"Stalking bias itu wajib, tapi bayangin kamu lagi senyum sambil stalking itu lebih wajib. Karna liat kamu senyum adalah candu yang paling menyenangkan."
•••••
Suara ribut yang berasal dari benda besar persegi yang menempel di dinding terasa memenuhi ruangan yang di huni oleh seorang lelaki jangkung. Abim, remaja yang memakai celana pendek lengkap dengan kemeja kuning kedodorannya itu tampak fokus pada ponsel yang ia genggam dengan kaki bertengger santai pada meja kaca di hadapan sofa yang ia duduki.
Tyas tersenyum sembari meletakkan nampan berisi air putih, sepiring nasi, beberapa pil lengkap dengan permen yang berjejer di sampingnya. Setelah akhirnya duduk di samping Abim, wanita yang memakai hijab panjang itu memilih tetap bungkam sembari menatap kegiatan sang putra.
"Apa gunanya nyalain tv kalo kamu nya malah main ponsel?"
"Biar rame aja, Ma."
Tyas menggeleng kecil, mencoba bersabar atas kelakuan setan kecilnya itu. Membesarkan anak semacam Abim memang bukanlah hal yang sulit, tapi menghadapi sifat keras kepala dan sulit di aturnya itu yang membuat wanita sesabar Tyas kadang bisa tersulut emosi.
"Makan dulu, biar minum obat. Percuma kamu pulang karna izin sakit kalau sampek rumah bukannya istirahat, malah nonton Korea terus," kesal Tyas dengan tangan terulur menyibak surai anak itu. Sedikit kesal saat mengintip apa yang menjadi titik fokus remaja itu pada ponselnya, apalagi kalau bukan Korea?
Abim hanya acuh, tetap dengan kegiatannya. Lagipula, duduk sambil menonton itu bukanlah suatu kegiatan yang menguras tenaga, malah bagus untuk asupan otaknya yang selalu haus akan drama kerajaan negeri gingseng itu. Tyas yang kesal lantas menarik paksa ponsel yang Abim pegang, meletakkan di atas meja kaca lalu mulai menurunkan kaki anak itu yang tampak memenuhi meja.
"Ini kakinya kalau tau papa pasti di bacok."
"Nggak heran, papa kan emang gitu, nggak ada sayang-sayangnya sama anak," gerutu Abim dengan wajah masam. Tyas terkekeh lalu mengambil piring nasi yang tadi ia bawa.
"Kenapa? Masih kesel sama papa?"
"Nggak, biasa aja."
Wanita itu lagi-lagi terkekeh lalu mulai mengangkat sendok berisi nasi, yang di sambut malas oleh Abim.
"Nggak usah sok ngambek, papa gitu juga gara-gara kamu sendiri." Dengan telaten wanita itu terus memberikan suapan pada sang buah hati.
"Aku nggak suka kalo papa ngekang aku dalam hal kesukaan, Ma. Aku suka ini dan itu nggak ngerugiin siapapun."
Tyas menghela napas lalu menyodorkan gelas berisi air putih. "Minum dulu, nanti keselek," ujarnya guna mengalihkan pembicaraan. Tyas paham, anaknya terlalu sensitif jika menyangkut para idolanya.
Abim melengos lalu memalingkan wajah. Akhir-akhir ini entah mengapa hidupnya terasa semakin rumit. Segalanya terasa salah di mata orang lain, termasuk sang ayah. Orang-orang di sosial media maupun teman sekolah pun semakin banyak yang menghujatnya. Serba salah, suka boyband dikata homo, suka girlband dikata b*****g, huft.
"Minum obat dulu, baru lanjut ngambek."
Abim kembali menoleh lalu membuka mulut malas, menginterupsi agar wanita di hadapannya itu segera memasukkan pil-pil pahit itu ke dalam mulutnya. Tyas langsung menyuapi dan diakhiri dengan usapan halus di area dahi yang membuat surai anak itu tersibak ke belakang.
"Pahit," umpat anak itu, mengundang tangan Tyas untuk segera memasukkan perman yang sudah ia sediakan.
"Makanya jangan sakit terus, jangan bandel, makan ya makan, nggak usah sok nunda-nunda. Kamu nggak ngaca apa, kamu itu kurusannya drastis, Bim," omel Tyas lalu meraba dahi hangat Abim.
Anak itu hanya diam, masih menikmati sentuhan yang tak pernah bisa ia deskribsikan kenikmatannya. Matanya memejam, bibirnya yang pucat ia biarkan terus terkatup guna mendengar celotehan tanda sayang yang wanita itu lontarkan.
"Masalah basket juga, mama udah telpon Gio buat nyuruh ngeluarin kamu da--"
"Assalamu'alaikum."
Refleks Abim mendongak, Tyas pun demikian, membuat lelaki tegap yang tengah berjalan dengan wajah tegasnya itu mengulum senyum lebar yang pastinya hanya ditujukan pada Tyas, bukan Abim.
"Bunda, Raka kangen."
Abim nyaris mengumpat saat lelaki yang tiba-tiba datang tanpa diharap itu terlihat memeluk tubuh sang ibu lalu mencium dahinya. Ini yang paling Abim tak suka, Raka sangat pandai membuat wanita yang berstatus sebagai ibunya itu melupakannya begitu saja.
"Halah, sok kangen, rumah cuma berapa jengkal aja, Mas. Ngelongok di jendela juga ketemu itu." Wanita itu terkekeh, membiarkan sosok yang memakai celana senada dengan Abim itu memeluknya erat. Tyas paham, jika begini, pasti ada yang terjadi dengan lelaki itu.
"Ya nggak papa, kangen, masa nggak boleh walaupun deket?" ujar Raka dengan tangan masih mendekap erat wanita yang berstatus sebagai tantenya itu.
"Mas nya sih, sibuk mulu nggak pernah mampir. Bunda mau ke sana males liat mama kamu. Padahal kangen juga."
Abim lantas meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja lalu kembali memasang video yang tadi sempat ia jeda. Sengaja mengeraskan volume agar mamanya sadar, ia tak suka situasi ini. Abim itu sangat kenal dengan Raka. Hidup bertetangga dengan menyandang predikat sepupu membuat Abim sangat paham atas watak lelaki itu. Entah apa sebabnya, tapi yang pasti, Raka tak suka padanya. Lelaki itu pasti akan berusaha mengibarkan bendera perang kapanpun, dimanapun, dengan atau tanpa sepengetahuan orang tua mereka.
"Iya, sibuk ngurus basket, Bun. Di angkat jadi kapten kemarin, males juga sih sebenernya."
Abim lantas memonyongkan bibirnya dengan raut bersungut-sungut di sela kegiatan menontonnya. Apa tadi kata lelaki picik itu? Malas? Manusia yang gila posisi juga jabatan sepertinya malas menerima posisi setinggi itu? Bullshit.
"Oh ya? Berarti ketemu Abim dong? Abim katanya kemaren masuk basket juga, Mas," ujar Tyas.
"Iya, tau, Bun."
"Taulah, kapten setegas dan seprofesional mas Raka nggak mungkin nggak ngenalin adeknya di lapangan," sindir Abim tanpa mengubah atensi. Sengaja, sebab Abim tau, Raka risih dengan embel-embel 'mas' yang ia bawa.
"Hm, adek cemen, masa pemanasan aja mau pingsan, Bun. Bunda sih manjainnya kelewatan," balas Raka kemudian yang membuat Abim menoleh sinis. Entahlah, mungkin karna efek sakit, perasaannya jadi lebih sensitif.
"Lo yang kelewatan, nggak ada pemanasan sampek mu--"
"Bim, omongannya. Yang sopan sama Mas," tegur Tyas. Walau sebenarnya berada di usia yang sama, tetap saja, posisi Raka lebih tinggi jika dilihat dari orangtuanya yang berstatus sebagai kakak Tyas.
Abim hanya melengos lalu kembali fokus pada videonya, walau sebenarnya tak pernah bisa fokus sejak kedatangan manusia separuh setan itu. Lelaki yang memiliki lubang di kedua pipinya itu lantas menghempaskan ponselnya ke meja begitu saja lalu bersandar penuh pada sandaran sofa. Emosi membuat denyutan yang sempat enyah di kepalanya kembali datang, menimbulkan sensasi berputar tak karuan.
"Bun, mama minggat lagi. Tadi Raka liat lemari pakaiannya udah kosong."
Abim langsung membuka matanya, melirik kecil lelaki yang masih memeluk ibunya dengan erat dengan tatapan lebih tenang, tak seemosi tadi. Kini ia paham, setan itu datang karna ada sesuatu yang menimpa keluarganya.
Tyas sendiri langsung mengelus pundak kokoh yang sebenarnya rapuh itu dengan penuh kasih sayang. Mencoba menyalurkan kehangatan seorang ibu pada anak yang menjadi korban keegoisan kakak dan abang iparnya.
"Iya, bunda denger ada recok tadi pagi. Mbak Raisa di mana? Udah tau?"
"Belum, mbak masih ngampus. Tadi panik makanya langsung ke sini."
Entah mengapa pandangan Abim tak bisa enyah dari wajah lelaki yang sedang terpejam itu. Suara lirihnya mampu menyadarkan Abim, tak ada yang perlu ia irikan di sini. Raka memanh butuh ibunya sebagai sandaran.
"Udah, nggak usah panik gitu. Biasanya mama pergi juga bakal balik 'kan?"
"Itu karna papa. Ini masalahnya karna aku, Bun."
"Hah, gimana?"
"Mama nemuin obat-obatan aku di kamar."
Tyas tersentak lalu refleks melepas pelukan anak itu begitu saja. Abim pun demikian, menegakkan duduknya lalu memiringkan posisi guna menatap lebih dekat setan picik itu.
"Kamu ... make, Mas?" tanya Tyas dengan nada bergetar.
Raka mendongak, menatap mata teduh Tyas lalu menunduk dan mengangguk samar, membuat Tyas langsung membekap mulutnya diiringi lelehan air yang merembes di sela jemari lentiknya.
"Astaghfirullah, Raka."
Abim hanya geleng kepala lalu kembali ke posisi sandaran dengan wajah tak terbaca. Ada secuil rasa kecewa melingkupi sanubarinya, tapi mengingat hubungan mereka yang tak begitu bagus, Abim hanya berusaha acuh. Tak ada yang perlu ia khawatitkan di sini. Raka itu sedang menggali lubang untuk kematiannya, jadi ia tak pantas ikut andil dalam memojokkan lelaki itu atas perbuatannya.
"Mas, kam--"
"Raka permisi, Bun. Mau cari mama, gimanapun, di sini Raka yang salah."
Suara derap langkah kaki menjauh yang menyentuh marmer menjadi titik fokus indera pendengaran Abim. Ia memijit pelipisnya yang terasa berdenyut sembari melirik kecil sang ibu yang tampak merunduk dengan menutupi wajah menggunakan ke sepuluh jemarinya. Ia tahu, wanita itu tengah terpukul atas pengakuan Raka tadi. Karna bagaimanapun, selama ini Raka cukup dekat dengan ibunya.
"Dia udah besar, udah tau apa yang baik dan buruk kedepannya buat dirinya sendiri. Mama nggak usah nangis," ucap Abim pelan.
"Mama nggak nyangka loh, Bim."
Sial, Abim benar-benar tak tega saat mendengar suara lirih berhiaskan isakan yang keluar dari bibir sang ibu. Mengumpat atas kedatangan sepupu gila yang membuat ibunya jadi bersedih. Jujur, ia lebih takut Tyas terluka daripada Raka memakai obat-obatan yang tak berguna itu.
"Ma, jangan nangis."
"Hiks ... hubungi papa kamu, hiks ... bilang sur--"
Grep!
Wanita itu terdiam saat merasakan sensasi hawa panas tubuh Abim yang menguar terasa mendekap tubuhnya. Lalu, seperkian detik, tubuhnya menegang mendengar penuturan lembut nan menusuk yang anak itu lontarkan.
"Abim nggak suka liat mama nangis, Abim nggak suka denger mama nangis, apalagi tangisannya buat jelasin mama sayang ke orang lain. Abim nggak mau mama lebih sayang orang lain daripada Abim. Mama cuma punya Abim, nggak boleh jadi hak milik siapapun, termasuk mas Raka."
Tbc ....
Egois ya si penboy?