"Hidup itu nggak segampang kata-kata 'INDAH PADA WAKTUNYA'. Kalo kerja lo cuma males-malesan dan ngandelin kata-kata itu doang, ya percuma. Nggak bakal indah sampek kapanpun."
•••••••
April menghempaskan sang ponsel ke atas lipatan kakinya sembari menghela napas bosan. Sudah sejak kemarin agaknya ia bolak-balik membuka aplikasi i********: hanya untuk melihat postingan terbaru fanboy pujaan hatinya itu. Tapi nihil, sampai sore begini pun, foto-foto keren yang biasa lelaki itu pajang guna menjadi asupan vitamin baginya tak kunjung muncul.
Wanita berambut pendek itu menyandarkan kepalanya ke dinding dengan posisi kaki selonjoran. Menatap malas ke arah sekeliling ruangan yang dipenuhi oleh kaca besar yang menempel di dinding, berharap agar sang pelatih segera datang dan waktu kepulangan segera dikumandangkan. April lelah, belum lagi malamnya ia harus bekerja.
Mengingat Abim, belakangan ini April terlihat jarang menyunggingkan senyum kala bayangan wajah fanboy itu terlintas di benaknya. Tak seperti biasa, ia malah merasa sedih saat kejadian belakangan ini tentang pertemuannya dengan Abim tak pernah berujung baik. Perasaan tentang Abim yang akan membencinya seakan membuat April ketakutan sendiri. Jangankan untuk menggapai, untuk melihat saja mungkin akan menjadi lebih sulit nantinya.
"Ayo guys, semangat! Pemanasan dulu, ayo berdiri semua!"
April tersentak lalu berdiri mengikuti intruksi dari sang pelatih yang entah sedari kapan datangnya. Wanita pendek itu terlihat menggerakkan sang badan, mulai dari gerakan-gerakan kecil sebagai awal dari gerakan panjang yang akan ia lakukan nanti.
Duak!
"b******n! Awh!"
April buru-buru menoleh ke belakang, mendapati seorang pria jangkung tengah membungkuk sambil memegang tulang betisnya. Wanita itu lalu ikut berjongkok dan mengurut betis lelaki itu.
"Eh, maaf-maaf. Nggak tau ada orang di belakang."
April lantas menggigit bibir bawah kala lelaki itu mengacuhkannya. Wajahnya yang tertunduk ditutupi surai lebat itu membuat April takut sendiri untuk mendongak. Ia sempat berdecak kagum akan putih dan mulusnya kulit kaki pria itu, membuat memar merah gelap khas darah beku tampak jelas di sana. April lagi-lagi meringis, pasti rasanya sakit. Padahal ia rasa tendangan kakinya yang tak sengaja terayun ke belakang itu tak begitu keras.
"Aduh! g****k! Udah tau sakit malah dipencet!"
April menegang, seketika darahnya berdesir tak karuan disusul dengan debaran jantung yang tak terkendali. Terpaan udara yang keluar dari mulut lelaki itu tepat mengenai rambut bagian atasnya, membuat wanita berambut pendek itu beringsut mundur. Well, menjadi seorang penguntit rahasia hampir setahun lamanya membuat April cukup hapal siapa gerangan yang sedang ia pegang kakinya.
Bruk!
Laki-laki itu terduduk membuat April buru-buru memalingkan wajah guna menghindari tatapan fanboy itu. Bukannya takut, April hanya tak sanggup jikalau bola mata indah itu bertubrukan dengan hazel miliknya. Sejenak mengumpat, mengapa pertemuannya dengan Abim selalu begini?
"Sshhh ...."
April lagi-lagi menggigit bibir bawahnya kala mendengar Abim meringis sembari meniup lukanya. Bukankah itu terlalu sepele? Atau memang tenaganya terlalu kuat untuk ukuran seorang wanita? Seakan diberi perekat, April tak kunjung mengubah posisinya, bahkan sampai orang-orang di sekitar mulai menanyai Abim, termasuk sang pelatih. Mengambil kesempatan, April lantas beringsut mundur lalu berdiri dan berjalan menuju toilet. Bukan saatnya, lebih tepatnya April ingin Abim tak sadar akan keberadaannya dan rasa benci tak berkembang biak di benaknya.
"Ya Allah, memar gini. Kepentok apa ini? Kamu, Iqbal, tolong ambilin kotak P3K di tempat biasa."
Abim mendongak, mendapati sosok wanita berwajah lonjong yang dibalut hijab tengah meluruskan kakinya sembari lebih menaikkan celana training yang ia kenakan.
"Nggak papa, Kak. Cuma ketendang temen tadi."
"Ketendang kok sampek begini. Kamu member baru 'kan? Padahal banyak yang harus dipelajari loh buat pemula."
Abim kembali merunduk, menatap memar di kakinya yang berdenyut dengan tatapan aneh. Ia juga merasa tendangan wanita kecil itu tak terlalu kuat, tapi ternyata rasa yang timbul tak main-main.
"Ini noona."
"Oh, oke. Makasih Iqbal. Kalian lanjut latihan aja, noona mau obatin ini dulu."
"Arraseo noona."
"Astaghfirullah, Bal. Udah sana!"
Wanita itu terkekeh, membuat Abim lagi-lagi mendongak. Gigi rapihnya yang menyembul akibat lawakan tak lucu yang dilontarkan oleh member tadi membuat Abim terpaku. Abim akui, wanita yang menyandang status sebagai pelatih dance ini terlihat amat cantik di matanya.
"Jangan cengo gitu, itu tadi bahasa Korea, berhubung saya mantan fangirl, mereka suka ngeledekin."
Abim tersadar lalu mengalihkan tatapan ke memar di kakinya yang sedang di beri alkohol oleh jemari lentik wanita itu.
"Nde, gwaenchana."
Wanita berhijab itu mendelik, refleks menekan memar Abim yang membuat laki-laki itu meringis.
"Aduh! Jangan gitu, Kak. Sakit," decak Abim lalu menarik kakinya dengan wajah masam.
"Eh, iya maaf, heran aja tadi. Kamu bisa bahasa Korea?"
"Dikit, itupun cuma karna drakor sama baca novel k-pop di Wattpad."
"Wah, kamu suka Korea?"
"Kata orang aku fanboy, tapi aku nggak yakin."
"Loh, kok?"
"Yaudah, lupain aja."
Wanita itu mengulum senyum lalu kembali menarik kaki Abim sampai lurus. Membalurkan obat merah di sekitar memar disambung pijatan guna meluruskan peredaran darah di sekitar memar, membuat mata elang Abim tak bisa enyah dari perlakuan hangat itu.
"Keliatan sih. Ganteng, rapih, putih, mulus, rajin perawatan ya? Noona yang cewek aja dekil gini."
Abim buru-buru memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan semburat merah yang menyembul akibat pujian singkat itu.
"Nah, udah siap. Kamu mending ke pinggiran aja, nggak usah latihan dulu. Sakit 'kan?"
Abim menoleh. "Nggak papa emang?"
"Haha, nggak papa kalo sama noona mah. Oh iya, kita belum kenalan 'kan?"
Abim menggeleng, membuat tangan berhias jemari lentik wanita itu terulur begitu saja.
"Lianni Naizahrah. Panggil noona Lia aja. Noona udah lama di sini, kalo mau nanya apapun jangan sungkan, oke."
Abim mengangguk lalu membalas uluran tangan itu dengan senyum yang tersungging, membuat dua lubang indah terukir di kedua pipinya.
"Abim," jawabnya singkat lalu kembali berujar, "Minta bantuan dance aja. Lagi pengin cari pelarian dari Korea."
"Hahahaha, mau taubat nih ceritanya?"
"Nggak tau, pengin aja."
"Jaim banget sih, baru ini loh noona jumpa fanboy yang adem ayem kayak kamu. Itu anak asuh noona ada beberapa yang fanboy, ampun alay nya. Banyak yang kayak cewek malah, pake liptin, pecicilan, banyak omong."
Abim lantas tertawa yang membuat gigi rapihnya menyembul lucu, dua lubang indah pun ikut andil, tersemat apik menghiasi kedua pipi mulusnya. Sungguh, pemandangan indah ini tak bisa enyah dari pandangan wanita berhijab itu. Meski bibirnya ikut tertawa, tapi tak ada yang tahu, hatinya berulang-ulang kali mengucap takjub akan ciptaan Tuhan yang terlihat sempurna di hadapannya ini.
Begitupun dengan wanita pendek yang tengah berdiri di pintu pojok ruangan, ikut tersenyum lalu berbalik arah saat momen manis itu sengaja ditangkap oleh mata hazelnya. Matanya menyendu, seingatnya, ia tak pernah melihat Abim tertawa selepas itu apalagi dengan semburat merah di pipinya tadi. Terlebih, keduanya baru saling mengenal. Kini, lagi-lagi April kembali menarik diri.
'Aku harus memaksa jiwaku untuk ikhlas, menarik ragaku agar menjauh, karna ku tahu, bertahan di posisi ini akan terus menyakitiku.'
Tbc ....
Author mode curhat melalui cerita sendiri?