Hujan belum mereda saat suara Adrian menggema di gubuk reyot itu.
“Saya terima nikah dan kawinnya Naumi Putri bin alm. Bakhtiar Alamsyah dengan mas kawinnya dibayar tunai.”
Kalimat itu menggema lebih lama dari seharusnya—lebih berat, lebih menusuk, dan lebih kejam daripada apa pun yang pernah Naumi bayangkan dalam hidupnya. Dunia seakan berhenti sesaat. Hanya suara hujan di atap seng yang terdengar, jatuh seperti ribuan jarum kecil menusuk tanah.
Naumi menunduk.
Lututnya lemas.
Napasnya tercekat.
Ia seperti baru saja menjalani mimpi buruk yang tidak bisa ia hentikan, tidak bisa ia ubah. Sejak saat itu, ia bukan lagi hanya Naumi Putri—gadis sederhana yang bekerja di restoran dan merawat ibunya yang sakit. Ia telah menjadi istri seseorang, seorang pria asing, di bawah tekanan puluhan pasang mata yang tidak peduli pada kebenarannya.
Bukan karena cinta.
Bukan karena pilihan.
Hanya karena dunia menghakimi lebih cepat daripada mendengar penjelasan.
Penghulu mengucap doa singkat. Warga mulai bersorak kecil, sebagian lega, sebagian puas, sebagian membicarakan hal-hal yang bahkan tidak layak didengar.
“Sudah sah!”
“Alhamdulillah selesai juga.”
“Cocok juga, yang satu tampan, yang satu cantik.”
“Tapi ya… kasihan juga, nikahnya begitu.”
Naumi mengepalkan jemari sampai pucat. Kata “kasihan” justru membuat tangisnya hampir pecah.
Adrian menoleh sedikit ke arahnya.
Tatapan itu bukan lembut, bukan pula benci. Lebih seperti… menerima kekacauan yang tidak pernah ia pilih. Rahangnya mengeras, napasnya berat.
“Sudah?” suara Pak RT terdengar puas. “Baik. Kita pulang, biar mereka bereskan sendiri.”
Warga satu per satu bubar, meninggalkan tanah becek dan udara yang mengandung aroma egoisme yang dipaksakan. Sebagian masih sempat memotret, sebagian lagi saling membisikkan komentar. Tidak ada satu pun yang mengucapkan permintaan maaf.
Mereka pergi seolah-olah dari sebuah pertunjukan yang sudah tuntas.
Kini gubuk itu hanya menyisakan tiga orang: Naumi, Adrian, dan penghulu yang sedang membereskan map.
Adrian berdiri tegak, tetapi tubuhnya kaku. Tangannya sempat terangkat, seakan ingin mengacak rambutnya karena frustrasi, namun ia urungkan. Ia tidak ingin terlihat lemah.
Penghulu mendekat, bicara pelan. “Nak, saya… tidak bisa banyak membantu. Situasinya tadi—”
“Tidak perlu dijelaskan,” potong Adrian. Suaranya tidak keras, tapi cukup untuk membuat penghulu terdiam. “Terima kasih sudah datang.”
Penghulu menunduk dan pergi tergesa, seolah ia sendiri malu menjadi bagian dari peristiwa itu.
Keheningan menyelimuti gubuk.
Naumi masih berdiri memunggungi Adrian. Bahunya bergetar halus. Ia menahan tangis dengan sisa tenaga terakhir. Hatinya penuh dengan rasa hancur yang tidak bisa ia rangkai menjadi kata-kata.
Adrian mengembuskan napas panjang.
Suara itu terdengar seperti seseorang yang sudah kalah dalam pertempuran yang bahkan bukan miliknya.
“Naumi.”
Itu pertama kalinya ia memanggil nama gadis itu dengan lengkap.
Naumi tidak menjawab. Ia juga tidak bergerak.
“Dengarkan saya sebentar.”
Masih tidak ada reaksi.
Adrian melangkah mendekat—pelan, hati-hati, seperti takut menyentuh luka yang tidak terlihat.
“Tadi… bukan pilihan,” katanya rendah. “Kamu tahu itu.”
Naumi menggigit bibir bawahnya.
Air mata mengalir lagi, membasahi dagunya.
“Bukan pilihan…” ulangnya lirih, suaranya pecah. “Tapi saya yang harus menanggung semuanya.”
Adrian menutup mata sejenak.
Kalimat itu meninju dadanya.
“Tanggung apa?”
Ia tahu jawabannya. Tapi ia tetap bertanya—mungkin karena ia ingin Naumi mengatakannya.
Naumi membalik pelan, wajahnya basah bukan hanya karena hujan, tetapi karena perih yang tidak tertanggungkan.
Matanya merah, suaranya hampir habis.
“Semua orang akan bilang saya yang menggoda Bapak… saya yang murahan… saya yang—”
“Stop.”
Suara Adrian tajam.
Naumi terdiam, terisak kecil.
Adrian mengepalkan tangan. “Bukan kamu yang salah. Mereka saja yang—”
“Tapi kamu orang kaya!” Naumi akhirnya meledak, suaranya tinggi namun lemah. “Kamu punya nama! Punya keluarga! Kamu bisa pergi besok, dan hidupmu tidak berubah. Sedangkan saya… saya bahkan tidak tahu bagaimana menjelaskan ini pada Bunda.”
Adrian terdiam.
Ia ingin membantah, tapi kalimat itu benar—tersengat dan tak terbantahkan.
Keduanya sama-sama terjebak, tapi cara dunia memperlakukan mereka tidak akan pernah setara.
Di luar, suara hujan mulai mereda perlahan. Tapi di dalam, badai baru saja terbentuk.
Naumi mengusap wajahnya dengan telapak tangan. “Saya… saya cuma ingin pulang.”
Nada itu bukan permintaan, bukan pula perintah.
Hanya suara seseorang yang kelelahan secara jiwa.
Adrian mengangguk. “Baik. Saya antar.”
Naumi terkejut. “Tidak perlu—”
“Kamu tidak bisa pulang sendiri malam begini,” potong Adrian datar. “Kamu sudah gemetar sejak tadi.”
“Aku bisa—”
“Naumi.”
Nada Adrian berubah sedikit lebih tegas.
“Setidaknya… izinkan saya bertanggung jawab sampai kamu tiba di rumah dengan selamat. Setelah itu terserah kamu mau apa.”
Naumi terdiam.
Ia tidak ingin menerima bantuan dari seseorang yang baru beberapa menit lalu menjadi suaminya—tanpa cinta, tanpa persetujuan. Namun ia juga tahu ia terlalu lemah untuk berjalan pulang sendirian.
Akhirnya, ia mengangguk kecil.
Adrian mematikan senter, lalu keluar lebih dulu. Ia berdiri di luar gubuk, memeriksa keadaan sekitar untuk memastikan warga benar-benar pergi.
Kemudian ia kembali menoleh.
“Jalan pelan saja. Hati-hati becek.”
Naumi mengangkat sedikit ujung roknya, melangkah pelan melewati tanah lumpur. Adrian ikut berjalan di sampingnya, menjaga jarak tetapi tetap di posisi melindungi.
Malam itu dingin.
Terlalu dingin.
Naumi mendekap tubuhnya sendiri. Adrian memperhatikan sekilas, lalu melepas jaket tipisnya.
“Pakai ini.”
Naumi menggeleng cepat. “Tidak perlu. Aku malu—”
“Pakai saja.”
Kali ini Adrian tidak menawar.
Pelan, ia menyampirkan jaket itu ke bahu Naumi.
Gadis itu tersentak, tapi tidak menolak lagi.
Sentuhan Adrian hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuatnya sadar bahwa hidupnya kini berubah selamanya.
Mereka berjalan menuju jalan besar.
Motor Naumi masih di tempat.
Adrian memeriksanya sebentar.
“Kita naik mobil saya saja. Motor ini… terlalu berbahaya malam-malam begini.”
Naumi membuka mulut hendak menolak, namun tidak keluar suara.
Ia terlalu lelah. Terlalu hancur.
Akhirnya ia hanya mengangguk.
Adrian berjalan ke mobilnya, menyalakan mesin, lalu membuka pintu untuk Naumi.
Gadis itu masuk perlahan, duduk dengan tangan gemetar di pangkuannya.
Saat mobil mulai bergerak, hanya suara hujan dan mesin yang terdengar.
Tidak ada kata-kata yang mampu menutupi kenyataan pedih yang baru saja menimpa mereka.
Namun tepat ketika mobil memasuki jalan besar—
Naumi berbisik sangat pelan, hampir tidak terdengar:
“…bagaimana saya menjelaskan ini ke Bunda…?”
Adrian tidak menjawab.
Matanya fokus ke jalan, tetapi rahangnya mengeras.
Itulah dilema pertama dari seratus dilema lain yang akan mereka hadapi.
Dan malam itu, meski mereka duduk berdampingan, mereka tetap dua orang asing yang terikat oleh satu kalimat yang tidak pernah mereka pilih.