Jalan Blandford, 1823

1440 Words
Pergerakan waktu di masa pra-internet dan pasca-internet memiliki perbedaan yang sangat ketara. Dahulu, untuk mengirimkan surat kepada keluargamu yang tinggal di pulau sebelah kamu perlu waktu beberapa bulan. Surat itu akan diangkut bersamaan dengan sebuah kapal dan angkutan khusus dan didistribusikan secara manual oleh seorang tukang pos yang bekerja setiap hari dengan sepedanya. Kalau yang kamu kirimkan adalah barang-barang berukuran besar, seperti pakaian dan perabotan, butuh waktu yang lebih lama lagi agar barang-barang itu bisa sampai ke tempat tujuan. Berdasarkan perkiraan waktu keberangkatan kapal layar yang hanya setahun sekali, dan pergantian musim yang hanya bisa terjadi setiap beberapa bulan, maka mungkin pengiriman barang itu akan membutuhkan waktu bertahun-tahun sampai tiba di tempat yang ingin kau tuju. Hal itu mempengaruhi begitu banyak hal lain. Informasi adalah hal yang penting, karena tanpanya tak akan ada perubahan dan tak akan ada pergerakan. Penemuan satu dengan penemuan lainnya bisa berjarak puluhan tahun karena berita dan bukti ditemukannya sesuatu tak bisa dengan cepat menjalar ke seluruh daerah. Surat kabar dan buku-buku membutuhkan biaya cetak yang tak murah, jadi tak semua orang mampu (dan tertarik) membelinya. Begitu juga dengan perang. Satu pertikaian kecil saja bisa memisahkan dua wilayah dalam kondisi sengketa selama berpuluh tahun, memisahkan anak laki-laki dan para ayah dari keluarga mereka yang menunggu di rumah. Tak seorang pun dari mereka pernah berpikir apakah orang yang pertama kali memicu pertikaian ini masih menyimpan dendam dalam hatinya setelah waktu yang lama itu. Namun, perang tetaplah perang, dan puluhan tahun itu tetap mereka jalani sebagai tentara yang mencari kemenangan. Kehidupan Michael Faraday berada di masa yang sama. Ia bekerja sebagai tenaga magang di toko percetakan itu selama tujuh tahun, kemudian melanjutkan kariernya ke tempat yang tak jauh berbeda. Yah, begitulah kehidupan. Ia bekerja serabutan sambil terus menyisihkan uangnya untuk keluarga. Di usianya yang ketiga puluh, ia menikah dengan seorang perempuan sederhana bernama Mary dan pindah ke sebuah rumah kecil tempat mereka beradu kasih setiap hari. Dan, begitulah, aku akhirnya lahir. “Ia akan jadi anak yang kuat,” ucap kakek saat pertama kali melihatku. Entah darimana ia mendapatkan ilham untuk mengatakan kalimat itu. “Ia akan menjadi anak yang kuat.” “Setidaknya ia harus jadi sepertiku,” bisik ayah di telingaku, menanggapi ucapan kakek. “Aku sudah cukup baik dibandingkan kawan-kawan yang lain.” Michael Faraday berusia 32 tahun, pekerja serabutan, dan ibuku berusia dua puluhan tahun saat itu. Aku tidak bisa mengingat dengan jelas karena perempuan sering kurang diperhatikan dibandingkan dengan laki-laki. Angka tahun di kalender menunjukkan tahun 1823, dan Jalan Blandford adalah satu-satunya nama tempat yang aku ingat mengenai tempat kelahiranku. Keluarga kami masih tinggal di London. Yap, itu benar, dan di sanalah ayahku mendapatkan kesempatan emasnya yang pertama kali. Ketika masih bayi, aku lebih sering menghabiskan waktu bersama Ibu di rumah. Ia adalah seorang yang pendiam dan rendah hati. Setiap hari ia memandikanku, memberikanku makan, dan menidurkanku di gendongannya sementara ia sibuk membersihkan rumah dan menjahit. Beberapa tetangga datang untuk meminta baju mereka dijahitkan oleh Ibuku dengan imbalan beberapa peser uang. Ia tampak senang, entahlah, wajahnya selalu menampilkan ekspresi yang sama setiap kali melihatku tersenyum di pangkuannya. Setiap pulang kerja, Ibu selalu membantu ayah membersihkan diri. Ia kemudian mempersilahkan ayahku makan dengan hidangan yang sudah tersedia di meja. Kebiasaan mereka itu terulang setiap hari sampai kepalaku yang baru mulai belajar mencerna ini hapal dengan perilaku mereka. Setelah makan, ayah akan masuk ke kamarnya dan sibuk dengan beberapa hal yang tak bisa diganggu-gugat. Semakin besar, aku semakin mengerti bahwa apa yang ayahku kerjakan di dalam kamarnya itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Ia sering membawa pulang beberapa lembar kertas dan mencoret-coretnya dengan tulisan yang tak dapat aku pahami. Kadang-kadang, beberapa lembar kertas itu sudah dijilid dan distempel sedemikian rupa sehingga tulisan yang tercetak di dalamnya harus ayahku baca dengan begitu perhatian. Ayah sering melakukan macam-macam percobaan sambil membaca kertas-kertas itu. Ketika sudah mampu berbicara, aku sering bertanya pada Ibu apa yang Ayah kerjakan dan Ibu hanya akan menjawab, “Ayahmu senang dengan sains.” Sains? Apa itu sains? Anak berusia tiga tahun sepertiku tak pernah tahu ada benda bernama sains di dunia ini. Kalau saints, aku tahu, orang-orang suci yang disembah oleh orang-orang di gereja setiap hari Sabat. Kalau insane, aku juga tahu, kata yang sering diucapkan orang dewasa kalau sedang membicarakan orang lain. “He’s insane!” ucap mereka. ‘Dia gila!’ Perkenalanku pada sains terjadi ketika aku menginjak usia lima tahun. Hari itu, ayahku sedang berkutat di kamarnya ketika sebuah letupan kecil terdengar. Ibu buru-buru menarikku ke dalam gendongannya dan berjalan menghampiri ayah di kamarnya. Berada begitu dekat dengan dekapannya, aku bisa merasakan detak jantung Ibu berdetak begitu kencang. Tak seperti biasanya. Walau sudah terlampau besar, Ibu tetap menggendongku dan menarikku berjalan bersamanya. Kami berdua mengetuk pintu kamar ayah perlahan dan berbisik memanggil namanya. “Michael,” ucap Ibuku. “Apa semuanya aman?” “Pa-pa!” Sejenak, tidak ada jawaban. Ibuku mengetuk sekali lagi untuk memastikan keberadaan ayah. “Michael.” Ayah masih tidak menjawab. Ibuku membuka pintu kamarnya perlahan dan melihat ayah duduk di sana, termenung menatap mejanya. “Michael,” aku mulai bosan mendengar Ibu memanggil nama ayah berulang kali. “Apa semuanya beres?” “Lihat, Mary,” Ayahku menjawab tanpa mengangkat wajahnya dari segala benda aneh yang ada di mejanya. “Aku berhasil menemukan listrik.” “Listrik?” Ibuku bertanya. Ia menggendongku untuk mengintip sedikit ke meja ayah, namun tidak ada sesuatu pun di sana yang menarik bagi kami. Dengan pelan, Ibu kembali berjalan keluar sambil menarikku untuk ikut bersamanya. “Sepertinya kamu butuh istirahat, Michael. Mandi sana, sebelum gelap.” Aku dan Ibu melanjutkan hari-hari kami seperti biasa, tanpa terganggu sedikit pun dengan penemuan Ayah atau kegiatan anehnya di dalam kamar. Namun, hari demi hari berlalu dan orang-orang mulai datang untuk mencari Ayah. Mereka menanyainya macam-macam dan bergabung dengannya di dalam kamar itu untuk memperbincangkan mengenai listrik. Aku tidak tahu apa itu listrik. Yang aku tahu, Ayahku mungkin sudah menjadi orang terkenal dan melakukan sesuatu yang sangat hebat dengan penemuannya! Aku mulai menaruh rasa penasaran. Awalnya, Ibu tak pernah mengizinkanku mendekat dengan apapun yang Ayah sedang kerjakan. Upayaku untuk mengintip dan memegang segala sesuatu selalu dihalangi dengan cermat sehingga aku tak mendapat kesempatan untuk memuaskan keingin-tahuanku. “Listrik itu berbahaya,” ucap Ibu. “Ayahmu tidak tahu apa yang ia sedang kerjakan.” Aku juga tidak tau apa yang ia kerjakan, maka aku ingin tahu, protesku dalam hati. Di usiaku saat itu, aku tidak bisa membantah terlalu banyak. Makanan dan kegiatan sehari-hariku masih sangat bergantung pada Ibu. Kalau aku melawan, bisa-bisa aku diberi petuah seharian atau malah diberi hukuman yang menjengkelkan. Jadi, aku memilih pendekatan dengan cara lain. Di ruang tamu rumahku ada setumpuk buku berdebu yang hampir tak pernah disentuh. Ibu memajangnya di sana karena buku adalah barang mewah yang tak semua orang miliki di rumah mereka. Kata Ibu, buku-buku itu adalah milik Ayahku yang ia beli sewaktu ia masih bekerja di tempat percetakan. “Harganya sebanding dengan uang makan kita seminggu,” ucap Ibu. “Dan ayahmu membelinya dengan uang hasil keringatnya sendiri. Jangan sampai rusak.” Aku sudah belajar bahwa buku adalah benda yang berharga. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku membuka setiap lembarnya dan mencari-cari apa yang sekiranya Ayahku temukan dari dalam buku-buku ini. Aku masih belum bisa membaca, memang, tapi perasaan bahwa aku sedang menyelidiki isi kepala Ayahku sudah membuatku puas. Setiap hari, selama dua tahun, aku terus membalik halaman-halaman buku Ayahku dengan serius. Di usia tiga tahun aku sudah mulai bisa mengeja dan di usia empat tahun, Ibuku mulai membicarakan kejeniusanku kepada para tetangga. Aku menyadari orang-orang yang berdatangan untuk bertemu dengan Ayah semakin banyak, dan kunjungan mereka juga semakin intens. Sebelum aku sempat mengerti bagaimana cara memahami buku-buku ini, sebuah buku lain datang ke rumahku dibawa oleh Ibu. “Lihat koran ini!” Begitu katanya. “Wajahmu ada di sana, Michael!” Wow. Dua berita bersamaan. Buku yang Ibu bawa itu disebut koran, entah mengapa, dan wajah Ayahku ada di sana —entah mengapa. Aku harus menunggu selama tiga hari sampai aku mendapatkan kesempatan untuk melihat sendiri apa yang terjadi dengan koran itu. Ibuku terus memegang dan melihatnya tanpa henti —ku rasa, kalau tidak segera ku amankan, koran ini bisa-bisa dibingkai dan dipajang di ruang tamu. Ketika aku berhasil mengambilnya dari meja kamar Ibuku dan membalik-balik halamannya dengan serius, aku menemukan juga apa yang membuat Ibuku berbangga hati: wajah Ayahku, dengan potretnya yang paling serius di meja kamar, berada di halaman depan dengan ukuran besar. Di bawahnya tertulis: “Michael Faraday, penemu listrik pertama di dunia.” Wow. Dua tahun sudah berlalu dan koran ini baru tahu bahwa ayahku menemukan listrik. Betapa lambatnya waktu berlalu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD