“Tidak. Saya tidak akan menikah.”
Suara Adrian memotong hiruk pikuk warga seperti pisau dingin yang menebas udara lembap. Nada suaranya rendah tapi tegas, cukup kuat untuk membuat sesaat keheningan turun di tengah hujan dan kerumunan. Bahkan penghulupun menahan langkahnya, memandang Adrian dengan raut terkejut.
Naumi menunduk begitu suara itu terdengar, entah lega atau semakin takut—ia sendiri tidak tahu. Tubuhnya gemetar, entah karena hujan, tekanan, atau karena penolakan itu menusuk terlalu dalam. Ia tidak menginginkan pernikahan ini, tetapi mendengar laki-laki itu menolak sekeras itu membuat udara di dadanya terasa menumpuk.
Adrian maju selangkah, menatap Pak RT dan warga dengan sorot mata yang tajam. “Saya tidak akan menikah hanya karena kalian menyimpulkan sesuatu dari situasi yang tidak ada hubungannya dengan kalian.” Ia mengangkat dagu sedikit. “Kami tidak berbuat apa-apa. Tidak ada pelanggaran. Tidak ada alasan.”
Beberapa warga langsung ribut.
“Wah, suaranya tinggi banget.”
“Sombong amat.”
“Sudah salah, malah ngegas!”
“Model begini nih yang perlu diajarin!”
Pak RT mengangkat tangannya, menenangkan kerumunan. “Nak … saya sudah bilang. Ini bukan soal kamu mau atau nggak. Ini soal nama baik kampung. Kalian sudah dilihat berduaan di tempat gelap. Itu sudah cukup.”
“Cukup untuk menuduh?” sahut Adrian cepat, nada suaranya mengeras. “Atau cukup untuk menghancurkan hidup seseorang tanpa bukti?”
Beberapa warga tersinggung. Ada yang mendecak, ada yang meludah ke tanah, ada yang memandang Adrian seakan laki-laki itu telah menghina leluhur mereka. Suasana yang tadinya hanya dipenuhi suara hujan, kini berubah menjadi gelombang bisikan panas yang menyusup ke seluruh tubuh Naumi.
“Gaya ngomongnya kayak orang kaya…”
“Hati-hati, jangan-jangan anak pejabat.”
“Kaya atau miskin, kalau ketahuan begitu ya tetap salah!”
Naumi meremas tasnya semakin kuat. Ketakutan di matanya semakin jelas. “Pak…” gumamnya lirih, tapi laki-laki itu tidak mendengarnya.
Penghulu maju mendekat, bersuara sopan namun canggung. “Nak, kalau memang ini hanya salah paham, nanti bisa dibicarakan lagi. Pernikahan bisa dibatalkan. Yang penting sekarang… meredakan keadaan dulu.”
Adrian menatap penghulu itu. “Anda yakin? Anda ingin menikahkan dua orang yang bahkan tidak bersentuhan, hanya karena takut pada opini?” Sorot matanya menusuk. “Anda tidak keberatan kalau hidup Anda dipakai menutupi masalah orang lain?”
Penghulu terdiam. Rahangnya mengencang. Ia menelan ludah, jelas tidak suka ditantang seperti itu. “Saya datang menjalankan tugas. Bapak RT yang meminta.”
Pak RT menarik napas berat. “Nak, kamu boleh menolak. Silakan. Tidak ada yang bisa memaksa kamu.” Ia mendekat dua langkah, lalu suaranya merendah, tetapi justru terasa lebih menyeramkan. “Tapi … kalau menolak, jangan salahkan kami kalau warga marah.”
Adrian memicingkan mata. “Marah? Marah dan apa? Mau apa?”
Pak RT menatap jauh, lalu kembali ke mata Adrian. “Kalau kamu tetap menolak, warga akan mengarak kalian berdua keliling kampung. Malam-malam gini juga nggak masalah. Mereka sudah kumpul. Kalian bisa saja dihabisi warga. Warga sini tidak segan terhadap berita perzinahan.”
Suara warga spontan meninggi, seperti gelombang yang tiba-tiba menguat.
“Iya! Arak aja!”
“Biar semua orang lihat!”
“Biar kapok!”
Naumi mengangkat wajahnya, terkejut. “Pak… jangan! Saya—saya mohon jangan lakukan itu…”
Tapi suara Naumi tidak memengaruhi siapa pun. Warga terlalu terbakar oleh situasi.
Pak RT melanjutkan, “Dan kalau tidak mau diarak… ya sudah. Warga punya ponsel.” Ia mengangguk ke beberapa pemuda di barisan depan. “Sudah banyak yang merekam. Cukup lima belas detik, kalian berdua di tempat gelap … lalu kita unggah. Media tidak akan fokus dengan benar atau tidaknya, tapi opininya.”
Pemuda-pemuda itu langsung menyeringai, mengeluarkan ponsel dari kantong plastik antiair.
Naumi memukul dadanya dengan tangan gemetar, seolah mencari udara. “Jangan… jangan begitu. Tolong jangan!” Matanya memanas, napasnya memburu. “Saya mohon… jangan viralkan… saya punya bunda… saya punya keluarga…”
Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
Kerumunan justru semakin riuh. Ada yang mulai mengangkat ponsel, ada yang mengaktifkan lampu flash, ada yang sengaja memegang kamera tinggi-tinggi seolah siap mengambil gambar.
Adrian menoleh ke arah Naumi.
Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu dimulai, ekspresi Adrian berubah. Bukan marah, bukan dingin—tetapi sesuatu yang lebih dalam. Tatapannya menyapu wajah Naumi yang ketakutan, melihat cara gadis itu memeluk dirinya sendiri, menahan tangis, menahan malu yang belum terjadi tapi sudah terasa sangat menyakitkan.
Ia melihat seorang gadis yang tidak pantas diperlakukan demikian.
Ia melihat seorang gadis yang bisa hancur hanya karena satu video.
Ia melihat seseorang yang mungkin tidak punya kemampuan melawan serbuan opini publik seperti dirinya.
Dan di antara semua kebisingan itu, hanya satu kalimat Naumi yang terdengar jelas baginya.
“Jangan viralkan…”
Adrian menahan napas.
Sementara itu, Pak RT menutup negosiasi dengan suara tegas. “Nikah sekarang … atau kami arak. Lalu kami viralkan. Pilih.”
Suasana membeku.
Derasnya hujan di luar tidak mampu menenggelamkan ketegangan yang merayap ke tulang-tulang. Kilatan petir menerangi wajah Adrian yang terlihat seperti seseorang yang sedang berperang dengan dirinya sendiri.
Naumi jatuh berlutut tanpa sadar, bukan karena memohon, tetapi karena tubuhnya sudah tidak mampu menahan tekanan yang begitu besar. Ia menunduk, bahunya bergetar.
“Pak…” suaranya pecah. “Mereka bisa menghancurkan saya…”
Ada sesuatu yang pecah di dalam d**a Adrian—bukan simpati, tapi semacam kesadaran tajam tentang realitas sosial di depan mereka.
Ia bisa melawan.
Ia punya kekuatan.
Ia punya nama.
Ia bisa pergi saat ini juga.
Tapi Naumi?
Gadis itu akan dihancurkan tanpa ampun.
Tanpa suara, tanpa kesempatan, tanpa perlindungan.
Adrian menarik napas panjang. Sangat panjang. Sampai dadanya naik dan turun berkali-kali. Sampai rahangnya terkunci. Sampai ia tahu bahwa ia tidak punya waktu untuk memikirkan lagi.
Ia menatap Pak RT lurus-lurus. “Jika saya setuju… kalian hentikan ancamannya?”
Pak RT mengangguk cepat. “Tentu.”
“Tidak ada perekaman. Tidak ada arak. Tidak ada penghinaan. Semua berhenti di sini.”
“Kalau kalian menikah sekarang, iya.”
“Tapi kalau menolak, warga jalan terus.”
Hening panjang menyelimuti gubuk itu. Bahkan hujan terasa lebih jauh, seperti dunia berhenti sesaat.
Adrian menundukkan kepala beberapa detik, memejamkan mata.
Kemudian ia membuka mata dengan keputusan yang sudah terkunci.
“Baik.” Suara itu berat, tapi jelas.
“Kita lakukan.”
Kerumunan meledak dengan suara seperti sorakan tertahan.
“NAH! Gitu dong!”
“Akhirnya sadar juga!”
“Udah, cepatkan. Penghulu nunggu!”
Naumi mendongak, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Matanya basah, pipinya panas. “Kamu… mau?”
Adrian tidak menatapnya langsung, hanya menjawab pelan, “Tidak ada pilihan lain.”
Ia menghela napas panjang. “Tenang saja. Aku akan betulkan semuanya nanti.”
Naumi menutup mulutnya, tubuhnya kembali gemetar.
Penghulu mengambil posisi, membuka map cokelatnya, bersiap memulai rangkaian akad. Warga merapat, seperti menyaksikan pertunjukan tengah malam yang mereka ciptakan sendiri.
Hujan terus turun seperti gorden tebal yang menutupi langit, sementara Naumi dan Adrian berdiri di tengah dunia kecil yang menghakimi mereka dengan mata-mata yang tidak mengenal belas kasih.
Semua terjadi terlalu cepat, terlalu memaksa, terlalu keras untuk dihadapi dua orang asing yang bahkan belum saling mengenal namanya.
Namun yang jelas malam itu, satu keputusan telah dibuat:
Adrian menyerah pada tekanan.
Naumi menyerah pada keadaan.
Dan pernikahan yang tidak pernah mereka pilih … akan dimulai.