih berdiri di antara Lucio dan kekasihnya, Melyn. “Rupanya kau sangat tidak sabaran, Lucio.” Gary tertawa melihat tingkah Lucio yang masih saja mencintai Melyn meski hampir lima tahun lamanya sudah mereka lalui bersama. “Apa permohonanmu?” Perempuan itu bertanya pada kekasihnya. “Aku memohon untuk terus bersamamu dan tidak akan ada yang bisa pisahkan kita selain kematian.” “Haruskah kita ambil foto berempat?” Tiba-tiba Lawson merangkul mereka setelah memasang timer pada kamera yang sudah ia siapkan lengkap dengan holdernya. Dan, foto itu merupakan foto terakhir mereka bersama-sama. *** Doa yang diucapkan Lucio rupanya terjawab dua tahun lalu, setelah apa yang terjadi di Guatemala. Kejadian yang menewaskan Melyn saat terjadi badai Eta yang tidak disangka-sangka. Lelaki itu kembali menggeser layar ponselnya. Gambar berubah. Masih tentang kekasihnya Melyn, tapi di foto yang satu ini terlihat berbeda. Perempuan yang selalu tersenyum ke arah kamera itu tidak menoleh. Ia sibuk dengan tas-tas besar yang sedang ia tata di bagasi mobil Lucio. “Tanpa tersenyum pun kau masih teramat cantik, Melyn,” gumamnya. Ia mengusap-usap layar ponsel seolah sedang mengusap pipi kekasihnya. “Andai aku tidak mengikuti kemauanmu untuk pergi ke sana, Lyn.” Lelaki itu masih menatap lamat foto dalam ponselnya. Namun, sebelum ia jatuh terlalu dalam ke kenangannya, lelaki itu mendengar suara rintikkan air yang meluap dari bath up. Ia segera bangkit. Ponsel yang layarnya masih menyuguhkan foto Melyn, ditinggalkannya di atas meja. Ia menuju ke kamar mandi. Benar saja. Air sudah menggenang sampai se mata kaki begitu lelaki itu tiba di sana. Ia menutup kran dan mulai menanggalkan pakaiannya satu per satu. Lucio berharap, setelah ini ia tidak akan lagi merasa lelah atas apa yang telah dilaluinya hari ini. Ia mulai memasukkan kakinya ke dalam bath up, semakin masuk sampai tersisa leher dan kepalanya di permukaan air. Meski ia mencoba melupakan segalanya, kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Winessa. “Bagaimana dengan spiller?” Lagi-lagi kalimat itu menggerayangi pikirannya. Ia merasa tidak asing. Entah, ia mendengarnya dari mana sebelum ini. Namun, ia rasa kata itu sungguh familiar. Lelaki itu menenggelamkan wajahnya ke dalam air hangat untuk beberapa jenak. Namun, ketika ia kembali ke permukaan dan mengusap wajahnya yang basah, ia menemukan sekelebat bayangan hitam tengah melayang di hadapannya. Seketika, mata lelaki itu dipenuhi oleh ingatan demi ingatan yang berputar layaknya sebuah film-film pendek yang acak. Tentang bayangan hitam yang sebelumnya pernah ia temui. Berubah menjadi tempat gelap dengan tanah kering yang berbelah. Lalu, ia melihat sebuah sungai berwarna putih s**u. Terakhir, wajah kekasihnya Melyn yang menangis membuyarkan lamunannya. Bayangan hitam itu masih di sana. Mendekati Lucio yang masih bersandar di dalam bath up. Ia hanya memandangi bayangan hitam itu tanpa bisa melakukan apa pun. Lelaki itu terpaku, seakan terkunci pada makhluk aneh di hadapannya. Tarikan napasnya mulai terdengar cepat. Bayangan hitam itu kini benar-benar melayang tepat di depan wajahnya. Makhluk itu mengeluarkan tangan ringkih yang mirip dengan ranting kering. Dan, tangan ringkih itu perlahan mengusap wajah Lucio. Sementara, keringat dingin membasahi wajah lelaki itu. Makhluk itu menarik wajah Lucio, sehingga kini ia menengadah, berpapasan dengan wajah bayangan hitam. Seketika itu pula, pandangan Lucio menghitam. Ia seolah-olah tersedot ke dalam lorong waktu yang hampa. Ia merasa kepalanya pusing dan berputar-putar. Ia membuka mata. Lelaki itu melihat Melyn yang ketakutan di hamparan tanah gersang yang terbelah-belah. Sedang, sekelebat bayangan hitam melayang di hadapannya dengan tangan ringkih, sama persis dengan yang baru saja lelaki itu lihat di atas bath up. Demi melihat perempuan yang dicintainya terancam, ia berlari. Mendorong tubuh perempuannya untuk pergi menjauh, sementara ia menggantikan posisi Melyn dan berhadapan dengan makhluk itu. “Lari! Larilah, Lyn!” Lelaki itu berkali-kali berseru, menyuruh perempuan itu pergi menjauh. Lalu, bayangan itu mengulurkan tangan ringkihnya, meraih wajah Lucio. Sama seperti yang ia lakukan baru saja di atas bath up. Wajah lelaki itu seketika memucat. Matanya memandang lurus, menatap bayangan hitam yang masih menyerap jiwa Lucio. Kini, mata lelaki itu memerah, lalu menjadi abu-abu. Sampai akhirnya, ia menggelepar seperti tak bertulang. Gelap menguasai pandangannya. Ia membuka matanya, masih di dalam air. Seperti sebelum ia melihat kilasan-kilasan balik tentang apa yang telah ia lalui. Bayangan hitam itu ada di sana. Tangannya masih memegangi kepalanya. Berkali-kali, kepala lelaki itu ia tenggelamkan ke dalam air. Sampai gelembung-gelembung napas tercipta, dibarengi dengan cipakkan air yang terjadi karena tangan lelaki itu yang berusaha menggapai apapun yang ada di atas sana untuk menahan tubuhnya agar tak tenggelam lagi. Situasi semakin kacau ketika tangan ringkih itu menekan kepala Lucio begitu lama di dalam air. Tangan lelaki itu melambai-lambai ke atas. Ia ingin menggapai bayangan hitam yang mungkin akan membunuhnya sebentar lagi. Air yang meluap-luap membuat seluruh lantai kamar mandi itu basah. Sementara, ponsel milik Lucio di atas meja masih menyala. Akhirnya, setelah terdengar gaduh dari gerakan Lucio, tangannya melemas. Ia tidak bergerak lagi. Gelembung udara tak terlihat lagi di dalam air. Lelaki itu memejamkan matanya, sekali lagi. Setelahnya, tangan ringkih yang serupa ranting kering itu kembali bersembunyi di balik hitamnya bayangan yang melayang. Makhluk itu tidak lagi menahan kepala Lucio yang tenggelam di dalam bath up. Sebelum lelaki itu benar-benar kehilangan tenaganya, satu per satu kenangan lagi-lagi menggerayangi kepalanya. Dari sejak pertemuan pertamanya dengan Melyn, beralih ke malam Natal yang juga ia habiskan dengan perempuan itu, hari ketika ia meniup lilin ulang tahun, Hari-hari penuh kesengsaraan selepas perempuan itu pergi, sampai terakhir kalinya, bayangan tentang Winessa yang menyebut-nyebut Spiller. Kilasan itu ditutup dengan wajah milik Melyn. Semua dipenuhi dengan wajah perempuan itu. Namun, yang terakhir cukup berbeda. Tidak ada lagi senyuman di bibir ranum nya seperti yang biasa ia lakukan. Hanya ada seorang Melyn yang menangis, tangisan pilu seakan mengiringi kepergiannya. Lalu, Lucio bergumam begitu pelan. “Akankah aku menyusulmu malam ini, Melyn?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD