Bab8

870 Words
Gerbang rumah besar itu terbuka perlahan, menutup kembali dengan bunyi berat yang menggema di halaman luas. Lampu taman menyala terang, memantulkan kilau pada jalan berbatu yang basah oleh sisa hujan. Mobil Adrian melaju pelan hingga berhenti tepat di depan pintu utama. Begitu mesin dimatikan, Adrian tidak langsung turun. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap lurus ke depan. Rumah itu—yang selama ini selalu menjadi simbol kekuasaan, keamanan, dan kendali—malam ini terasa seperti ruang sidang yang siap menghakiminya. Ponselnya bergetar di saku jas. Satu pesan. Lalu dua. Lalu tak berhenti. Adrian menarik ponsel itu dan menatap layar. Breaking News: Putra keluarga Pradipta diduga terlibat skandal di wilayah Jakarta Timur… Rahang Adrian mengeras. Terlambat. Semuanya selalu terlambat. Ia keluar dari mobil dan melangkah masuk. Pintu utama belum sepenuhnya tertutup ketika suara itu sudah menyambutnya. “Adrian.” Nada datar, dingin, dan penuh tekanan. Di ruang keluarga yang luas, Rama Pradipta berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggung—ayahnya. Di sofa kulit cokelat duduk Helena Pradipta, ibu tirinya, wajahnya pucat namun matanya tajam. Di sampingnya, seorang pria muda lain berdiri dengan ponsel di tangan—Arka, adik tiri Adrian. “Kamu pulang larut,” ujar Helena, suaranya tenang tapi berbahaya. “Dan pulang membawa berita.” Adrian menutup pintu perlahan, lalu melangkah masuk tanpa terburu-buru. Jasnya masih basah sedikit di ujung, rambutnya belum sepenuhnya kering. “Apa yang kalian dengar?” tanyanya balik. Arka mendengus kecil, lalu mengangkat ponselnya. “Coba kamu jelaskan ini.” Ia memutar layar. Foto buram seorang pria dan perempuan di sebuah gubuk pinggir jalan, diambil dari kejauhan, dengan judul sensasional di bawahnya. PEWARIS PRADIPTA DIDUGA TERLIBAT HUBUNGAN TAK PANTAS. Helena berdiri. “Siapa perempuan itu, Adrian?” Adrian menatap lurus ke arah ibunya. Tidak ada keraguan di wajahnya. Tidak ada niat berkelit. “Istri saya,” jawabnya singkat. Hening. Detik terasa berhenti. “Apa?” suara Helena meninggi, tidak percaya. “Kamu bercanda?” Rama berbalik perlahan. “Jelaskan maksudmu.” Adrian menarik napas dalam. “Saya menikah malam ini.” Kalimat itu jatuh seperti bom di ruang keluarga. “MENIKAH?!” Helena hampir berteriak. “Dengan perempuan yang bahkan tidak pernah kami kenal? Tanpa keluarga? Tanpa pemberitahuan?” “Itu bukan pernikahan,” potong Rama dingin. “Itu skandal.” Adrian mengepalkan tangan. “Bukan skandal. Pernikahan itu sah.” “Sah menurut siapa?” Helena menatapnya tajam. “Menurut warga kampung yang memaksa? Menurut media murahan yang sekarang menjadikan nama kita bahan konsumsi publik?” Arka menyela cepat. “Kak, saham perusahaan sudah mulai goyah. Beberapa portal bisnis menghubungi humas.” Rama melangkah mendekat. “Kamu sadar apa arti nama Pradipta, Adrian?” “Saya sadar,” jawab Adrian tegas. “Justru karena itu saya tidak bisa pura-pura ini tidak terjadi.” Helena menggeleng, napasnya memburu. “Perempuan itu siapa? Anak siapa? Latar belakangnya apa?” Adrian terdiam sejenak. Wajah cantik Naumi terlintas—pucat, lelah, tapi jujur. “Namanya Naumi Putri,” katanya akhirnya. “Dia bukan siapa-siapa yang kalian kenal. Dia perempuan biasa.” “Biasa?” Helena tertawa tanpa humor. “Perempuan biasa tidak menyeret keluarga kita ke lumpur!” “Dia tidak menyeret siapa pun!” suara Adrian meninggi untuk pertama kalinya. “Dia korban.” Rama mengangkat tangan, menghentikan perdebatan. “Cukup. Kita tidak peduli bagaimana kejadian itu berlangsung.” Tatapannya tajam menancap ke Adrian. “Yang kami pedulikan satu: pernikahan ini harus dibatalkan.” Kata dibatalkan membuat ruangan kembali senyap. “Tidak,” jawab Adrian cepat. Helena menatapnya seolah menatap orang asing. “Apa?” “Saya tidak akan membatalkannya,” ulang Adrian, suaranya lebih rendah, tapi jauh lebih kokoh. Rama mendekat, berdiri tepat di hadapan putranya. “Kamu tidak punya pilihan.” “Saya punya,” Adrian menatap balik tanpa gentar. “Dan saya memilih bertanggung jawab.” “Bertanggung jawab pada siapa?” Helena memotong tajam. “Pada perempuan itu atau pada keluarga ini?” Pertanyaan itu menggantung di udara. Adrian menelan ludah. “Pada keduanya.” Helena tertawa getir. “Kamu naif.” Rama menyeringai dingin. “Kalau begitu, bersiaplah menerima konsekuensinya.” “Apa pun itu,” jawab Adrian. Arka menatap kakaknya dengan ekspresi campur aduk. “Media tidak akan diam, Kak. Mereka akan mengejar perempuan itu.” Adrian langsung menoleh. “Jangan ada yang menyentuhnya.” Helena tersenyum tipis. “Sudah terlambat. Nama dan wajahnya hanya soal waktu.” Adrian mengepalkan rahang. “Kalau ada satu saja orang dari keluarga ini yang menyakitinya—” “Kamu mengancam?” tanya Rama pelan, berbahaya. “Saya memperingatkan,” balas Adrian. Hening kembali menyelimuti ruang keluarga megah itu—hening yang dipenuhi retakan. Rama akhirnya berkata dingin, “Pikirkan baik-baik. Dunia kita tidak ramah pada perempuan seperti dia.” Adrian menjawab tanpa ragu, “Itu sebabnya saya tidak akan membiarkannya sendirian.” Ia berbalik, melangkah menuju tangga tanpa menunggu izin. Di belakangnya, Helena bersuara lirih namun tajam, “Perempuan itu akan menjadi kehancuranmu.” Adrian berhenti sejenak, tanpa menoleh. “Kalau begitu,” katanya pelan, “kehancuran itu sudah saya pilih.” Ia melanjutkan langkah, meninggalkan ruang keluarga yang kini dipenuhi kemarahan, kekecewaan, dan satu kenyataan pahit: Naumi Putri telah menjadi pusat badai dalam keluarga Pradipta. Dan perang yang sesungguhnya… baru saja dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD