Bab9

927 Words
Pagi datang tanpa membawa rasa aman. Naumi Putri terbangun oleh suara batuk pelan dari balik pintu. Batuk itu pendek, tertahan, namun cukup untuk membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Ia duduk di ranjang sempitnya, selimut masih terlipat di pangkuan, mata menatap dinding yang catnya mulai mengelupas. Udara kamar pengap oleh bau minyak kayu putih dan obat-obatan—bau yang selama berbulan-bulan terakhir menjadi bagian dari hidupnya. “Bun?” panggilnya lirih. “Bunda nggak apa-apa,” jawab ibunya dari kamar sebelah. Suaranya lemah, tapi berusaha terdengar normal. “Kamu belum berangkat kerja?” Naumi menelan ludah. “Hari ini… masuk siang.” Ia tidak tahu kenapa kebohongan itu keluar begitu saja. Mungkin karena pagi ini, hidupnya sudah terlalu penuh dengan kebenaran yang menyakitkan. Naumi bangkit, berjalan ke kamar mandi kecil di sudut rumah. Wajah yang menatap balik dari cermin membuatnya tercekat. Mata sembab, kulit pucat, dan bayangan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. Ia menyalakan keran, membasuh wajahnya lama-lama, seolah berharap air itu bisa menghapus malam hujan yang terus menghantui pikirannya. Saat kembali ke kamar, tangannya refleks meraih ponsel. Layar menyala. Notifikasi berderet. Pesan dari Ririn: Kamu di mana? Kenapa nggak masuk? Beberapa panggilan tak terjawab dari nomor asing. Dan satu pesan berisi tautan berita—dikirim tanpa satu pun kata pengantar. Naumi menatap layar itu beberapa detik, jantungnya berdebar tidak karuan, sebelum akhirnya membuka tautan tersebut. Judulnya langsung menampar: “Skandal Pernikahan Paksa Pewaris Pradipta: Siapa Perempuan Misterius Itu?” Napas Naumi tersangkut. Foto yang terpampang buram, namun cukup jelas baginya mengenali jaket yang ia kenakan semalam—jaket Adrian. Ia buru-buru menutup layar, tangan gemetar, lalu menoleh ke pintu kamar ibunya. Sunyi. Tidak ada suara selain napas berat yang teratur. Naumi menekan ponsel ke d**a, seolah benda kecil itu bisa menghentikan dunia di luar sana. Belum. Tolong… jangan sekarang. Ponselnya bergetar lagi. Adrian. Naumi menatap nama itu lama sebelum akhirnya menggeser layar. “Mas?” suaranya nyaris tak terdengar. “Kamu di rumah?” suara Adrian terdengar lebih rendah dari biasanya, datar tapi tegang. “Iya.” “Bagus. Jangan keluar hari ini. Kamu harus tetap di rumah sementara waktu.” Naumi duduk perlahan di tepi ranjang. “Kenapa?” “Media mulai bergerak,” jawab Adrian jujur. “Beberapa wartawan sudah menanyakan kamu. Berita tentangku sudah menyebar luas.” Jantung Naumi serasa jatuh. “Mereka… tahu nama aku?” “Belum lengkap,” kata Adrian. “Tapi itu hanya soal waktu. Semua akan terungkap dengan mudah. Mereka tidak akan berhenti.” Naumi memejamkan mata. Bayangan wajah ibunya muncul di benaknya—lelah, pucat, tapi selalu berusaha tersenyum. “Bunda nggak boleh tahu dulu,” ucapnya cepat. “Aku mohon.” “Aku ingat,” jawab Adrian segera. “Dan aku akan jaga itu.” Nada suaranya bukan janji kosong. Lebih seperti keputusan yang sudah diambil, meski risikonya besar. “Ada orang asing datang ke rumah?” lanjut Adrian. Naumi bangkit dan mengintip lewat celah jendela. Gang sempit itu tampak biasa. Beberapa ibu lewat sambil membawa belanjaan. Tidak ada kamera. Tidak ada kerumunan. “Belum.” “Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya. Jangan buka pintu.” “Iya.” Telepon terputus. Naumi masih menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu meletakkannya perlahan. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Namun bahkan sebelum napasnya benar-benar teratur, suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Tubuh Naumi menegang. “Naumi?” suara tetangga terdengar samar. “Ada orang nanya kamu dari tadi di ujung gang.” Jantung Naumi berdegup kencang. “Orang siapa, Bu?” “Katanya wartawan.” Dunia seperti runtuh di tempat. Naumi merapatkan jaket tipisnya, meski udara tidak dingin. “Saya lagi nggak bisa keluar, Bu. Tolong bilang saya nggak ada.” Ada jeda. Lalu suara langkah menjauh. Naumi menutup pintu rapat-rapat, menguncinya, dan menyandarkan punggung ke dinding. Tubuhnya melorot ke lantai, napasnya tersengal, air mata jatuh tanpa suara. Di saat yang sama, di sebuah rumah megah di pusat kota, Helene Pradipta berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Pemandangan gedung-gedung tinggi terbentang di hadapannya—rapi, terkendali, seperti dunia yang selalu ia kuasai. “Cari tahu perempuan itu,” katanya tanpa menoleh. Asisten pribadinya berdiri dua langkah di belakang. “Nama lengkapnya?” “Naumi Putri,” jawab Helene tenang. “Latar belakang, keluarga, pekerjaan, semua.” “Aspek apa yang perlu diprioritaskan, Bu?” Helene berbalik perlahan, senyum tipis terukir di bibirnya. “Kelemahannya.” Asisten itu mengangguk. “Apakah kita perlu—” “Tidak,” Helene memotong lembut. “Kita tidak menyentuhnya secara langsung.” Ia meraih tabletnya, membuka portal berita, menelusuri judul demi judul. “Perempuan seperti itu,” gumamnya, “akan runtuh dengan sendirinya kalau sorotan terlalu lama diarahkan padanya.” Di balkon lantai atas, Adrian berdiri dengan rahang mengeras, ponsel di tangan. Ia memerintahkan tim keamanannya dengan suara dingin agar memperketat penjagaan dan memantau pergerakan media. “Kamu terlalu protektif,” suara Helene terdengar dari belakangnya. Adrian menoleh. “Karena dia tidak siap.” Helene mendekat, berdiri sejajar dengannya. “Dunia kita tidak ramah pada perempuan biasa, Adrian.” “Justru itu,” balas Adrian. “Aku tidak akan membiarkannya sendirian.” Helene tersenyum kecil. “Kita lihat berapa lama keteguhanmu bertahan.” Di dua tempat berbeda, pagi itu berjalan dengan cara yang sama-sama kejam. Naumi terkurung dalam rumah kecilnya, menahan napas agar ibunya tidak menyadari badai di luar. Adrian terjebak dalam rumah megahnya, bersiap menghadapi perang yang tak terlihat. Dan sejak hari itu, Naumi Putri bukan lagi sekadar perempuan yang terjebak hujan di malam gelap. Ia telah menjadi sorotan. Sasaran. Dan pusat konflik yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD