Bab10

1552 Words
“Naumi.” Panggilan itu membuat langkah Naumi terhenti di ambang dapur. Ia menoleh perlahan. Ibunya sudah duduk setengah tegak di ranjang, wajahnya pucat tapi matanya terbuka penuh—terlalu sadar untuk seseorang yang seharusnya masih terlelap. Tirai jendela terbuka sedikit, cukup untuk memperlihatkan bayangan-bayangan asing di luar pagar rumah. “Kamu lihat itu?” tanya ibunya pelan, suaranya serak tapi tajam oleh kecurigaan. Naumi menelan ludah. Ia tahu, momen ini tak bisa lagi dihindari. “Lihat apa, Bun?” Ia mencoba terdengar ringan sambil mendekat, merapikan bantal seolah tidak ada yang berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Ibunya tidak menjawab. Tangannya yang kurus terangkat, menunjuk ke arah jendela. “Orang-orang di luar. Dari tadi berdiri. Bukan tetangga.” Naumi memejamkan mata sesaat sebelum membukanya kembali. Detak jantungnya naik tak terkendali. Ia sudah menyiapkan kebohongan sejak subuh, tapi tetap saja—mengucapkannya pada perempuan yang melahirkannya terasa seperti menusuk diri sendiri. “Mungkin… orang survei,” katanya akhirnya. “Katanya mau bangun saluran air.” Ibunya menatapnya lama. Terlalu lama. Tatapan yang selama dua puluh tiga tahun tak pernah bisa ia bohongi dengan sempurna. “Survei bawa kamera?” tanya ibunya lirih. Naumi tercekat. Belum sempat ia menjawab, suara ketukan terdengar dari luar pagar. Bukan keras. Tapi cukup untuk membuat tubuh Naumi menegang seluruhnya. Ibunya memegang pergelangan tangan Naumi. Genggamannya lemah, tapi penuh makna. “Naumi,” katanya pelan namun tegas. “Kamu nggak pernah pandai bohong.” Air mata langsung menggenang di pelupuk mata Naumi, tapi ia menahannya mati-matian. Ia berlutut di samping ranjang, menundukkan kepala agar ibunya tak melihat wajahnya sepenuhnya. “Aku cuma nggak mau Bunda kepikiran,” ucapnya dengan suara bergetar. “Bunda lagi sakit.” Ibunya menghela napas panjang. “Justru karena Bunda sakit, Bunda harus tahu. Kamu kenapa?” Naumi terdiam. Kata-kata itu menghimpit dadanya lebih kuat daripada teriakan warga semalam. Di luar, suara orang mulai terdengar—bisik-bisik, langkah kaki, gesekan sepatu dengan aspal. Ibunya menoleh ke jendela lagi. “Mereka nyebut nama kamu,” katanya pelan. “Bunda dengar.” Tubuh Naumi bergetar hebat. Ia tahu, setengah kebenaran adalah satu-satunya pilihan. “Ada… kesalahpahaman, Bun,” katanya akhirnya. “Masalah orang dewasa. Nanti juga selesai.” “Orang dewasa siapa?” Ibunya menoleh cepat. “Kamu?” Naumi mengangguk kecil. “Dan laki-laki itu?” Pertanyaan itu jatuh seperti palu. Ibunya juga melihat Adrian yang baru saja turun dari mobil berada di depan pagar rumahnya. Naumi menutup mata. Wajah Adrian melintas—dingin, asing, tapi berdiri tegak di depannya semalam saat semua orang memaksa. “Cuma orang yang… kebetulan ada di tempat yang sama,” jawab Naumi pelan. “Aku nggak kenal dia, Bun.” Ibunya terdiam lama. Napasnya terdengar berat. “Naumi,” katanya akhirnya, suaranya melemah, “kamu nggak pernah bikin masalah. Jadi kalau sekarang ada orang berdiri di depan rumah kita, itu berarti masalahnya besar.” Naumi menggenggam tangan ibunya lebih erat. “Aku janji aku akan beresin,” katanya cepat. “Bunda jangan keluar kamar. Jangan lihat apa-apa. Tolong.” Ibunya menatapnya dalam-dalam. Lalu mengangguk pelan, pasrah—bukan karena percaya sepenuhnya, tapi karena ia tahu anaknya sedang berusaha melindunginya. ** Ketukan berpindah dari pagar ke pintu. Naumi berdiri dengan kaki gemetar. Saat ia membuka pintu, dua orang berdiri di luar, ponsel di tangan, tatapan penuh rasa ingin tahu yang tak berusaha disembunyikan. “Naumi Putri?” tanya seorang perempuan. Naumi belum sempat menjawab ketika sebuah mobil hitam berhenti mendadak di sisi jalan. Adrian turun dari dalamnya. Kehadirannya mengubah segalanya. “Tidak ada wawancara,” ucapnya tegas tanpa menoleh pada Naumi lebih dulu. “Dan kalian sedang mengganggu orang sakit.” Nada suaranya rendah, tapi mengandung tekanan yang membuat langkah mereka mundur setapak. “Kami hanya ingin konfirmasi—” “Keluar dari area ini,” potong Adrian. “Sekarang.” Beberapa detik kemudian, mereka pergi. Bukan karena takut, tapi karena tahu ini bukan perlawanan yang seimbang. Adrian menoleh ke arah Naumi. Wajahnya menegang saat melihat mata Naumi yang merah. “Ibumu?” tanyanya singkat. “Dia dengar,” jawab Naumi lirih. “Dia tahu ada sesuatu.” Adrian mengangguk perlahan. Tidak terkejut. Hanya menyesal. “Aku minta maaf,” katanya. “Kamu harus pindah sementara. Demi ibu kamu juga.” Saat Adrian dan Naumi masih berbicara, sebuah suara membuat Naumi terlonjak kaget. “Bunda.” Ibu Naumi yang melihat orang asing langsung menatap kea rah Adrian. “Naumi, siapa mas ini? Kenapa ada di rumah kita? Teman kamu?” “A-anu, Bunda. Ini mas Adrian. Dia—” “Saya bosnya naumi, Bu. Maaf sebelumnya saya lancang, tapi sedang ada masalah di luar. Dan itu menyangkut saya dan Naumi.” Wajah ibu Naumi langsung menegang. Berdirinya limbung. Untung saja Naumi langsung secepat kilat menangkap lengannya. “Naumi, ada apa ini, Nak?” “Bunda—” “Nanti biar saya yang jelaskan, Bu,” jawab Adrian. “Sekarang, ibu dan Naumi ikut saya dulu ke tempat yang lebih aman.” Diam-diam ibu Naumi menilai. Ia lihat sosok Adrian yang terlihat sopan dan baik. Dan akhirnya, ia menuruti apa ucapan lelaki itu dan putrinya. Ya, ia tahu, anak semata wayangnya tidak akan melakukan hal yang mengecewakan dirinya. “Ya, sudah. Ibu siap-siap dulu.” Naumi mengangguk cepat. Ia membantu Bunda kembali ke kamar, mengambil tas kecil, obat-obatan, serta syal tipis yang biasa dipakai Bunda kalau udara malam terasa dingin. Tangannya gemetar, tapi senyumnya dipaksakan tetap utuh—senyum yang sama yang selalu ia pakai setiap kali ingin menenangkan perempuan yang telah membesarkannya seorang diri itu. Di luar kamar, Adrian berdiri agak menjauh, memberi ruang. Namun telinganya waspada. Ia bisa mendengar suara gaduh samar dari luar pagar—bisik-bisik, klik kamera, seseorang berdehem terlalu keras seolah ingin memastikan kehadiran mereka diketahui. Dadanya menegang. “Naumi,” panggil Bunda pelan, meraih tangan putrinya. “Kita ini mau ke mana, Nak?” “Kita ke tempat yang lebih tenang dulu, Bun,” jawab Naumi lembut. “Biar Bunda bisa istirahat. Nanti kalau sudah aman, kita pulang.” Bunda menatap wajah Naumi lama, membaca garis-garis kecemasan yang tak sepenuhnya bisa disembunyikan. Ia tidak bertanya lagi. Ia hanya mengangguk, lalu menepuk punggung tangan Naumi dengan penuh keyakinan. “Kalau itu yang terbaik menurutmu, Bunda ikut. Bunda percaya sama kamu.” Ketika mereka keluar, Adrian langsung melangkah mendekat. Ia menunduk sopan. “Terima kasih, Bu. Mobil sudah siap. Kita berangkat sekarang.” Bunda mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, Nak Adrian. Terimakasih sudah memikirkan Naumi dan ibu.” Kalimat itu menancap di d**a Adrian—sederhana, tapi berat. “Sama-sama, Bu.” Mereka bergerak cepat. Naumi menutup pintu rumahnya untuk terakhir kali malam itu, menahan napas sejenak sebelum menguncinya. Saat melangkah ke mobil, kilatan kamera benar-benar pecah. Ada suara memanggil nama Adrian, ada yang berteriak bertanya, ada pula yang sekadar bersiul mengejek. Adrian segera membuka pintu belakang, memastikan Bunda masuk lebih dulu, lalu Naumi. Ia menutup pintu dengan tubuhnya sendiri sebagai tameng, lalu masuk ke kursi depan. Mobil melaju. Suara di luar memudar, digantikan dengung mesin dan napas tertahan di kabin. Di dalam, Bunda memejamkan mata, mungkin kelelahan, mungkin berdoa. Naumi duduk kaku, jemarinya saling menggenggam di pangkuan. Adrian menatap jalan, rahangnya mengeras. “Nak Adrian,” suara Bunda pelan, memecah sunyi. “Kalau boleh tahu… masalah apa yang membuat semua ini terjadi?” Adrian menghela napas, lalu melirik ke kaca spion. Ia bertemu tatapan Naumi yang penuh cemas. Ia mengangguk kecil, seolah meminta izin. “Saya akan jelaskan, Bu. Tapi mungkin tidak semuanya sekarang. Yang penting, ibu aman dulu.” Bunda menghela napas berat. “Baik. Ibu percaya.” Kepercayaan itu membuat bahu Adrian terasa lebih berat, sekaligus lebih tegak. Ia menambah kecepatan, memastikan jarak dari keramaian. Setelah beberapa menit, mobil berhenti di sebuah rumah dengan pagar tinggi dan penjagaan rapi. Adrian turun lebih dulu, membuka pintu untuk Bunda dan Naumi. “Ini rumah saya,” katanya singkat. “Tempat ini aman.” Naumi tertegun. Ia menatap rumah itu—besar, asing, terlalu jauh dari dunia kecilnya. Namun ia tak punya pilihan. Ia membantu Bunda melangkah masuk. Di ruang tamu yang luas dan terang, Bunda duduk di sofa, tampak lebih tenang. Naumi menuangkan air, menyodorkan obat. Adrian berdiri agak jauh, memberi ruang, tapi matanya tak lepas dari pintu dan jendela. “Naumi,” panggil Bunda lagi, suaranya kini lebih mantap. “Apapun masalahnya. Jangan kamu tanggung sendiri. Kamu punya Bunda.” Naumi mengangguk, matanya basah. “Iya, Bun.” Adrian melangkah mendekat. “Bu,” katanya, suara direndahkan, “besok saya akan mengatur semuanya. Untuk sementara, ibu dan Naumi tinggal di sini. Tidak akan ada yang mengganggu.” Bunda menatapnya lekat-lekat. “Nak Adrian,” katanya, penuh ketenangan yang matang oleh usia dan kasih. “Kalau memang ada jalan yang harus ditempuh, tempuhlah dengan jujur. Bunda hanya minta satu—jangan sakiti anak saya.” Adrian menelan ludah. Ia merasa ibu Naumi sudah salah paham padanya. Tapi tidak ada ruang untuk menyangkal sekarang. “Saya mengerti, Bu.” Naumi menunduk. Di dadanya, rasa takut dan lega bertabrakan. Ia tahu, sejak malam ini, hidupnya tidak akan pernah kembali sederhana. Namun melihat Bunda yang kini terlelap perlahan di sofa, ia menarik napas panjang—setidaknya, untuk malam ini, mereka aman. Dan di sudut ruangan, Adrian berdiri dengan pikiran yang mulai menyiapkan pertempuran berikutnya—dengan keluarganya, dengan media, dengan konsekuensi yang telah ia tarik masuk ke hidup Naumi tanpa ampun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD