Bab11

977 Words
Malam telah melewati titik sunyinya ketika rumah itu akhirnya tenang. Hujan yang sejak sore mengguyur Jakarta menyisakan udara lembap yang merayap perlahan ke dalam ruangan, menyentuh dinding-dinding rumah sederhana Naumi dengan dingin yang samar. Di kamar tamu, Bunda telah terlelap, napasnya teratur, wajahnya tampak lebih damai setelah obat bekerja sebagaimana mestinya. Naumi menutup pintu kamar itu dengan hati-hati, seolah suara engsel sekecil apa pun bisa mengoyak ketenangan yang baru saja mereka dapatkan. Ia berdiri sejenak di lorong, menarik napas panjang, membiarkan dadanya mengembang sebelum akhirnya dilepaskan perlahan. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya oleh perjalanan panjang hari itu, tetapi oleh rentetan peristiwa yang terasa terlalu besar untuk ditanggung sendirian. Ketika ia melangkah ke ruang tengah, ia mendapati Adrian masih di sana, duduk di sofa dengan postur tegak, jasnya sudah dilepas dan disampirkan rapi di sandaran kursi. Kemeja putihnya digulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang tegas, sementara pandangannya tertuju pada layar ponsel yang menyala redup. Adrian mengangkat kepala begitu menyadari kehadiran Naumi. Ia tidak langsung berbicara, hanya mematikan layar ponselnya dan meletakkannya di atas meja, seolah percakapan yang akan terjadi lebih penting daripada apa pun yang barusan ia baca. “Bunda sudah tidur?” tanyanya akhirnya, dengan suara yang tenang dan datar, tanpa intonasi berlebihan. Naumi mengangguk. “Sudah. Sepertinya capek sekali.” Adrian berdiri, berjalan ke arah dapur tanpa berkata apa-apa lagi. Naumi sempat bingung, mengira percakapan mereka selesai sampai di situ, tetapi beberapa detik kemudian, Adrian kembali dengan segelas air hangat dan meletakkannya di hadapan Naumi. Gerakannya terukur, tidak tergesa, tidak pula ragu, seolah semua itu sudah menjadi kebiasaan. “Minum dulu,” ucapnya singkat. Naumi menerima gelas itu dengan kedua tangan. “Terima kasih.” Ia baru menyadari betapa kering tenggorokannya setelah meneguk air itu. Hangatnya menjalar pelan, menenangkan sesuatu di dalam dirinya yang sejak tadi tegang. Adrian tidak menatapnya terlalu lama, tetapi keberadaannya di dekat itu memberi rasa aman yang sulit dijelaskan. Bukan karena kata-kata, melainkan karena kehadiran yang nyata. “Kamu belum makan,” kata Adrian kemudian, seolah baru saja mengingat sesuatu. “Di dapur ada sup. Ringan.” Naumi menggeleng refleks. “Aku nggak lapar, Mas.” Adrian tidak membantah dengan kata-kata. Ia hanya menatap Naumi sejenak, lalu pandangannya turun ke tangan Naumi yang menggenggam gelas terlalu erat. “Tangan kamu dingin,” katanya pelan. “Makan sedikit saja.” Ada sesuatu dalam nada itu—bukan perintah keras, bukan pula permohonan—yang membuat Naumi sulit menolak. Ia mengangguk kecil dan mengikuti Adrian ke meja makan. Meja itu terasa terlalu besar untuk mereka berdua, tetapi Adrian menarik kursi dan menahannya hingga Naumi duduk dengan nyaman sebelum ia sendiri mengambil posisi di seberang. Mereka makan dalam keheningan yang tidak canggung. Tidak ada pertanyaan yang memaksa, tidak ada pembahasan berat tentang apa yang telah terjadi atau apa yang akan datang. Adrian membiarkan waktu berjalan sebagaimana mestinya, memberi ruang bagi Naumi untuk bernapas. Sesekali ia berdiri hanya untuk menyesuaikan lampu agar cahayanya lebih lembut, atau mengambilkan tisu ketika melihat Naumi menyekanya. “Kamu selalu manggil ibumu ‘Bunda’?” tanya Adrian akhirnya, memecah keheningan dengan suara rendah. “Iya,” jawab Naumi. “Dari kecil. Katanya biar aku selalu ingat, rumah itu tempat paling hangat.” Adrian mengangguk pelan. “Kelihatan.” Naumi mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. “Kelihatan apa?” “Kelihatan kamu dibesarkan dengan kasih,” jawab Adrian singkat, lalu kembali fokus pada supnya seolah itu bukan kalimat yang baru saja ia ucapkan. Naumi tersenyum tipis, perasaannya menghangat oleh pengakuan sederhana itu. Ia memperhatikan Adrian diam-diam. Pria itu tidak banyak bicara, bahkan cenderung menutup diri, tetapi setiap geraknya penuh perhatian. Dari cara ia memastikan pintu terkunci, cara ia menurunkan volume ponselnya agar tidak mengganggu, hingga cara ia mengatur suhu ruangan tanpa pernah ditanya. “Mas Adrian,” kata Naumi pelan setelah beberapa saat, suaranya ragu tapi jujur. “Kenapa Mas mau sejauh ini membantu aku?” Adrian berhenti menyuap. Ia mengangkat kepala, menatap Naumi tanpa ekspresi berlebihan. Ada jeda yang cukup panjang sebelum ia menjawab, seolah sedang memilih kata dengan hati-hati. “Karena sekarang kamu tanggung jawab saya,” ujarnya akhirnya. Kalimat itu sederhana, bahkan terdengar dingin, tetapi cara Adrian mengatakannya—tenang, mantap, tanpa keraguan—membuat Naumi merasa sesuatu di dadanya mengendur. Ia tidak sedang dikasihani. Ia sedang dijaga. “Aku nggak terbiasa bergantung pada orang lain,” kata Naumi lirih. “Hari ini semuanya terasa… terlalu cepat.” Adrian mengangguk, seolah memahami lebih dari yang diucapkan Naumi. “Kita nggak perlu menyelesaikan semuanya malam ini,” katanya. “Ambil satu langkah dulu. Besok, kita atur pelan-pelan.” Kata kita itu kembali menggantung di udara, tidak diucapkan dengan nada emosional, tetapi cukup untuk membuat Naumi sadar bahwa ia tidak lagi sendirian dalam pusaran masalah ini. Ketika mereka selesai makan, Adrian membereskan meja tanpa diminta. Naumi sempat menawarkan bantuan, tetapi Adrian hanya menggeleng dan memintanya duduk. Ada ketegasan lembut dalam caranya menolak, seolah memastikan Naumi benar-benar beristirahat. Di lorong menuju kamar, Adrian berhenti dan membuka pintu untuk Naumi. “Kamar kamu di sini. Dekat kamar Bunda,” katanya. “Kalau butuh apa pun, pintu saya terbuka.” Naumi mengangguk, lalu ragu sejenak sebelum berkata, “Mas Adrian… terima kasih. Bukan cuma buat malam ini.” Adrian menatapnya, dan untuk pertama kalinya malam itu, ada sesuatu yang menyerupai senyum tipis di sudut bibirnya. “Istirahat,” katanya pelan. “Kita bahas sisanya besok.” Pintu kamar menutup perlahan. Di dalam, Naumi bersandar pada pintu, menutup mata, membiarkan kelelahan akhirnya mengambil alih. Di balik pintu lain, Adrian berdiri sejenak di lorong, menatap pintu kamar Naumi dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia tidak merasa sedang melakukan sesuatu yang luar biasa. Ia hanya melakukan apa yang menurutnya benar. Dan tanpa ia sadari, di tengah dinginnya malam dan kerumitan yang belum selesai, sebuah ikatan kecil mulai terbentuk—bukan dari kata-kata manis atau janji kosong, melainkan dari kehadiran yang tenang dan tindakan yang selalu datang tepat waktu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD