Mobil melaju membelah jalanan basah. Lampu-lampu kota Jakarta memantul di aspal yang masih mengilap oleh hujan, menciptakan bayangan panjang yang seolah ikut mengintai dari kejauhan. Di dalam mobil, keheningan terasa lebih berat daripada suara mesin.
Naumi Putri duduk kaku di kursi penumpang. Jaket Adrian masih menyelimuti bahunya, sedikit kebesaran, sedikit hangat, namun tidak cukup untuk menenangkan dadanya yang terasa sesak. Rambutnya masih lembap, ujung-ujungnya menempel di leher. Maskara tipis yang tadi ia kenakan sebelum pulang dari restoran kini luntur samar, meninggalkan bayangan gelap di bawah mata.
Adrian melirik sekilas, lalu kembali menatap jalan.
Ada sesuatu di dadanya yang mengganjal—perasaan yang tidak ia kenali, campuran antara tanggung jawab, amarah, dan rasa bersalah yang datang terlambat.
“Kamu tidak perlu khawatir soal motor,” ucap Adrian akhirnya, memecah sunyi. Suaranya datar, namun tegas. “Besok saya yang akan urus. Saya ambil dari sana.”
Naumi menoleh pelan. “Tidak usah,” katanya refleks. “Itu… itu tanggung jawab saya.”
Adrian menggeleng ringan. “Tidak malam ini. Dan bukan dalam kondisi seperti ini.”
Nada bicaranya tidak memberi ruang bantahan, bukan karena ingin menguasai, melainkan karena ia sadar Naumi sudah terlalu lelah untuk berdebat.
Naumi menunduk lagi. Jari-jarinya saling meremas di pangkuan. “Motor itu satu-satunya alat saya buat kerja,” katanya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Kalau kenapa-kenapa—”
“Saya pastikan tidak ada apa-apa,” potong Adrian. “Saya tidak akan membiarkan kamu kehilangan apa pun karena kejadian tadi.”
Naumi terdiam.
Kata kehilangan menamparnya pelan.
Karena pada kenyataannya, ia merasa sudah kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sebuah sepeda motor.
Mobil kembali sunyi. Hanya suara wiper yang bergerak pelan, menyapu sisa hujan di kaca depan.
Beberapa menit kemudian, Adrian memperlambat laju mobilnya. Ia menepi di depan sebuah minimarket besar yang masih terang, lalu mematikan mesin.
“Kita berhenti sebentar,” katanya.
Naumi mendongak, bingung. “Kenapa?”
Adrian menoleh penuh pertimbangan. Baru sekarang, di bawah lampu terang, ia bisa melihat Naumi dengan lebih jelas. Wajahnya pucat, pakaiannya basah dan kusut, tangannya sedikit gemetar.
“Kamu perlu pakaian bersih,” ujar Adrian akhirnya. “Dan kamu belum makan apa pun sejak kejadian itu, kan?”
Naumi menggeleng kecil. “Aku tidak lapar.”
Adrian menghela napas pelan. “Itu karena kamu shock.”
Ia membuka pintu mobil, lalu berjalan memutari kap, membuka pintu di sisi Naumi. “Turun sebentar.”
Naumi ragu. “Aku tidak mau merepotkan.”
“Kamu tidak merepotkan,” jawab Adrian cepat. Lalu, setelah jeda singkat, ia menambahkan dengan nada lebih rendah, “Ini… bagian dari tanggung jawab saya sekarang.”
Kalimat itu membuat Naumi membeku sesaat.
Tanggung jawab.
Kata yang seharusnya tidak pernah ia dengar dari pria asing ini—pria yang secara hukum kini menjadi suaminya.
Dengan langkah ragu, Naumi turun dari mobil. Udara malam terasa lebih dingin di kulitnya. Adrian berjalan di sampingnya, menjaga jarak setengah langkah, cukup dekat untuk melindungi, cukup jauh untuk tidak mengintimidasi.
Di dalam minimarket, Adrian langsung menuju rak pakaian sederhana: kaus katun polos, celana panjang kain yang longgar, dan jaket tipis. Ia memilih ukuran dengan cepat, seolah sudah terbiasa mengambil keputusan.
“Ini,” katanya, menyerahkan set pakaian itu pada Naumi. “Ganti di toilet.”
Naumi menatapnya ragu. “Aku akan ganti uangnya—”
“Tidak,” potong Adrian tegas. “Jangan sekarang.”
Tatapan mereka bertemu.
Untuk pertama kalinya sejak malam itu, Naumi melihat sesuatu yang berbeda di mata Adrian—bukan kemarahan, bukan keterpaksaan, melainkan tekad yang keras dan sunyi.
Naumi mengangguk kecil. “Terima kasih.”
Ia masuk ke toilet minimarket. Di dalam, ia menatap bayangannya sendiri di cermin.
Perempuan yang menatap balik tampak asing—mata sembab, bibir pucat, bahu yang terlalu berat oleh kejadian yang belum sepenuhnya ia cerna.
Saat ia mengganti pakaiannya, air matanya kembali jatuh, tanpa suara.
Keluar dari toilet, Naumi tampak sedikit lebih rapi. Rambutnya ia ikat sederhana, wajahnya masih pucat, tapi setidaknya tidak lagi berantakan. Adrian memperhatikannya sejenak, lalu mengangguk pelan, seolah puas.
“Kita makan sebentar,” katanya kemudian. “Di tempat yang bersih dan tenang. Kita perlu bicara.”
Naumi refleks hendak menolak, namun perutnya justru berkontraksi halus, mengkhianati penyangkalannya sendiri.
Mereka kembali ke mobil.
Tidak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah restoran kecil yang terang dan sepi—bukan mewah, tapi bersih dan hangat. Adrian memilih meja di sudut, jauh dari keramaian.
Saat pelayan datang, Adrian memesan dua menu sederhana dan air hangat. Naumi hanya diam, tangannya melingkar di gelas.
“Aku tidak tahu harus bicara apa,” ujar Naumi akhirnya, suaranya lirih. “Semua ini… terlalu cepat.”
Adrian mengangguk. “Saya juga.”
Ia menatap meja, lalu kembali ke wajah Naumi. “Kita tidak saling kenal. Kita tidak memilih ini. Jadi satu-satunya hal yang bisa kita lakukan sekarang adalah… bersikap rasional.”
Naumi tersenyum getir. “Rasional di tengah kekacauan seperti ini?”
“Ya,” jawab Adrian. “Karena kalau tidak, kita akan tenggelam.”
Makanan datang. Naumi memaksakan diri menyuap beberapa sendok. Adrian melakukan hal yang sama, meski jelas pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.
Setelah beberapa saat, Naumi meletakkan sendoknya. Tangannya kembali bergetar.
“Ada satu hal,” katanya pelan. “Aku tidak mau ibuku tahu dulu.”
Adrian menatapnya serius. “Kenapa?”
“Ibuku sakit,” jawab Naumi cepat, seolah takut kalimat itu menguap jika tidak segera diucapkan. “Jantungnya lemah. Dokter bilang beliau tidak boleh kaget, tidak boleh stres.”
Adrian terdiam. “Seberapa parah?”
“Beliau sering sesak napas,” suara Naumi pecah. “Aku pulang malam ini juga karena itu. Kalau beliau tahu aku… menikah seperti ini—”
Ia tidak sanggup melanjutkan.
Adrian mengangguk perlahan. “Baik.”
Naumi menatapnya penuh harap, hampir takut mendengar penolakan. “Jadi… untuk sementara, aku mohon. Jangan ada siapa pun yang bilang ke ibuku.”
“Saya mengerti,” jawab Adrian mantap. “Kita simpan dulu.”
“Kita?” Naumi mengulang lirih.
Adrian menghela napas. “Mau tidak mau, kita satu tim sekarang. Setidaknya sampai keadaan lebih tenang.”
Kalimat itu tidak romantis. Tidak manis. Tapi justru itulah yang membuat Naumi merasa sedikit… aman.
Mereka menyelesaikan makan dalam keheningan yang lebih lunak dari sebelumnya. Tidak nyaman, tapi tidak lagi mencekik.
Saat kembali ke mobil, hujan sudah benar-benar berhenti. Jalanan tampak lengang, seolah kota memberi mereka ruang untuk bernapas.
Adrian mengantar Naumi sampai depan gang rumahnya. Ia tidak masuk, hanya memarkir mobil di pinggir.
“Saya akan kabari soal motor besok,” katanya. “Dan… kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi saya.”
Ia menyerahkan ponselnya. Nomor itu tersimpan cepat di gawai Naumi.
Naumi membuka pintu mobil, lalu berhenti. “Mas Adrian…”
Adrian menoleh.
“Terima kasih,” ucap Naumi tulus. “Setidaknya… kamu tidak membuat semuanya lebih buruk.”
Adrian tersenyum tipis, hampir tidak terlihat. “Saya justru merasa… terlambat melakukan banyak hal.”
Naumi turun dari mobil, melangkah masuk ke gang sempit menuju rumahnya. Adrian menunggu sampai bayangannya menghilang di balik tembok.
Baru setelah itu, ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, mengembuskan napas panjang.
Malam itu, ia sadar satu hal:
Pernikahan ini mungkin terjadi karena paksaan,
tapi tanggung jawabnya—tidak lagi bisa ia tolak.
Dan jauh di dalam hatinya, sebuah kekhawatiran mulai tumbuh:
semakin lama ia berada di dekat Naumi Putri,
semakin sulit baginya untuk menjaga jarak.