London, 1791

1650 Words
Di sebuah musim semi di London, tahun 1791, lahirlah seorang anak istimewa di keluarga petani miskin yang gagap-gempita. Ia menjadi anak ketiga yang terpaksa hidup susah di tengah perkotaan yang ramai dengan hanya mengecap sedikit pendidikan sekolah dasar. Masa itu, banyak orang tua yang ingin mengadu nasib pergi ke kota demi mendapatkan pekerjaan yang layak. Begitu juga dengan keluarga ini. Sang ayah, yang dikenal tetangganya dengan nama James si Putih, juga adalah seorang pindahan dari desa kecil lain bernama Westmorland. Ia membawa istri dan kedua anaknya ke London, tepatnya di daerah Newington Butts, hanya satu tahun sebelum Michael lahir. Ya, Michael. Anak istimewa yang tadi lahir itu diberi nama Michael oleh ayahnya, sebuah nama yang sangat pasaran dan sering sekali digunakan oleh para anak lelaki kristen di gereja mereka. Nama Michael dipilih tanpa alasan khusus — “Supaya berbeda dari kakak-kakaknya,” begitu jawaban sang ayah ketika ditanya. Dan seperti yang sudah Anda ketahui tadi, Michael hidup dan bertambah dewasa di tengah kemiskinan. Ia tak banyak menerima pendidikan formal seperti sebagaimana yang seharusnya ia terima. Namun, hal itu bukan masalah. Michael tahu ia memiliki banyak teman yang senasib dengannya. Mereka sering bertemu: pertama kali di sekolah dasar, kemudian di pasar atau di pusat pertokoan selagi mencari tambahan uang jajan demi membantu perekonomian keluarga. Beberapa tahun setelah kelahiran Michael, keluarga mereka kembali ketambahan satu personil. Adiknya lahir ketika Michael sudah mengerti konsep pendapatan dan pengeluaran, sehingga ia mencatat kehadiran adiknya ini sebagai sebuah pengeluaran yang menyebalkan. Mendadak, ayahnya harus bekerja lebih keras demi mencari tambahan uang. Michael dan kakak-kakaknya yang sudah putus sekolah juga mau tak mau membantu ayah mereka berjibaku dengan urusan uang — Karena ‘toh apalagi yang bisa mereka lakukan sehari-hari? Di saat itu, tak semua toko mau mempekerjakan anak-anak berusia muda dengan sembarangan. Kesempatan yang terbuka bagi mereka hanyalah mengamen, berdagang di pinggir jalan, atau mendaftarkan diri untuk magang. Kesempatan magang inilah yang akhirnya dipilih Michael. Selama beberapa bulan pertama, keluarganya harus membayar sejumlah uang untuk mengganti biaya tinggal dan makan Michael di tempat magangnya. Setiap hari Michael bekerja di sana, memperhatikan cara orang-orang lain memperlakukan barang-barang, dan beradaptasi dengan gaya hidup mereka. Ia harus menunjukkan sikap yang ulet dan pandai kalau tidak mau dipecat sebelum masa magangnya habis. Begitu ia sudah mulai terampil, orang tuanya bisa berhenti mengirimkan uang karena Michael akan dibayar sesuai dengan kinerjanya dan dapat membiayai kehidupannya sendiri di sana. Ah, ya, apa aku sudah menyebutkan dimana MIchael memutuskan untuk magang? Belum, ya? Baiklah, baiklah. Michael si anak istimewa yang sebetulnya biasa saja ini mendaftarkan diri untuk magang di sebuah toko penjilidan kertas dan penjualan buku di Jalan Blandford. Nama pemilik toko itu adalah George Riebau. Selama bertahun-tahun, Michael selalu mengingat nama itu sebagai walinya, atasannya, dan sekaligus orang yang membantunya bertahan hidup. Uang yang ia dapatkan setiap bulan harus ia gunakan untuk membeli makan, membayar biaya tempat tidur, dan mengirimkan uang kepada orang tuanya di rumah. George Riebau-lah yang membantunya mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran itu dengan rapih sebagaimana ia sendiri mencatat pemasukan dan pengeluaran tokonya. Ia mengajar Michael bagaimana caranya mendapat makanan yang murah setiap hari, bagaimana mengerjakan tugasnya dengan lebih cepat agar bisa mengerjakan tugas-tugas yang lain, dan sebagainya. Ia tidak pernah membiarkan Michael merasa terasing —sebaliknya, ia memastikan toko tempatnya magang itu bisa sekaligus menjadi rumahnya juga. Pada suatu siang, ketika toko sedang tutup untuk istirahat, George tua mencari-cari Michael untuk memastikan anak itu telah makan siang. Kebiasaan buruk Michael untuk melewatkan jam makan siang telah sering dikritik George, namun anak itu berkilah bahwa ia sedang menurunkan berat badan sekaligus berhemat. “Michael!” George berteriak. “Michael Faraday!” “Ya, Pak!” Si anak lelaki tergopoh-gopoh menghampiri atasannya itu di depan toko. Ia mengenakan celana abu-abu longgar dan kemeja coklat tua yang warnanya telah memudar. Dengan pandangan bertanya-tanya, ia menghadap George dan membungkuk sopan di hadapannya. “Kamu gak pergi makan?” Tanya George tua. Ia duduk di sebuah kursi yang biasanya dipakai tamu-tamunya menunggu ketika sedang memesan penjilidan kertas atau buku tertentu. “Sebentar lagi waktu istirahat selesai. Jangan sampai gak makan siang lagi.” “Saya ... lagi berhemat, Pak.” “Berhemat, berhemat,” jawab Geogre sekenanya. “Kamu selalu gak makan siang. Saya gak mau disnggap sebagai kepala magang yang tidak bertanggung-jawab. Lebih baik kamu makan sekarang.” “Tadi pagi saya sudah makan,” Michael memberi alasan. “Nanti sore saya juga makan lagi. Saya selalu makan dua kali sehari.” George mengangkat wajahnya. Michael berdiri di sana, kurus kering, begitu gelisah seakan tak sabar diijinkan kembali pergi ke tempatnya semula. George menghembuskan napasnya sejenak. “Ya sudah, sana. Jangan sampai gak makan. Nanti saya kesusahan cari anak magang kalau kabar buruk beredar.” Michael mengangguk. Tanpa menunggu lama, ia segera angkat kaki dari sana dan menghilang dalam sekejap mata. George menggeleng-gelengkan kepalanya heran melihat tingkah Michael. Anak itu selalu punya alasan-alasan cerdas setiap kali disuruh melakukan hal-hal yang tidak ia sukai. Perlu diakui, George mengagumi cara pikir dan etos kerjanya. Beberapa kali George menghadap James, ayah Michael, dengan harapan ayahnya itu bisa mengetahui mutiara berharga yang anaknya miliki. “Begitulah anak-anak,” ucap James selalu. “Semuanya memang dikaruniai Tuhan kecerdasan dan kepintaran tiada tara. Jadi, biar Tuhan sajalah yang mengurus mereka dengan pengetahuan itu, karena aku tidak bisa menyekolahkan mereka lagi sekarang.” George berdiri dari kursi tempat duduknya dengan susah payah. Letaknya sudah terlalu rendah, ia membatin, pinggangku yang tua sudah tidak sanggup bergerak seperti dulu. Setelah berhasil berdiri, pria itu berjalan ke bagian belakang tokonya dengan perlahan. Ia sudah pernah jatuh di sana dan membuat heboh seluruh orang di gang ini, jadi ia tidak mau mengulanginya sekali lagi. Sudah cukup malu yang ia rasakan hari itu untuk membuatnya jera. George menemukan Michael di sana, sedang berdiri membelakanginya. Ia terdiam sejenak untuk memperhatikan apa yang anak itu lakukan. Setiap kali, di jam istirahat seperti ini, George selalu tahu Michael diam di sana seorang diri dan menghabiskan waktunya berkutat dengan mesin jilid. Ia memicingkan matanya, berusaha menangkap dengan lebih jelas apa yang anak itu lakukan. Mungkinkah ia tertarik dengan mesin? Hal itu akan jadi keuntungan tersendiri bagi toko mereka, karena Michael bisa disuruh belajar memperbaiki mesin jilid dan cetak sehingga mereka tidak perlu membayar teknisi lain untuk mengerjakannya. Namun, bukan itu yang Michael kerjakan. Ia sedang sibuk membolak-balik halaman buku yang setengah terjilid di sana. Dengan hati-hati, ia menatap setiap lembar dan membaliknya perlahan-lahan agar tidak sampai merusak jilidan yang sedang dikerjakan itu. Geogre menyadari Michael sedang berusaha membaca buku-buku yang ada di sana —bahkan yang belum selesai dijilid! Dengan banyaknya buku yang tersedia untuk dijual di depan, seharusnya ia bisa dengan mudah menemukan bacaan lain daripada harus membaca buku setengah jadi seperti itu. George teringat masa-masa mudanya ketika ia masih sanggup berdiri lama seperti Michael. Laki-laki itu terlihat tidak terganggu sama sekali ketika harus membaca dalam posisi berdiri miring sejak tadi. Namun, baru beberapa menit mengamati di posisinya, George sudah merasa pegal dan hampir saja jatuh kalau tidak berpegangan ke dinding. Maka, dengan suara setenang mungkin agar anak laki-laki itu tidak terkejut, ia bicara. “Michael! Michael Faraday!” Lelaki itu segera membalikkan badannya dan terkejut ketika melihat sosok pria tua itu sudah berada di belakangnya. “Pak! Aduh, hati-hati.” George meringis. Ia sebal ketika menyadari Michael masih mengingat kejadian dirinya yang terjatuh beberapa bulan yang lalu. “Sudah gak apa-apa. Saya masih bisa berjalan, kok,” ucapnya. “Asal pelan-pelan.” “Mari, Pak.” Michael menghampiri George dan membantu pria tua itu berjalan kembali ke tempat duduknya di depan toko. Di usianya yang sudah tak lagi muda, George tak lagi berfungsi penuh sebagai kepala toko. Tugasnya hanyalah mengawasi para pekerja magang melayani pelanggannya dan memastikan toko beroperasi sebagaimana dulu ketika ia masih cekatan. “Terima kasih, Mike,” ucap George. Ia menarik napas lega ketika ia sudah kembali duduk di kursinya yang nyaman. “Tolong buka pintunya dan panggil teman-temanmu kembali. Jam istirahat sudah selesai.” “Ya, Pak.” “Oh, dan Mike,” ucap George lagi sebelum laki-laki itu pergi meninggalkannya, “kalau kamu mau baca buku, bacalah buku-buku yang di depan sini. Asal jangan rusak.” “Ah, iya,” Michael menatap atasannya dengan penuh rasa bersalah. “Maaf, tadi saya membaca buku yang sedang dijilid. Isinya menarik—” “—Ya, ya, tidak apa-apa. Tapi jangan sampai jilidnya rusak,” ucap George. “Kalau mau, kamu jilid sjaa dulu sampai selesai, baru dibaca.” Michael mengangguk pelan. “Terima kasih, Pak.” “Ya, sana.” Michael mengangguk lagi lalu segera meninggalkan toko. Ia menuju ke tempat-tempat makan kecil di sekitar tokonya untuk memanggil teman-temannya untuk kembali bekerja. Toko buku di Jalan Blandford itulah yang sedikit-banyak mengubah hidup Michael Faraday. Di usianya yang baru menginjak empat belas tahun, ia sudah melahap begitu banyak buku yang biasanya hanya bisa dibaca oleh orang-orang berpenghasilan tinggi yang sanggup membeli buku yang harganya masih sangat mahal. Setiap hari, ia menjilid dan mencuri baca semua buku yang menarik perhatiannya. Topik-topik yang berkaitan dengan saisn dan matematika adalah favoritnya, dan karena banyaknya penemuan yang dilakukan oleh para ilmuwan beberapa tahun terakhir, buku-buku seperti itu jadi semakin jamak dan mudah ditemui. Michael Faraday menjalani kehidupan magangnya selama tujuh tahun penuh di Jalan Blandford. Ia sudah membaca begitu banyak buku, termasuk salah satunya buku yang ditulis oleh Isaac Watts berjudul The Improvement of The Mind, dan ia begitu tersihir oleh buku itu sampai-sampai tak bisa berhenti menatapnya ketika buku itu dibawa pergi oleh orang lain yang telah membelinya. “Setiap buku di sini mencari seseorang yang mau mengadopsi mereka,” ucap George suatu kali. “Seperti anak-anak. Seperti hewan peliharaan. Mereka menunggu-nunggu agar suatu hari, ada seseorang yang tertarik pada mereka dan mau mengajak mereka pulang.” Aku selalu, selalu tertarik pada mereka, pikir Michael dalam hati. Tapi aku tidak akan pernah bisa mengadopsi mereka. Aku tidak punya tempat untuk mengajak mereka pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD