Bab13

1392 Words
Ibu Ratna menunggu sampai langkah Adrian menjauh ke arah dapur. Baru setelah suara itu lenyap, ia menoleh sepenuhnya kepada Naumi. Tatapannya teduh, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana—kekhawatiran seorang ibu yang terlalu peka untuk tidak menyadari bahwa putrinya sedang memikul beban yang terlalu besar. “Naumi,” panggilnya pelan. Ia meraih tangan anaknya, menggenggamnya hangat. “Sekarang tinggal kita berdua. Ceritakan ke Bunda, pelan-pelan. Jangan ada yang kamu simpan.” Naumi menunduk. Tenggorokannya terasa sempit. Ia membuka mulut, tetapi suaranya tertahan. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, satu per satu, membasahi punggung tangan ibunya. “Bunda…” suaranya pecah. “Naumi nggak pernah niat bikin hidup jadi ribet begini.” Ibu Ratna mengusap punggung tangan Naumi perlahan, ritmenya menenangkan. “Bunda tahu, Nak.” “Aku cuma pulang kerja,” lanjut Naumi lirih. “Hujan besar. Aku takut motor mogok. Aku berteduh. Itu saja. Nggak lebih. Tapi semuanya berubah … cepat sekali.” Ibu Ratna mengangguk pelan. “Kadang hidup memang begitu. Kita cuma melangkah satu kali, tapi akibatnya panjang.” Naumi mengangkat wajahnya. Matanya merah, wajahnya pucat. “Kalau Bunda sehat … mungkin aku berani melawan. Tapi waktu itu aku cuma mikir satu hal. Jangan sampai Bunda tahu. Jangan sampai Bunda kenapa-kenapa.” Kalimat itu membuat d**a Ibu Ratna menghangat sekaligus perih. Ia menarik Naumi ke dalam pelukannya, menepuk punggung anak semata wayangnya itu dengan lembut. “Naumi,” katanya setelah beberapa saat. “Sejak kapan kamu menanggung semuanya sendirian?” Naumi terisak pelan. “Sejak Ayah nggak ada.” Ibu Ratna terdiam. Nama itu memang jarang mereka sebut, tetapi kepergiannya selalu hadir dalam setiap keputusan berat yang harus Naumi ambil terlalu dini. “Bunda bangga sama kamu,” ucap Ibu Ratna akhirnya. “Kamu kuat. Terlalu kuat, sampai lupa bahwa kamu juga boleh takut.” Naumi menggeleng kecil. “Aku nggak tahu harus berharap apa, Bun. Tadi Bunda bilang… pernikahan ini bisa dibatalkan.” Ibu Ratna menghela napas pelan. “Secara hukum, iya. Ada jalannya. Tapi Bunda mau tanya satu hal.” Naumi menatap ibunya. “Kamu … merasa terpaksa sepenuhnya dengan Nak Adrian?” tanya Ibu Ratna hati-hati. Naumi terdiam cukup lama. Bayangan wajah Adrian muncul di benaknya—tatapan tenang, caranya berdiri di depan dirinya, suaranya yang rendah tapi mantap. Ia tidak menemukan rasa takut di sana. Yang ada justru kebingungan… dan sesuatu yang lain, yang belum berani ia beri nama. “Aku … nggak tahu,” jawab Naumi jujur. “Aku takut. Tapi aku juga … nggak merasa sendirian.” Ibu Ratna mengangguk, seolah jawaban itu sudah cukup menjelaskan segalanya. “Itu jawaban yang jujur.” Ia meraih wajah Naumi dengan kedua tangannya, memaksa anaknya menatapnya lurus. “Dengar Bunda baik-baik. Apa pun keputusan kamu nanti, jangan jadikan Bunda alasan untuk mengorbankan hidup kamu.” “Tapi Bunda—” “Bunda lebih takut,” potong Ibu Ratna lembut, “kalau kamu hidup dengan penyesalan karena merasa terikat oleh rasa kasihan.” Naumi menahan napas. Kata-kata itu masuk perlahan, tapi dalam. “Nak Adrian kelihatannya orang baik,” lanjut Ibu Ratna. “Tenang. Bertanggung jawab. Tapi kebaikan seseorang bukan alasan untuk kamu memaksakan diri.” Naumi menunduk lagi. “Aku cuma takut salah.” “Takut salah itu wajar,” jawab Ibu Ratna sambil tersenyum tipis. “Yang tidak wajar adalah membohongi perasaan sendiri.” Ia meraih tangan Naumi kembali. “Bunda cuma minta satu hal. Apa pun yang kamu putuskan nanti—bertahan atau mundur—lakukan karena kamu yakin, bukan karena tertekan.” Naumi mengangguk pelan. Air matanya jatuh lagi, kali ini bukan karena ketakutan semata, tetapi karena ia merasa… dimengerti. “Bunda,” katanya lirih. “Kalau aku butuh waktu?” “Ambil,” jawab Ibu Ratna tanpa ragu. “Hidup kamu bukan lomba.” Mereka terdiam bersama. Di luar, pagi semakin terang, tetapi di dalam ruang tamu itu, ada keheningan hangat yang perlahan merapikan hati Naumi. Dan di balik pintu dapur, Adrian berdiri tanpa sengaja mendengar potongan percakapan itu. Ia tidak berniat menguping, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara Ibu Ratna yang penuh kasih. Untuk pertama kalinya sejak malam hujan itu, Adrian benar-benar menyadari satu hal: Keputusan apa pun yang akan ia ambil nanti… tidak boleh setengah-setengah. ** Pagi di kantor berjalan seperti biasa—terlalu biasa untuk seseorang yang hidupnya jungkir balik semalam. Adrian duduk di balik meja kerjanya, jas hitam rapi menempel sempurna, layar laptop menyala dengan laporan yang belum benar-benar ia baca. Tangannya bergerak teratur di atas touchpad, tapi pikirannya tertinggal jauh, pada rumah yang baru saja ia tinggalkan. Pintu ruangannya terbuka tanpa diketuk. Sebuah majalah gosip melayang dan jatuh tepat di tengah meja Adrian dengan bunyi plak yang nyaring. “Bro,” suara Tomi menyusul, setengah tertawa setengah tak percaya. “Beneran lo nikah?” Adrian tidak terkejut. Ia bahkan tidak mengangkat kepala. Pandangannya tetap pada layar, seolah lembaran kertas mengilap itu tidak ada. Tomi menyeringai, melangkah masuk dan menjatuhkan tubuhnya ke kursi di seberang meja. “Gila sih. Ini Jakarta, men. Gosipnya cepet banget. Semalam hujan, pagi ini lo udah jadi suami orang.” Adrian akhirnya melirik majalah itu sekilas. Foto yang sama. Sudut yang sama. Judul yang terlalu sensasional untuk sebuah kejadian yang jauh dari kata romantis. “Lo nggak bantah?” tanya Tomi. “Buat apa?” jawab Adrian datar. Tomi menggeleng, terkekeh kecil. “Oke, itu jawaban Adrian yang gue kenal.” Ia lalu mengetuk-ngetuk sampul majalah. “Tapi serius. Ini bener? Akad. Sah. Selesai?” Adrian menutup laptopnya pelan, baru kemudian menatap Tomi. “Iya.” Satu kata. Tidak lebih. Alis Tomi terangkat tinggi. “What?” Ia mencondongkan tubuh ke depan. “Terus Natasya gimana?” Ada jeda sepersekian detik. Sangat singkat. Tapi cukup bagi Tomi—yang sudah bertahun-tahun mengenal Adrian—untuk menangkap perubahan halus di wajah sahabatnya itu. “Masalah gue,” jawab Adrian. “Ya jelas masalah lo,” Tomi mendengus. “Tapi lo ngerti kan maksud gue. Itu cewek udah tunangan sama lo berapa lama? Dua tahun?” “Dua.” “Dan sekarang—” Tomi menunjuk majalah itu lagi. “—lo nikah sama cewek yang bahkan gue aja nggak pernah lihat sebelumnya.” Adrian bersandar di kursinya, menyilangkan tangan. “Hidup nggak selalu ngasih pilihan yang rapi.” Tomi menatapnya lama. “Lo kedengeran kayak orang yang udah mutusin sesuatu.” Adrian tidak menjawab. Diamnya justru lebih berbicara. “Dia siapa?” tanya Tomi akhirnya, suaranya menurun, lebih serius. “Cewek itu.” “Naumi,” jawab Adrian. “Naumi Putri.” Nama itu keluar tanpa ragu. Tanpa tekanan. Seolah sudah menemukan tempatnya sendiri. Tomi mengangguk pelan. “Dan lo yakin ini cuma… kejadian?” Adrian menatap ke jendela besar di sisi ruangan. Jakarta terbentang di sana, sibuk, bising, tak pernah benar-benar peduli pada urusan siapa pun. “Belum,” katanya jujur. “Tapi gue nggak akan lari dari yang udah terjadi.” Tomi menyandarkan punggungnya. “Keluarga lo bakal ngamuk.” “Udah,” jawab Adrian singkat. “Natasya?” “Datang pagi ini.” Tomi menghela napas panjang. “Gue nggak iri sama posisi lo sekarang.” Adrian menoleh. “Lo nggak perlu.” Mereka terdiam sejenak. Lalu Tomi tertawa kecil, geleng-geleng kepala. “Lo tau apa yang paling gila dari semua ini?” “Apa?” “Lo kelihatan… tenang.” Adrian tidak tersenyum. “Tenang bukan berarti gampang.” Tomi bangkit, menepuk meja dua kali. “Apa pun yang lo putusin, gue harap lo udah mikirin dampaknya. Ke cewek itu. Ke Natasya. Ke diri lo sendiri.” Adrian berdiri, merapikan jasnya. “Gue selalu mikir sebelum melangkah.” “Masalahnya,” Tomi menatapnya tajam, “kadang langkah lo terlalu jauh buat dibatalkan.” Adrian mengambil majalah itu, melipatnya rapi, lalu memasukkannya ke laci. “Kalau gue mundur sekarang,” katanya pelan, “itu bukan solusi. Itu penghindaran.” Tomi mengangguk pelan, memahami. “Oke. Kalau gitu—selamat datang di hidup yang baru, Bro.” Adrian mengangkat sudut bibirnya sedikit. Bukan senyum, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia mendengar. Saat Tomi keluar, Adrian kembali menatap meja kerjanya. Tangannya berhenti sejenak di atas laci tempat majalah itu tersimpan. Dalam benaknya, terlintas wajah Naumi—diam, pucat, tapi bertahan. Dan untuk pertama kalinya pagi itu, Adrian sadar: dunia mungkin menganggapnya skandal, tapi baginya, ini adalah awal dari tanggung jawab yang tidak akan ia lepaskan dengan mudah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD