Bab12

1675 Words
Pagi datang terlalu cepat bagi rumah itu. Cahaya matahari baru saja menyusup lewat celah tirai ketika suara bel panjang memecah keheningan, nyaring dan berulang, seolah orang di luar sana tidak punya kesabaran untuk menunggu. Naumi yang baru saja membantu Bunda duduk di ruang makan refleks terlonjak. Cangkir teh di tangannya bergetar kecil. “Siapa ya, pagi-pagi begini?” gumam Bunda pelan. Naumi belum sempat menjawab ketika langkah kaki Adrian terdengar dari arah tangga. Pria itu sudah rapi, kemeja abu-abu muda membingkai tubuhnya dengan sederhana namun berkelas, wajahnya tenang seolah ia sudah menduga pagi ini tidak akan berjalan damai. “Biar saya,” katanya singkat. Ia melangkah menuju pintu depan tanpa menoleh lagi. Naumi berdiri di tempatnya, ragu, jantungnya berdetak semakin cepat tanpa tahu sebabnya. Entah mengapa, perasaan tidak enak tiba-tiba merambat pelan di dadanya. Begitu pintu dibuka, udara pagi yang masih dingin bercampur dengan aroma parfum mahal menyelinap masuk. Seorang perempuan berdiri di sana. Rambutnya hitam, lurus, terawat sempurna, jatuh hingga bahu. Gaun krem sederhana tapi jelas bukan kelas biasa melekat anggun di tubuhnya. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras, dan di tangannya, sebuah ponsel digenggam erat seolah menjadi bukti yang siap dihunus kapan saja. “Mas,” ucapnya, suaranya bergetar menahan emosi. “Apa ini maksudnya?” Adrian tidak terlihat terkejut. Ia hanya memandang perempuan itu dengan tatapan datar, lalu melangkah sedikit ke samping, menahan pintu agar tidak terbuka terlalu lebar. “Natasya,” katanya. Tidak lebih. Perempuan bernama Natasya itu tertawa pendek, getir. Ia mengangkat ponselnya, layar yang menampilkan foto buram Adrian dan Naumi saat malam hujan itu terpampang jelas. “Kenapa jadi begini?!” suaranya meninggi, tak lagi peduli pada pagi atau tetangga. “Kamu beneran nikah sama cewek yang ada di foto ini?!” Di dalam rumah, Naumi membeku. Ia tidak perlu melihat wajah perempuan itu untuk tahu—ini bukan orang biasa. Cara bicaranya, caranya berdiri, bahkan caranya menuntut penjelasan, semuanya menunjukkan satu hal yang menghantam Naumi tanpa ampun: perempuan itu punya tempat di hidup Adrian. Tempat yang sah. “Natasya,” kata Adrian lagi, kali ini sedikit lebih rendah, memperingatkan. “Kita bicara di dalam.” “Di dalam?” Natasya melangkah maju, memaksa masuk sebelum Adrian sempat menghalangi. “Bagus. Sekalian aku mau lihat. Perempuan yang bikin hidup kamu jadi bahan gosip semalam suntuk.” Tatapan Natasya langsung menangkap sosok Naumi yang berdiri di dekat ruang makan. Pakaian Naumi sederhana, rambutnya diikat asal, wajahnya pucat karena kurang tidur. Kontras yang tajam dengan dirinya. Jeda sesaat tercipta. Natasya menatap Naumi dari ujung kepala sampai kaki, lalu mengembuskan napas pendek, seolah menahan tawa yang nyaris keluar. “Jadi ini orangnya?” Naumi menelan ludah. Ia ingin mundur, ingin menghilang, tapi kakinya seolah tertancap di lantai. Adrian berdiri di antara mereka tanpa banyak gerak. Tubuhnya menjadi garis pembatas yang jelas. “Cukup,” katanya tenang, tapi ada tekanan di sana. “Ini rumah saya.” “Dan aku tunangan kamu,” balas Natasya cepat. “Atau sekarang status itu sudah nggak berarti apa-apa?” Adrian menatapnya lama. “Kita belum bicara soal itu.” “Justru itu masalahnya!” suara Natasya pecah. “Aku tahu dari media, Mas. Dari foto viral. Dari orang lain. Kamu tahu rasanya?” Bunda yang sejak tadi diam akhirnya berdiri, wajahnya pucat namun matanya penuh kebingungan. “Naumi…” panggilnya lirih. Naumi tersadar. Ia segera menghampiri Bundanya, menggenggam tangannya erat. “Bunda, nggak apa-apa. Duduk dulu, ya.” Natasya memperhatikan adegan itu, alisnya terangkat. “Oh,” katanya pelan, sinis. “Sudah satu paket rupanya.” “Jaga bicara kamu,” ucap Adrian dingin. Itu pertama kalinya nadanya berubah. Tidak meninggi, tidak emosional, tapi cukup untuk membuat Natasya terdiam sepersekian detik. “Aku datang bukan buat ribut,” kata Natasya, menurunkan nada suaranya, meski matanya masih menyala. “Aku datang buat penjelasan. Kamu bilang apa ke orang-orang? Ke keluarga? Ke aku?” Adrian menarik napas dalam. “Pernikahan itu terjadi karena keadaan.” “Keadaan?” Natasya tertawa lagi, kali ini pahit. “Kamu selalu punya pilihan, Mas. Jangan bilang ke aku kamu dipaksa tanpa jalan keluar.” Naumi menggenggam tangan Bundanya lebih erat. Dadanya sesak, rasa bersalah merambat tanpa ia undang. Ia ingin bicara, ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan keinginannya, tetapi kata-kata terasa salah di lidahnya. “Saya bisa jelaskan,” ucap Naumi akhirnya, suaranya pelan namun jelas. Natasya menoleh, menatapnya langsung. “Oh, kamu mau jelaskan apa? Bahwa kamu kebetulan ada di tempat yang salah dengan laki-laki yang salah?” Adrian bergerak cepat. Ia tidak meninggikan suara, tetapi posisinya jelas—berdiri sedikit lebih maju, memotong pandangan Natasya pada Naumi. “Cukup. Jangan libatkan dia.” Naumi terdiam. Jantungnya berdegup keras oleh satu fakta sederhana: Adrian melindunginya. Tanpa drama. Tanpa kata manis. “Aku minta waktu,” lanjut Adrian pada Natasya. “Bukan di sini. Bukan sekarang.” Natasya menatapnya lama, seolah mencari celah di wajah dingin itu. “Kamu berubah,” katanya akhirnya. “Dulu kamu nggak pernah seperti ini.” “Mungkin karena situasinya juga berubah,” jawab Adrian. Keheningan kembali jatuh. Berat. Menyesakkan. “Aku akan pergi,” kata Natasya, mengangguk kecil. “Tapi jangan anggap ini selesai. Aku mau penjelasan. Dan aku berhak mendapatkannya.” Ia melirik Naumi sekali lagi sebelum berbalik. Tatapan itu tidak marah, tidak pula menghina—lebih seperti rasa kehilangan yang belum ia terima. Pintu tertutup. Suara itu bergema lebih keras dari yang seharusnya. Naumi menghembuskan napas panjang yang sejak tadi tertahan. Lututnya terasa lemas. Bunda menatap Adrian dengan wajah penuh tanya. “Mas Adrian…” suara Bunda lembut. “Siapa perempuan tadi?” Adrian menoleh. Tatapannya tetap tenang, tapi kini ada beban yang tidak ia sembunyikan. “Dia bagian dari masalah yang harus saya selesaikan,” katanya jujur. Naumi menunduk. “Aku minta maaf,” katanya pelan. “Aku nggak tahu kamu punya tunangan.” Adrian menatapnya. Lama. Lalu menggeleng kecil. “Ini bukan salah kamu.” Tapi Naumi tahu, mulai pagi itu, hidup mereka tidak lagi sekadar tentang bertahan—melainkan tentang konflik yang akan datang satu per satu, tanpa izin. Dan Natasya… baru saja membuka pintu yang lain. Pintu tertutup dengan bunyi pelan, namun gema kepergian Natasya terasa jauh lebih keras di dalam rumah itu. Udara seolah menebal, menyisakan keheningan yang tidak segera pecah. Ibu Ratna berdiri beberapa detik di tempatnya, menatap pintu depan dengan sorot mata yang penuh tanya, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya kepada dua sosok di hadapannya. “Naumi,” panggilnya lirih, lalu pandangannya beralih pada Adrian. Nada suaranya tidak meninggi, tidak pula mengandung tuduhan, justru terlalu tenang untuk sebuah situasi yang jelas tidak sederhana. “Nak Adrian… sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa sepertinya masalah ini sangat rumit? Tolong jelaskan pada Ibu.” Adrian menghela napas pelan. Bukan napas lelah, melainkan napas seseorang yang sadar bahwa kebenaran tak bisa lagi ditunda. Ia melangkah lebih dekat dan memberi isyarat ke arah ruang tamu. “Mari kita duduk dulu, Bu.” Nada bicaranya sopan, terukur, dan penuh hormat. Tidak ada kesan ingin menghindar. Ibu Ratna mengangguk kecil, lalu berjalan lebih dulu. Naumi menyusul, duduk bersisian dengan ibunya, jemarinya saling mengait gelisah. Adrian mengambil tempat di seberang mereka, duduk tegak dengan kedua tangan bertaut di atas lututnya. Sejenak, tak ada yang berbicara. Adrian mengangkat wajahnya, menatap Ibu Ratna dengan serius. “Apa yang terjadi ini bermula dari sebuah kesalahpahaman, Bu,” ujarnya akhirnya. “Malam itu hujan deras. Naumi berteduh di pinggir jalan. Kebetulan saya juga berada di tempat yang sama.” Napas Ibu Ratna tertahan tanpa sadar. “Saat itu warga salah paham,” lanjut Adrian tenang. “Kami dituduh melakukan hal yang tidak pantas. Situasinya memanas dengan cepat. Ada tekanan, ancaman, dan… keputusan yang diambil bukan dalam keadaan ideal.” “Dinikahkan?” suara Ibu Ratna nyaris berbisik. Naumi menggenggam tangan ibunya erat-erat. “Iya, Bu,” katanya lirih, matanya berkaca-kaca. “Naumi cuma berteduh. Kebetulan ada Mas Adrian di sana. Semuanya terjadi cepat sekali. Naumi bahkan nggak sempat menjelaskan apa pun.” Ibu Ratna terdiam. Wajahnya pucat, matanya menerawang, mencoba mencerna kenyataan yang terasa terlalu besar untuk diterima dalam satu tarikan napas. Beberapa detik berlalu sebelum ia akhirnya menoleh ke arah Adrian. “Bagaimana bisa…” gumamnya pelan. Lalu, dengan nada yang lebih mantap, ia bertanya, “Kalau memang ini kesalahpahaman, Nak Adrian, seharusnya masih ada jalan keluar, bukan?” Adrian tidak langsung menjawab. “Secara hukum,” lanjut Ibu Ratna, suaranya tetap lembut namun jelas, “kamu bisa mengajukan pembatalan pernikahan. Bahkan menuntut warga yang menuduh kalian. Itu perbuatan tidak menyenangkan.” Naumi menoleh cepat ke arah Adrian. Jantungnya berdegup lebih kencang. Kalimat itu seperti pintu keluar yang selama ini ia tak berani sebutkan. Adrian terdiam cukup lama. Pandangan matanya turun sejenak, lalu tanpa sadar beralih ke wajah cantik Naumi. Wajah itu tampak pucat, lelah, namun tetap berusaha tegar. Ada kegamangan di sana, juga ketakutan yang ditahan rapi demi ibunya. Sesuatu di d**a Adrian mengeras, bukan karena amarah, melainkan karena kesadaran yang tak sepenuhnya ingin ia akui. Ia kembali menatap Ibu Ratna. “Saya mengerti apa yang Ibu maksud,” ucapnya akhirnya. Suaranya tetap tenang, namun kali ini terdengar lebih dalam. “Dan saya tahu itu adalah jalan yang masuk akal.” Naumi menahan napas. “Tapi,” lanjut Adrian pelan, “saya masih butuh waktu, Bu.” Ibu Ratna menatapnya penuh perhatian. “Tolong beri saya ruang untuk memikirkannya dengan matang,” kata Adrian jujur. “Keputusan ini tidak hanya menyangkut saya, tapi juga keluarga besar saya, bisnis saya, Naumi dan juga ibu. Saya tidak bisa gegabah.” Kata-kata itu tidak terdengar seperti penolakan, juga bukan persetujuan. Justru berada di wilayah abu-abu yang membuat hati Naumi bergetar. Ibu Ratna menghela napas panjang, lalu mengangguk perlahan. “Baik,” katanya lembut. “Ibu hanya ingin yang terbaik untuk anak Ibu. Selama kamu bicara jujur, Ibu percaya.” Naumi menunduk, dadanya terasa sesak oleh perasaan yang bercampur aduk. Ia tidak tahu harus berharap apa. Namun satu hal ia sadari—keheningan Adrian barusan bukan kebimbangan kosong. Ada sesuatu yang sedang ia timbang, jauh lebih dalam dari sekadar benar atau salah. Dan itu, entah kenapa, membuat jantung Naumi berdebar lebih keras dari sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD