Bab5

731 Words
“Nama kamu siapa?” Pertanyaan itu memecah udara yang padat tekanan. Suara Adrian terdengar dingin, tegas, dan menusuk, tepat ketika penghulu membuka mapnya dan bersiap mencatat identitas kedua calon mempelai yang bahkan belum saling mengenal. Naumi mengangkat wajahnya pelan, terkejut oleh pertanyaan itu. Tentu saja. Apa yang lebih menyakitkan daripada dinikahkan dengan seseorang yang bahkan baru ia lihat malam ini… dan baru menanyakan namanya sekarang? “Na… Naumi,” ucapnya dengan suara yang pecah, gentar, hampir tenggelam oleh hujan. “Nama saya Naumi Putri.” Adrian menatapnya—tatapan yang sulit ditebak. Bukan iba, bukan marah, bukan ragu. Lebih seperti seseorang yang sedang menahan diri agar tidak meledak di tempat, tetapi tetap harus bersikap tenang. “Naumi,” gumamnya pendek, mengulang nama itu dalam benaknya. Lalu ia memperkenalkan diri. “Saya Adrian.” Tak ada salam. Tak ada anggukan. Hanya suara yang terpaksa mengakui bahwa mereka kini berada dalam jerat yang sama. Penghulu mengangguk dan mencatat cepat. Hujan yang menetes dari atap gubuk hampir mengenai formulir, tetapi ia melindunginya seperti sesuatu yang jauh lebih penting daripada dua hati yang akan dihancurkan malam itu. “Adrian siapa, Nak?” Adrian sempat terdiam. Menyebut nama lengkap berarti mengungkap identitas yang selama ini ia jaga erat. Tetapi ia tidak punya waktu dan tidak punya pilihan. Akhirnya ia menjawab, “Adrian Pradipta.” Beberapa warga langsung berbisik, menyadari nama itu terdengar seperti nama orang berada. Ada rasa iri, ada rasa curiga, ada rasa puas—karena mereka bisa menundukkan seseorang yang terlihat ‘lebih tinggi’. Penghulu kembali menoleh pada gadis yang basah kuyup itu. “Naumi Putri, benar?” Naumi mengangguk cepat. “Iya, Pak.” Pak RT maju sedikit, menunjukkan wibawa yang dibangun dari kerumunan, bukan dari logika. “Baik, kita mulai. Jangan lama-lama. Warga sudah menunggu.” Warga mengangguk setuju. Lampu-lampu senter diarahkan lebih terang ke wajah Adrian dan Naumi, seolah mereka buronan. Penghulu menghela napas. “Sebelum ijab kabul, saya ingin memastikan… kedua mempelai hadir dengan kesadaran sendiri.” Naumi memejamkan mata. Ia ingin berkata tidak. Ia ingin berteriak. Namun suara Adrian lebih cepat. “Tidak. Ini bukan kesadaran saya. Saya dipaksa.” Kerumunan langsung meledak. “Loh! Ngelawan!” “Sombong banget!” “Udah salah, masih belagu!” “Jangan bikin malu kampung!” Pak RT menatap Adrian tajam. “Nak, saya sudah bilang. Kalau kalian menolak, warga bisa bertindak. Ini demi menjaga nama baik.” Adrian mengepalkan rahang. “Nama baik kampung dengan menuduh tanpa bukti?” Beberapa warga makin tidak terima. “Kamu macam-macam ya!” “Kalau nggak mau nikah, ayo! Kita arak!” “Biar viral sekalian!” Kata viral membuat Naumi langsung membeku. Pemuda-pemuda di depan mengangkat ponsel mereka, siap merekam. Cahaya flash mengenai wajah Naumi seperti tamparan keras. “Jangan…” Air matanya jatuh spontan. “Jangan viralkan saya… saya mohon…” Suara warga makin menggila. Pak RT akhirnya memberi ancaman terakhir, dengan nada pelan tapi lebih mengerikan dari teriakan mana pun. “Nikah sekarang… atau kalian kami arak keliling kampung. Dan rekaman malam ini naik ke internet malam ini juga.” Naumi menutup mulut dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar. Ini bukan sekadar aib. Ini bencana. Adrian menatapnya lama—sangat lama—melihat tubuhnya yang gemetar, mata basah, ketakutan yang begitu nyata. Ia bisa melawan. Ia bisa kabur. Ia bisa melaporkan semuanya. Tapi Naumi? Gadis itu bisa hancur dalam hitungan menit. Akhirnya Adrian menarik napas panjang. “Oke. Saya setuju … hentikan semua ancaman.” Pak RT langsung mengangguk. “Tentu.” Adrian menutup mata, menerima kenyataan pahit itu. “Baik. Kita lakukan.” Naumi terisak. “Kamu… mau?” Adrian tidak menatapnya. “Tidak ada pilihan lain,” jawabnya pelan. “Nanti aku urus sisanya.” Penghulu mengambil posisi, berdiri tepat di antara mereka. Kerumunan merapat. Hujan seperti tirai tebal yang menutupi langit. Penghulu membuka suaranya. “Baik, kita mulai akadnya.” Warga menahan napas, menunggu kalimat sakral yang malam itu menjadi alat tekanan, bukan keikhlasan. Penghulu menatap Adrian. “Sebutan ijabnya begini, Nak—ikuti.” Adrian mengangsurkan tangan, menundukkan kepala. Jari-jarinya tampak tegang, namun suaranya tetap stabil. Dan di bawah kegelapan malam itu, dengan hujan yang menjadi saksi bisu, ia mengucapkan kalimat balasan wali hakim yang mengikat hidup dua orang asing selamanya. “Saya terima nikah dan kawinnya Naumi Putri bin alm. Bakhtiar Alamsyah dengan mas kawinnya dibayar tunai.” Dan saat kalimat itu jatuh, dunia Naumi runtuh bersamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD